Senin, Oktober 20, 2008

INTRIK PENYAIR DAN KARYANYA

(Ini hasil perasaan saja, andai saya seorang penyair. Dan jika benar istilah perasaan itu, awal daripada ilmu pengetahuan).
Nurel Javissyarqi*

Apa yang kalian impikan pada tinggi kepenyairan? (Goethe).
Puisi ialah masa-masa mati. Terhenti atas kekakuan dirinya yang telah terselubung kelenturan. Ia tidak bisa bergerak terlampau jauh, ketika “kata-kata” sudah mewakili kehadirannya. Maka penciptaan puisi, sejenis latihan bunuh diri berkali-kali.
Siapa yang mati di sana? Penciptanya, dipermalukan kejujurannya. Meski berselimutkan kerahasiaan, tetaplah ada keinginan untuk diketahui, difahami. Mungkin ini sisi lain kebinalan puisi sebelum mati, sedurung di kubur dalam keranda kata-kata.

Saya tidak hendak menghakimi. Ini realitas keindahan terbatas di muka bumi, sebuah musim bunga terhilangkan lewat gugurnya dedaunan atas musim berubah. Matahari yang kita nikmati, menciptakan hayalan, yang keinginannya terus bertambah dari dorongan naluri, dari kedalaman maksud jiwa.

Tapi siapa yang sanggup memetik kecantikan langitan? Mereguk kemolekan dasar imaji, demi ditampilkan ke muka kesadaran? Apalagi melewati nalar-nalar umum puisi? Hanya terbatas orang dan menjadi bunga bagkai, jikalau konstruksi yang mengitari teknik tidak sampai membuai, jika benar-benar ilham tampak murni.

Maka keindahan, mau tidak mau kudu rela terpenggal di tengah jalan. Jika tidak ingin langut tanpa tragedi. Ada saatnya kayungyung menemui juntrung, masa-masa persetubuhan jiwa ke dalam kebakuaan tertentu. Yang ada sisi-sisi menggorok, kalau berharap lebih nikmat, terus berkurang dari keinginan bertambah. Sebab kesadaran dalam puisi sangatlah terbatas, taklah mungkin melalui pandang sambillalu.

Puisi tidak jauh lahirnya mitos, demi kemunculan aliran filsafat. Dan kejiwaan para penemu, menyuplai faham-faham psikologi. Di sini, puisi tentu berbeda jauh pengertian dari ayat-ayat suci yang dibawa malaikat Jibril kepada para nabi dari Yang Asih. Namun ada saja yang menyebut semacam wahyu, padahal bisa pula dari beberapa angan terdahulu, yang belum sampai ke puncak keyakinan.

Atau puisi terlahir dari sela-sela kenangan silam dan kini menemui muara. Jika telah tertancap sebilah pedang pena. Garis-garis pada kertas bermuatan renungan. Yang tampak di permukaan, kadang berserak tanpa harmoni yang jelas. Ini sama pengertiannya tidak memahami situasi diri, di sekitar nasib yang terus melayarkan sampan usia kemenjadian.

Keindahan puncak, di mana keuniversalan dunia mengakui. Mereka terperangah kecantikan pucuk Himalaya, ketampanan Candi Borobudur, atau kesejukan lembah bunga. Keindahan itu masuk dalam bayang-bayang ingatan atau terekam. Lalu kata-kata penceritaannya menjadi rumusan, sebagai logika daripada paras keelokan tersebut.

Demikian ngeri rasa tercengang, pun peperangan serta bencana alam. Membekas dalam diri sebagai timbangan menilai langgam-langgam hayat, dari getaran rasa yang termiliki. Oleh sebab itu, para penyair merawat perasaannya. Guna sampai pada getaran puncak daripada keindahan.

Ada penyair yang mengumpulkan puing-puing nama benda. Ada pula yang melukis deretan peristiwa lama, atau jangkauan hayal ke muka. Pun bunyi-bunyian alam, deburan ombak, jeritan, tangis, suara serangga. Kesatuan itu terkumpul, dan masuk terekam dalam ingatan. Para insan menimbang suara-suara itu dengan rasa, kata-kata dengan rasa, hitungan dengan perasaan. Sebelum dunia logika menawarkan dirinya, sebagai jembatan utama suatu karya.

Penilaian itu, takdir yang terus mengikuti jaman, bersama kerepotannya. Juga suasana kekosongan, termasuk jalan menuju penilaian lain. Seperangkat kebertemuan menjelma takdir lain atas pandangan tertentu, yang merasuk bergetar pada jiwa-jiwa penyaksi.

Puisi, sering luput dari tangkapan jika mengambilnya tidak dengan kesamaan. Peneriman, persetujuan, pun penolakan, mampu memberi jawaban. Tentunya atas ketepatan masa yang dituliskan takdir pertemuan, seperti kalimat “Manusia berhendak, tuhan yang menentukan.” Begitulah yang terjadi atas terkumpulnya kata-kata.

