Republika, 11 Jan 2009
Bapak bahasa Parsi modern. Begitulah masyarakat modern Iran menjuluki Ferdowsi - penyair termasyhur abad ke-10 M. Sastrawan besar Muslim itu melegenda berkat adikaryanya bertajuk Shahnameh (Hikayat Raja-raja) - sebuah epic dunia berbahasa Persia. Berkat masterpiece itu, ia menjelma sebagai penyair besar yang menjadi rujukan para sastrawan dunia.
Para penyair pun berlomba meniru gaya dan metode penulisan yang digunakan Ferdowsi dalam Shahnameh. Namun tak ada seorang sastrawan pun yang bisa mengimbangi kehebatannya dalam menulis. Hingga kini, belum ada karya sastra Persia yang mampu tandingi popularitas serta kebesaran Shahnameh.
Nama besar Ferdowsi mengalahkan sederet sastrawan Persia lainnya, seperti Omar Khayyam, Nezami bahkan Asadi Tusi, sekalipun. Masyarakat Iran menempatkan Ferdowsi sejajar dengan Jalaluddin Rumi. Menurut Encyclopedia Britannica, Ferdowsi dikagumi masyarakat Persia dari zaman ke zaman berkat puisi-puisinya yang memukau. 10 abad setelah kematiannya, Shahnameh pun tak pernah mati dan lekang digilas zaman.
Karya sastra yang monumental itu selalu diceritakan masyarakat Persia dari generasi ke generasi. Ferdowsi menulis mahakaryanya itu penuh kesungguhan. Ia mendedikasikan dirinya selama 30 tahun merampungkan Shahnameh. Epik itu ditulisnya dari masih muda hingga akhir hayatnya. Shahnameh berisi 60 ribu syair pendek dipersembahkan untuk kejayaan Sultan Mahmud dari Ghazna.
Penyair Persia fenomenal itu bernama lengkap Hakim Abul Qasim Firdawsi Tusi. Masyarakat Persia biasa memanggilnya Ferdowsi. Ia terlahir 15 Mei tahun 935 di sebuah desa dekat Tus di Khurasan Raya - kini Razavi, Provinsi Khurasan, Iran. Ia berasal dari keluarga berada, ayahnya seorang tuan tanah yang kaya-raya.
Syahdan, saat masih kecil, Ferdowsi sangat gemar bermain di tepi sungai. Sayangnya, jembatan yang membelah sungai di kampung halamannya selalu rusak disapu banjir. Saat itu, tak ada yang mampu membuat jembatan kokoh dan tahan dari sapuan banjir. Ferdowsi cilik pun memimpikan suatu hari dirinya memiliki cukup uang untuk membangun sebuah jembatan yang kokoh.
Ferdowsi mulai tertarik menulis Shahnameh, setelah membaca syair-syair karya Abu Mansour Al-Moammari. Saat itu usianya baru menginjak 23 tahun. Perkenalannya dengan karya-karya Abu Mansour menjadi momen sangat penting dalam hidupnya. Karya yang dibacanya itu telah melecut semangatnya untuk merangkai kata-kata menjadi syair yang indah dan menakjubkan.
Menurut Encyclopedia Iranica, Ferdowsi mulai menyusun Shahnameh di era kekuasan Dinasti Samanid tahun 977. Kekuasaan Dinasti Samanid di wilayah Persia berakhir seiring berkuasanya Dinasti Ghaznawiyah. Syair-syair pendek ditulisnya selama tiga puluh tahun akhirnya berhasil dikumpulkan menjadi sebuah buku dan diberi judul Shahnameh.
Dua atau tiga tahun setelah merampungkan masterpiece-nya, Ferdowsi hijrah ke kota Ghazna - ibu kota Dinasti Ghaznawiyah. Ia lalu mempersembahkan karyanya itu kepada Sultan Mahmud. Menurut para sejarawan, Mahmud awalnya berjanji untuk menghadiahkan satu dinar (koin emas) untuk setiap syair yang ditulis Ferdowsi.