Berangkat dari endapan masa-masa yang tidak terkira atas terjadinya. Meski hal lain sangat mendukung, sebagaimana rindu, cemburu atau kasih damai pada lubuk sanubari. Ada saatnya ketergebuhan itu berhenti oleh lelah yang belum waktunya tiba. Atas jegalan masa-masa yang tidak mendukung kehadirannya sebagai hasil kerja. Dan keikhlasan melahirkan kembali, serupa gelombang laut ke pantai. Penerimaan karang atas buih busa yang menggenangkan masa menenggelamkan kesaksian. Juga serasa surut dan susut penilaian tubuh alamiah, saat-saat lelah istirah.

Puisi ialah himpunan kata-kata yang sangat berbeda jauh kalau menilik sisi tercetuskan gagasan. Jikalau ditimbang melewati masa pelaksanaannya. Ada endapan lama, mimpi lampau yang mengunduh tepat-waktu, serupa harapan yang tersampaikan. Kangen terjawab kelahiran tanpa operasi, atau rindu bertemu realitas cakrawala. Langit biru, awan menyisir, jalan-jalan dilalui, sungguh menapak.

Adapun penggarapan puisi yang berolah lama, sebab ketat daya saringnya. Meski tidak bisa dihakimi, tercetus lama belum tentu baik, atau sebaliknya. Sebab kerja yang sungguh, belum tentu diterima dengan kesungguhan. Terkadang keisengan di mata jiwa lain, malah menimbulkan takdir sesungguhnya. Inilah salahsatu problem, yang senantiasa mengintrik jiwa.

Semua perkumpulan ragu dan sungguh, terjawab sudah kesetiaan pelaku. Merawat cita-cita, sejak kanak sampai tidur tidak enak, tidak tersangka kantuk memberat. Ketenangan terjaga, kelebihan kehati-hatian, diet mencerna timbangan, bisa memberi solusi, tidak terjungkal jika ada saat-saat tidak nyaman. Duduk menyendiri atau kebersamaan ganjil. Dan keakraban mendesak maju, menghadirkan waktu ketaktepatan menjadi kejelasan. Lantas isyarat segera terungkap, atas kerja serius menyungguhi ruh.

Ben Okri pernah berkata; “Dunia tempat si penyair hidup tidak harus selalu puitis. Di tangannya, dunia ini sungguh menantang. Hanya dengan semangat penciptaan dan pencarianlah, dunia yang keras terubah menjadi nyanyian dan metafor baru.” Yang nantinya akan menghasilkan apa yang dikatakan, Paul Eluerd; “Seorang penyair adalah orang yang mampu mengilhami lebih banyak daripada orang yang diilhaminya.”

Maka sepatutnya sering mendengungkan rasa bersyukur, menghirup denyutan semesta, ingatan serta masa lalu, dalam genggaman kuasa-Nya. Fikiran bisa mempatenkan prodak, namun hatilah yang menentukan langgeng atau lepas sasaran. Olehnya, seorang penyair dituntut mencintai hal-hal yang tidak mengenak. Jikalau berharap perolehan lebih, sebab bukan di sekitar saja yang berguna.

Ternyata, yang selama ini tidak terkirakan, esok meminta jatah direnungkan dan lebih. Ini dinamakan jalan-jalan kepastian yang tidak terpetik jauh dibenak. Suatu rana yang dikembangkan kalbu-kalbu pencipta situasi di dalam kondisi kejiwaannya. Di tempat lain, Oktavio Paz berujar; “Pengaruh tersebut juga merupakan sebuah penciptaan, bukannya imitasi, melainkan okulasi yang menghasilkan sebuah tanaman baru, lebih kuat dan majemuk dibanding induk aslinya.”

Tetapi bukan berarti saya menganjurkan memejamkan mata, dalam menentukan jalan-jalan itu akan sampai atau mentok pada dataran ketakmampuan. Melewati jalan kedua bisa merasakan, memejamkan mata, dan memandang realitas berkesungguhan kerja. Dengan keduanya, malam dan siang, senja dan fajar selalu mengembang dalam jiwa. Kita rawat kestabilan kondisi, hawa saat-saat datangnya sembuh. Tidak berlebih atau sehat yang melenakan unsur-unsur lain.

Tao Teh Ching pernah berucap; “Karena tidak memiliki kehendak pribadi, maka ia bisa menyempurnakan pribadinya.” Namun bukan berarti lantas takut terjebak kedirian, lalu melemparkan kalimat puisi seperti melesatkan panah tanpa sasaran. Kondisilah yang mengharuskan Arjuna maju ke medan tempur. Dari kumpulan masa keharusan, bukan menunggu diterjemahkan sebagai situasi.

Setelah membaca perjalanan, terketahui bagaimana sampai di sini atau belum, kita tahu jawabannya. Itulah keseimbangan pandang yang selalu menjaga diri, agar tidak dalam kegilaan atau konstruksi yang merecoki kefahaman lembut puisi. Maka, merawat kasih sayang berimbang, bukanlah menyulitkan, jika melatih keinginan serta keadaan diri. Kesulitannya terasa, jika memasuki rayuan di jalan-jalan lena, atau keterlaluan culas memandang sebelah mata. Namun tentunya menyadari, kanan dan kiri bukanlah jalan sesungguhnya, tetapi pinggiran yang bisa mempelesetkan ke jurang.

Ketika terjatuh, sulit memulai kembali. Maka rawatlah kesetiaan, agar bertemu keseimbangan tanpa cemburu berlebih. Dan kepercayaan atau pun perubahan, atas genggaman-Nya, penilaian-penilaian terus berputar pada poros-Nya. Ia penggenggam ingatan manusia, pencuri harta kelupaan, atas keterbatasan kefahaman menerka, di dalam menyinaui hayat.

Rasa bersyukur menghantarkan kepada pembaca, bagi tercinta merindu temuan. Pun kuasa pemahaman ada pada pembaca. Runtut atau bejatnya kalimat atas konstruksi sulaman, kemenjadian yang jadi-jadian, pun yang kelewat serius. Tetaplah yang memenangkan permainan, pemahaman membaca dinding-dinding kata dari tampakan tubuh puisi.

Apalagi susunan yang dimasukkan perlambang, perlu digali lebih, bercangkul berbeda dengan kebaikan pemahaman. Tidak luput dari polarisasi yang dibangun penulis, atau pembaca perlu mengundang nalar penulis, demi diperbandingkan sejauh mana kerangka yang terbangun itu atas realitas sejarahnya.

Saya tidak banyak menerangkan makna yang terkandung dalam bidang kalimat. Dengan itu, kefahaman bisa meliar, memperoleh dari sekadar penggalan pengertian. Apa yang terhidang bukanlah rambu-rambu. Dari pembacalah aturan dimulai, sedang yang tertawarkan, sekadar cerminan kemungkinan lain. Andai ada kesamaan yang muncul, tentu kegelisahannya serupa meresapi keberadaan hayat. Menjadi pejalan kaki sunyi bukan membaca kalimat, tetapi meresapinya tanpa suara. Yang masuk ke telinga bathin, unsur lain yang terterka, semisal hendak mempersunting nyanyian bathin sendiri.

Ruang berbicara kepada saya dan waktu menyediakan nafas-nafas kata dalam setiap perjamuan. Saya tidak hendak menyapa panjang lebar. Kita bisa dimana tempat dengan keseiramaan, jika menjangkau penerimaan sebagai getaran rasa. Dan rindu pertemuan sinyal itu, kefahaman yang runtut di kuncup setia, cungkup keabadian atau nilai universal jiwa-jiwa. Harapannya, apa yang terhaturkan dapat menembusi pemahaman, meski tidak dalam satu lingkaran meja. Walau kadar penciumannya berbeda, pun kecenderungan lidah tidak serupa. Namun masih ada keyakinan, kesamaan itu tentunya ada, seperti iman akan hari depan yang lebih gemilang.

Di saat-saat memahami, terketahui sisi-sisi kosong segera terisi. Lembar-lembar ketebalan lelapisan pengalaman, bukan dari membaca saja, melewati ingatan kenangan, perjuangan menempuh hayat bertambah makna. Pandangan bukanlah semata kudu digurui, sebelum kepada maksudnya. Atau mengandaikan gugusan pengertian akan sampai kepadanya, kostruksi itu seluruhnya milik pembaca.

Bisa dibilang, ini sekadar pemancing jawab bagi pendapat. Sebab masing-masing memiliki, meski orang lain seolah mengerti lebih. Kecerdasan pencipta, tidak berarti mengerti psikologi pembaca secara keseluruhan, tetapi sekadar pengantar ada sisi-sisi kesamaan yang kudu dipertajam. Atau dihindari untuk pengolahan lebih mantab dengan kepribadian mandiri, sebagai bentuk-bentuk puisi yang kuat.

Wilayah penyair itu kata, seperti kita memandangi warna dunia. Tanpa membawa rentetan pengalaman, seolah yang terbaca itu sia-sia. Olehnya, sambungan pengalaman dari sesama ialah suatu usaha kebertemuan muara. Walau sudut pandangnya berlainan, meski mata air serta alirannya ke tempat yang tidak sama. Yang kita miliki hanyalah milik kita, meski telah ditulis mereka. Tetapi kita tidak akan memiliki apa-apa, jikalau tidak mendapatkan gesekan sesama. Sebab keraguan, kecemasan, juga keyakinan, merupakan tahap yang harus menemui kejelasan hakiki.

Cahaya terang itu tidak akan diketemukan, kalau sekadar membaca diri sendiri. Bagaimana pun cerdasnya seseorang, ia bergantung yang lain. Pun khusyuknya merenungkan makna hayati, toh perlu angin sapaan, yang tampil sebagai sarana dialog, yang nantinya membuahkan berkah. Atau nilai tambah yang berupa harapan kemerdekaan, menjunjung tinggi harkat kemanusiaan.

Usia suatu karya itu kemurahan kefahaman, kesehatannya menjadi melodi dan gairah. Sedangkan nada-nada naik-turunnya mengikuti gerakan takdir nyawa-nyawa pertemuan. Maka pantaslah puisi itu pecahan waktu yang pernah terlaksana. Juga bisa berasal dari pecahan masalah, yang menghadirkan kemangfaatan hayat di dalam penghayatan.

Apa yang terkupas di atas, bukan menyeluruh menyoal puisi dan penyairnya. Saya menggunakan beragam kacamata, agar masuk ke segenap keilmuan yang lain. Olehnya, terimalah kekenesannya sebagai bumbu, agar yang terhidang di benak, semakin sampai kekentalannya. Sebab buah permainan, bukan berapakali bertanding. Tetapi berapa baik mencetak gol cantik, meski sangat sederhana, atau primitif sekalipun. Maka kedatangannya, menyisir seberapa jauh lekukan fenomena, agar lebih terangsang dari sekadar wacana.

Perlu juga memecahkan tanggul-tanggul realita, demi menemukan relitas baru, sebab penampakan itu belum tentu sampai. Sebab kehakikian itu pada kompenen rasa yang terasai, seperti menemukan pahit atau manisnya. Camus sempat menuliskan, bahwa; “Semakin besar seorang seniman memberontak melawan realitas dunia, semakin besar bobot realitas untuk mengimbangi pemberontakan itu. Namun bobot itu tidak pernah dapat melumpuhkan kebutuhan soliter seniman.”

Yang selalu dahaga waktu, tidak puas baju kebesaran, jiwanya dituntut curiga kepada pakaian gembel yang menarik belas kasihan. Maka kesepakatan tercapai, bisa menerima segala hal dengan kesatuan tujuan. Sebagai pembaca, demi memperoleh wawasan lebih, serta rasan-rasan diri, agar yang masuk dan keluar, selalu pada bingkai kemungkinan. Yakni alat timbangan hidup, karena ramainya pembeli di pasar kebudayaan, daripada sastra pada lintasan keilmuan lain.

Puisi, dalam bentuknya yang baku, telah mengangkangi dunia hingga berabad-abad, sampai kita seolah tak berani keluar dari sarangnya, meski telah banyak mengeluarkan teknik baru, strategi anyar. Tetapi ketakutan tidak dianggap puisi khususnya, masih hadir di benak para penyair. Ini perbudakan sungguh ganas, lagi memalukan. Betapa jauhnya penyair lari dari dirinya, bayang-bayang itu tetap ia bawa. Sungguh menggelitik, apalagi terjadi pada titik kulminasi peradaban sekarang. Padahal bayang-bayang itu seharusnya sudah tidak tampak.

Saya membongkar identitas tersebut, agar tahu sejauh mana anatomi puisi dari tubuh penyair. Lebih jauh Albert Camus, meyakinkan; “Jika seni berkeras untuk menjadi suatu kemewahan, ia juga akan menjadi suatu kebohongan.” Kemewahan, tidak jauh dari tatanan; modernitas, primitif, posmo, motif ukiran, batik, pahat dan sejenisnya. Seharusnya, hasil cipta yang dimotori kata-kata, lebih jauh keluar dari pakem tersebut. Jika tidak ingin terperangkap dalam lingkaran yang disebut dinamai.

Namun mungkinkah kereta api bisa berjalan di luar relnya? Di sisi lain, tragedi itu perlu, pengorbanan wajib, dan bencana alam itu ada. Ini yang dinamakan kereta api yang keluar dari relnya. Kejadian ini seperti keberangkatan tukang bikin kue. Yang berani menginovasi prodaknya dengan tidak takut kalau-kalau tidak disebut kue. Inilah yang menghadirkan karya tandingan, bukan sekadar mengikut sejarah.

Maka persiapan perlu, ancang-ancang harus, kuda-kuda diadakan sebelum menempelkan tapal di kaki kuda. Dan keberanian mencipta, dari kilatan cahaya inspirasi itu akan terasa lebih, tidak sekadar kedalaman bahasa. Kita sering dan sudah lama dikelabuhi bentuk-bentuk baru, yang senyatanya itu-itu saja. Keseluruhan tulisan ini mungkin salahsatu jawaban, bahwa Kitab Para Malaikat sejatinya bukan “puisi.” Karena ada yang mengatakan itu puisi, barulah sebagai jawaban di masa sekarang. Padahal di sana, telah terjadi tragedi matinya suatu “puisi.”

Sekali lagi, “bunuh diri itu perlu,” kalau ingin mengetahui sejauh mana keberanian dinilai bobrok, atau tidak berguna di depan publik setelah kematian. Saat itu tidak ada pembela sama sekali, kalau bukan kedirian karya tersebut yang mandiri tanpa pamrih. Tidakkah keperawanan jiwa lebih dicari? Dan bukankah karya-karya yang seronok, yang mudah dikunyah, tidak lagi mengundang “penasaran?”

Karya sastra memungkinkan menggali kerahasian dirinya, untuk selalu mereka mencari, kedalaman murni mataair hayati. Sebab itu, pandangan subyek kita senantiasa hadir, kalau eksis di mana saja. “Kamu bisa tidak menyukai saya, tetapi pengaruhku takkan terbantah,” itulah perumpamaan sikap Nietzsche. Kesadaran itu sejenis anak yang kecil bermain. Apakah orang tua percaya? ia mendapati begitu banyak temuan? Ketika anak muda bekerja. Apa orang tua yakin seratus persen, bahwa ia bakal sukses besar? Ketika orang gagal membanting tulang. Apakah mereka percaya, bahwa ia lebih sukses daripada pemerhati yang sesaat?

Buah kemenangan tidak luput dari jerih payah keyakinan serta kesungguhan bekerja, meski ruang-waktunya mereka bantah. Sudah cukup cemooh sebagai penggerak yang menghadirnya seolah tiba-tiba. Namun tidakkah ketika insan menempa kesangsian dirinya dengan berulang, akan menemukan keniscayaan? Kebulatan seluruh antara ragu dan kenyataan. Keadaannya bersatu, dalam integritas dirinya sebagai tempaan -kematangan.

Saat nalar dan perasaan bertambah, menciptakan formula keseimbangan jiwa. Maka pemungkiran, pengundatan dan kesangsian terhilangkan bunyinya. Terhadap itu semua, penjelajahan kedirian menjadi kilatan-kilatan kesadaran. Yang menampar setiap muka, memecut sapi pongah untuk menggaru sawah, menyuburkan tanah dengan langkah-langkah. Inilah jalan yang bernama kemakmuran jiwa.

Pada prolog; Faust-nya Goethe, ada larikan berbunyi begini; “Hati yang teguh menjadi tampak jauh, dan apa yang hilang bagiku menjadi nyata.” Kalau memaknai dua potong kalimat itu, seakan tidak bertemu dalam satu bidang yang sama menuju kesepakatan berjumpa. Tetapi, jika menelisik ke dalam inti tubuh permasalahannya.

Apa yang terhidang, “hati yang teguh menjadi nampak jauh.” Ialah bukan keputusasaan yang terus dihentikan langkahnya. Namun usaha sejauh-jauhnya mendekati realitas kerja demi mendapati temuan, yang mulanya tiada manfaat keculi lelah. Ini semacam kunjungan kasih kepada tercinta. Dan apa yang tersampaikan di tengah jalan, merupakan perolehan yang berharga, untuk waktu serta tempat yang berbeda.

Ketika “apa yang hilang bagiku menjadi nyata,” merupakan bulir-bulir intan, tambang emas kenangan yang hadir dalam kebakuan bentuk membatu, menstupa. Sebab bagaimana pun awalnya pengalaman dari keraguan, diakhirnya tentu kepastian. Bertemunya manfaat di saat-saat tepat, atas tabungan memori silam, bacaan yang lalu atau peyelidikan masa lampau.

Lalu hadirlah capaian Plato dalam bukunya yang bertitel Republik; “Genggamlah kebenaran sebagai satu kesatuan, dan dalam cara yang benar, maka engkau tidak akan menemui kesulitan memahami berbagai ucapan sebelumnya, dan semuanya tidak lagi tampak aneh bagimu.”

Dari sini, kita dikehendaki melahap hidangan itu bukan menurut ukuran kelembekan lambung masing-masing. Tetapi bagaimana berbagi dengan yang lain, agar bisa merasakan bersama, meski kadar resapannya berbeda, setidaknya gula tetap manis. Untuk sampai tahap ini, harus sadar kata-kata Machiavelli, bahwa; “Kemampuan insan dikenalikan lewat dua cara, pertama kemampuan memilih lokasi untuk membangun kota, kedua ialah kemampuan mengorganisasikan hukum.”

Kalau tubuh ibarat negara, maka kemampuan memilih lokasi untuk membangun kota, kemampuan menyelidiki hal-hal yang kita sanggup mengangkatnya. Sehingga apa yang tampil bukan suatu hasil kegagapan, namun telah terpendam sejak lama dalam keakraban kerja. Jikalau tampil dalam suatu karya, kilatan itu tersampaikan bukan potret semata, tetapi gambaran dari ahli tukang foto yang professional, yang menyentuh ketajaman detail. Ini dibawah kendali daripada kemampuan mengorganisasikan hukum.

Hukum disini, aturan-aturan di dalam diri yang tersepakati sebagai kacamata standar terhadap suatu karya. Sehingga tanggup jawab itu ada, dan perlu adanya lelatihan keras, sampai hasilnya melewati persyaratan secara ketat. Tidak asal seruduk aman lantas bablas, maka pertimbangan estetik, etika, nada suara, nafas kata, gaya bahasa atau tampilan bentuk muka. Serta yang teridam menjadi kebenaran yang tampil dengan pertimbangan paripurna. Tidak menggencet sisi-sisi lain atau melakukan pembunuhan terhadap gagasan kecil, meski itu seolah-olah perlu.

Apa yang tersampaikan di atas, seperti tarian dramitisasi pemikiran menyoal judul, tetapi bukan sewarna permainan dadu yang dilakukan Kurawa dan Puntadewa. Yang demi hak milik negara atau di sini gagasan, dan demi kecantikannya Dewi Drupadi. Menuju penaklukan kerajaan Amarta, masuk wilayah Astina. Tetapi, “bila cinta dan penalaran saling berpelukan, akan terciptalah sebuah dunia baru,” Iqbal.

Ini yang terharapkan, bukan berasal dari emosional sesaat ego, namun perasaan yang berkendara kesadaran, kepada ruang yang dibangun. Temuan dunia baru, tidak berdasarkan agresi, integrasi atas ancaman. Tetapi kesadaran membangun kebaikan bersama. Bukan meninggikan identitas kepenyairan dengan mengesampingkan yang lain.

Pada puncaknya, pemaknaan dihasilkan renung kemanusiaan. Yang terus berjalin demi pemahaman lebih bening, bukan gelembung air yang pecah kala tersentuh. Ibaratkan karya terbaik itu pandangan elang laut, yang sanggup menembus gerakan ikan dari jarak cukup jauh. Buah intuisi, daya sugesti yang telah terlatih.

Atau gerak penciptaan itu dari kumpulan getaran, sinyal yang menyambung kabel saat hendak mencipta dari beberapa kemungkinan lalu. Selihai menangkap bola, setelah mengamati ke mana titik sasaran, seperti ungkapan Nietzsche, “Perasaan mula-mula tidak memiliki obyek yang didefinisikan dengan jelas. Obyek itu dibentuk belakangan. Atmosfir suasana hati musikal tertentu mendahului, dan ide puitis datang sesudahnya.”

Mungkin itulah insting penjaga gawang jaman. Tentunya tidak mau kecolongan, lalai merekam sedapatnya, saat terjadi perasaan bertemu. Sebab itu, pengulangan bukanlah sesuatu yang muspro, jika memiliki tekanan titik temu yang dimaksud. Bukan sekadar perpanjangan tangan atau rantai kapal yang nganggur tidak terpakai oleh usang.

Maka jadilah pemain yang tidak bosan-bosannya berlatih, meski belum tahu kapan bertanding. Sudahkah permainan dimulai? Ini demi menjaga daya gairah. Tidak semuanya berasal dari gerakan luar, tetapi membongkar kesatuan diri untuk menjadi momentum yang diterjemah. Sebagai pelaku yang tidak terbatas masa-masa, usia juga bidang kajian.

Cobalah simak apa yang dikatakan Sartre, saat mengantari bukunya Franth Fanon; “Selagi dia menunggu kemenangan nyata, atau bahkan tidak mengharapkan sama sekali, dia meletihkan musuh-musuhnya sampai mereka muak terhadapnya.” Perasaan muak itu muka lain dari kebosaan, putusasa, kepengecutan, juga hal-hal yang menandakan lemahnya mental. Yang bukan dihasilkan dari gairah murni memperbaikan kualitas diri.

Tapi tampakan manisan semata, gagah-gagahan di podium, bursa karya agar dibilang mentereng. Sungguh ini lepas satu-persatu, tidak terasa dilucuti, terbius daya rayu tepuk tanda. Sedangkan bermain tanpa beban itu, anak kecil yang lupa kalau punggungnya tersengat matahari, saat layang-layangnya merasai grafitasi, serta hembusan bayu nurani. Bocah itu penuh daya pikat, tanpa meninggalkan fikiran-fikiran nakal.
—–

13 Maret 2006, Senin Wage.
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Hana N.S A. Iwan Kapit A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aa Sudirman Abd. Basid Abdul Aziz Rasjid Abdul Ghofar Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Muid Badrun Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdullah Ubaid Matraji Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abonk El ka’bah Acep Zamzam Noor Ach. Nurcholis Majid Achmad Farid Tuasikal Achmad Maulani Adi Faridh Adi Marsiela Adi Sucipto Adian Husaini Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrian Ramdani AF. Tuasikal Afnan Malay Afrizal Malna AG Hadzarmawit Netti AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Majestika Aguk Irawan M.N. Agung Prihantoro Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R Sarjono Agus S Warman Agus Sri Danardana Agus Sulton Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Rafiq Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syafii Maarif Ahmad Taufik Ahmad Thohari Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Al-Fairish Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Ali Irwanto Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Alvi Puspita Amang Mawardi Ambarukminingsih Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Amirullah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andhi Setyo Wibowo Andik Nurcahyo AndongBuku #3 Andry Deblenk Anindita S. Thayf Aning Ayu Kusuma Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anwari WMK Aprillia Ika Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Arif Firmansyah Arifun Najib Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arys Hilman Asarpin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asri Bariqah Awalludin GD Mualif Azumardi Azra Azyumardi Azra Baca Puisi Badaruddin Amir Balada Bambang kempling Bambang Satriya Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benni Indo Benny Benke Benny D Koestanto Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Koran Bernada Rurit Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Palopo Budi Purnomo Buldanul Khuri Bunda Zakyzahra Tuga Bungaran Antonius Simanjuntak Candrakirana Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Che Guevara Coronavirus Cover Buku Kritik Sastra Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi II Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi IV Cover Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi V D. Zawawi Imron Dadan Maula Darmawan Dadang Ari Murtono Dahlan Kong Damanhuri Zuhri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Dedykalee Deni Ali Setiono Deni Jazuli Denny Ardiansyah Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan Dewi Indah Sari Dhanu Priyo Prabowo di Bluri di Karangasem Dian Sukarno Diana AV Sasa Diana Ifrina Ernawati Dinas Komunikasi dan Informatika Prov. Jatim Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dini Tri Dinoroy M. Aritonang Dion Maulana Prasetya Diskusi buku Djaka Susila Djenar Maesa Ayu Djesna Winada Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Budiono Herusatoto Drs H Choirul Anam Drum Band MI Miftahul Ulum (Kuluran) Dudi Rustandi Dunia Penerbitan Indonesia Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Nikmatika Roma Dwi Pranoto Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddy D. Iskandar Edeng Syamsul Ma’arif Edi Faisol Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elly Burhaini Faizal Elly Trisnawati Ellyn Novellin Emerson Yuntho Emha Ainun Nadjib Emil WE Endang Supriyadi Endi Haryono Endri Y Erdogan Esai Esha Tegar Putra Esme Fadliha Etik Widya Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fadjriah Nurdiarsih Fahmi Fahrudin Nasrulloh Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faris Al Faisal Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Felix K. Nesi Festival Mocosik Festival Seni Internasional 2010 Yogyakarta Festival Seni Internasional 2014 Yogyakarta Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan festivalsenisurabaya.com Fikri. MS Firdawsi Fortus Pake Forum Lingkar Pena Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Foto Franditya Utomo Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Magnis-Suseno Friski Riana Fuad Hasan Nasihin Fuji Pratiwi Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawa Gede Mugi Raharja Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gedung Sangbala Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gito Waluyo Goenawan Mohamad Golput Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma’ruf Amin Gus Dur H Ikhsan Effendi H. Usep Romli H.M H.B. Jassin H.O.S Cokroaminoto Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Hadi Napster Hadziq Jauhary Halim H.D. Halimatussa’diyah Hamberan Syahbana Hamluddin Hana Pertiwi Hanif Nashrullah Hardono Haris del Hakim Haris Firdaus Haris Priyatna Haris Saputra Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Basri Hasan Junus Hasanuddin WS Hasnan Bachtiar Helmi Y Haska Helmy Tasaufy Hera Khaerani Herdiyan Heri C Santoso Heri Latief Herman Herman Hasyim Herman RN Herry Lamongan Herry Mardianto Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Homaedi I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I Wayan Seriyoga Parta IBM. Dharma Palguna Ibnu PS Megananda Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Mustofa Imam Nawawi Imam Qodim Al-Haromain Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Imelda Imron Arlado Imron Rosidi Imron Rosyid Imron Tohari Indrian Koto Ingki Rinaldi Ipik Tanoyo Ire Irvan Sihombing Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismet NM Haris Ismi Wahid Isnanur Janah Iswadi Pratama Isyana Artharini Iwan Nurdaya-Djafar Iwank Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Janual Aidi Javed Paul Syatha Jazzi Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jembatan Kuno Yang Misterius Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Jodhi Yudono Jogjanews.com John Joseph Sinjal Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Paket Hemat Juara Ke 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jumartono Jurnalisme Sastra Jusuf A.N K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.Y. Karnanta Kadjie Mudzakir Kaheesa Kirania Putri Ayu Kang Daniel Kapal Nabi Nuh Karanggeneng Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kautsar Muhammad Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) KH Abdul Ghofur KH Bisri Syansuri KH. Abdul Aziz Masyhuri KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khoirul Abidin Khoirul Inayah Ki Ompong Sudarsono Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kika Dhersy Putri Kitab Arbain Nawawi KITLV Koh Young Hun Koko Sudarsono Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopi Sunan Drajat Kopuisi Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Krisman Kaban Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kulonprogo Kurnia Effendi Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswinarto L Ridwan Muljosudarmo Laboratorium Sinematografi dan Pertunjukan UNISDA Lamongan Lagu Lailiyatis Sa'adah Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Sarmili Literasi Liza Wahyuninto Lugiena De Lukas Adi Prasetyo Lukisan Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lusia Kus Anna Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Lutfi M. Mushthafa M. Romandhon M. Sunyoto M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M’Shoe Made Geria Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahrus eL-Mawa Majelis Ulama Indonesia Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcus Suprihadi Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Maruli Tobing Mashuri Masuki M. Astro Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Wulan Medco Media Lamongan Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Meka Nitrit Kawasari Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka MI Thoriqotul Hidayah Pilang 1 Mia Arista Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Miftahul A’la Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Ghufron Cholid Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Samsul Arifin Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Ali Athwa Mohammad Eri Irawan Mohammad Rafi Azzamy MTs Putra-Putri Simo Sungelebak Muh Kholid A.S Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Amin Muhammad Arif Muhammad Aris Muhammad Eko Nugroho Muhammad Hidayat Muhammad Muhibbuddin Muhammad Musa Muhammad N. Hassan Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mukafi Niam Mukhsin Amar Mulyani Hasan Mulyo Sunyoto Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Munawir Aziz Muntamah Cendani Musfarayani Musfi Efrizal N. Syamsuddin CH. Haesy Nadine Tri Duhita Naim Nanang Suryadi Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Nara Nazaruddin Azhar Neli Triana Ngatini Rasdi Nh. Anfalah Ni Luh Made Pertiwi F Ni Made Frischa Aswarini Ninuk Mardiana Pambudy Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noval Jubbek Noval Maliki Novel Novel Pekik Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Hayati Nur Kholiq Nur Kholis Huda Nurani Soliha Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Ochi Oil on Canvas Oky Sanjaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Paciran Pameran Seni Rupa Pangkah Kulon Ujungpangkah Gresik Panji Satrio Patung Sphinx PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan 2020 Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit Progresif Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Peringatan Hari Santri TPQ Al-Hidayah 22 Oktober 2017 Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren Sunan Drajat Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Pilang Tejoasri Lamongan Jawa Timur Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Pendopo Watu Bodo Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prosa Proses Kreatif Puisi Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka GU Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. N. Bayu Aji R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rafita Dewi Rahmah Maulidia Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rameli Agam Rana Akbari Raras Cahyafitri Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Revdi Iwan Syahputra Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Ridlwan Ridwan Munawwar Riki Utomi Rinny Srihartiny Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robert Adhi Kusumaputra Robin Al Kautsar Roby Karokaro Rodli TL Rof Maulana Rofiqi Hasan Rojiful Mamduh Rokhim Sarkadek Rosdiansyah Rosi Rosidi Rudi S. Kalianda Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rx King Motor S Jai S Yoga S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Sabrina Asril Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salim Alatas Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saratri Wilonoyudho Sari Oktafiana Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sejarah SelaSastra SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang Selvie Monica S Sendang Duwur Tahun 1920 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Shohebul Umam JR Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sifa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simon Saragih Sirikit Syah Siti Muti’ah Setiawati Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Slavoj Zizek Soelistijono Soetanto Soepiadhy Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Sohirin Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Mulyani Sri Wintala Achmad ST Indrajaya Stanley Adi Prasetyo Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sudirman Hasan Sugeng Ariyadi Sugeng Wiyadi Sugiarto Sugito Wira Yuda Suhartono Sujatmiko Sukardi Rinakit Sukitman Sumenep Sunarno Wibowo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susie Evidia Y Sutamat Arybowo Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Suyatmin Widodo Svet Zakharov Syaf Anton Wr Syaiful Bahri Syaiful Irba Tanpaka Syaiful Mustaqim Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syi'ir Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tanjung Kodok Tahun 1947 Tasman Banto Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Ganast MAN Lamongan Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Sakalintang Teater Sangbala Teater Sundra Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tewol Teater Tewol Lamongan Teguh LR Teguh Winarsho AS Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thamrin Dahlan Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute (IHI) Thohir Thompson Hs Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto To Take Delight Toni Munajat Tosa Poetra Tri Andhi S Tri Wahono Trisno S. Sutanto Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Unieq Awien Universitas Airlangga Surabaya Universitas Jember Untung Basuki Ustadz Charis Bangun Samudra Utami Diah Kusumawati Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Wahyu Aji Wahyudi Zuhro Wan Anwar Warjati Suharyono Wawan Eko Yulianto Wawan Hudiyanto Wawancara Wayan Sunarta Welly Suryandoko Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yanuar Jatnika Yanuar Yachya Yaumu Roikha Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yerusalem Ibu Kota Palestina Yesi Devisa YF La Kahija Yogyo Susaptoyono Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudi Latief Yuli Yuni Ikawati Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zahrotun Nafila Zaim Uchrowi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimras Zen Hae Zuhdi Swt