Namun Sultan ingkar janji. Seharusnya Ferdowsi mendapat 60 ribu koin emas atas hasil karyanya yang ditulis dalam Shahnameh. Sultan Mahmud rupanya hanya menghadiahi sang penyair dengan 20 ribu koin perak (dirham). Saat itu 100 koin perak setara dengan satu dinar.
Ferdowsi pun kecewa. Ada yang menyebut menolak hadiah raja, ada pula yang menyatakan menerima. Konon Ferdowsi menyerahkan uang hadiahnya itu kepada seorang miskin penjual anggur, lalu kembali ke kampung halamannya di Tus dengan hati yang terluka.
Para sejarawan memperkirakan, Sultan Mahmud tak penuhi janjinya setelah mendapat hasutan dari para penyair istana lain. Mereka cemburu dengan perlakuan Sultan yang menempatkannya secara istimewa. Terlebih, karya-karya Ferdowsi begitu luar biasa hebatnya. Tak ada penyair istana Ghaznawiyah kala itu yang mampu imbangi kehebatan karya yang diciptakan Ferdowsi.
Sebelum meninggalkan istana, ia menuliskan syair di dinding kamar istana yang ditempatinya. Syair itu sungguh panjang dan berisi kemarahan Ferdowsi kepada Sultan. Syair kemarahan yang ditulis Ferdowsi membuat Sultan Mahmud murka, dan memerintahkan agar ditangkap dan dihukum mati; dinjak-injak oleh gajah.
Ferdowsi pun meminta maaf dan raja akhirnya memberi ampun. Syaratnya, Sultan tak mau lagi melihat atau mendengar Ferdowsi. Rakyat di kota Ghazna memprotes kebijakan raja yang tak penuhi janjinya kepada Ferdowsi. Sultan pun pada akhirnya menyadari bahwa dirinya telah salah. Ia lalu memerintahkan pegawai kesultanan untuk mengantarkan 60 ribu koin emas, pakaian dari sutra, brukat, serta beludru untuk Ferdowsi.
Hadiah dari Sultan itu dikirim menggunakan seekor unta. Selain menghadiahkan uang dan pakaian, Sultan pun menyertakan parfum dan rempah-rempah untuk Ferdowsi. Sayangnya, kiriman dari Sultan terlambat. Dikisahkan, Ferdowsi telah tutup usia sebelum hadiah dari Sultan Mahmud tiba di kota Tus.
Kiriman raja itu akhirnya diterima putrinya, sebagai ahli waris. Berbekal uang begitu banyak, sang putri kemudian berhasil mewujudkan impian ayahnya untuk membangun jembatan yang kokoh serta tempat peristirahatan (caravanserai) bagi para penjelajah dan pedagang yang lewat di Tus.
Namun ada juga versi yang menyatakan, putri Ferdowsi menolak hadiah yang dikirimkan Sultan untuk ayahnya. Menurut versi ini, hadiah dibawa kembali ke Sultan dan digunakan membangun tempat penginapan yang terletak di antara jalan dari Merv ke Tus. Caravanserai itu diberi nama “Robath Chaheh”. Kini tempat peristirahatan itu hanya tinggal puing-puing, namun masih ada. Ia tutup usia pada tahun 1020 M di tanah kelahirannya.
Karya Monumental itu Bernama Shahnameh
“Selama 10 abad setelah Ferdowsi menyusun karya monumentalnya, legenda kepahlawanan dan cerita Shahnameh masih tetap menjadi sumber cerita bertutur bagi orang-orang di Persia,” papar Professor Victoria Arakelova dari Universitas Yerevan. Hal itu menandakan betapa luar biasanya pengaruh dari syair-syiar yang ditulis Ferdowsi dalam Shahnameh.
Prof Victoria menambahkan, tak hanya orang Persia saja yang suka karya besar Ferdowsi. Selama 1.000 tahun lamanya, kata dia, orang Kurdi, Guran, Talishis, Armenia, Georgia dan Kaukasia Utara tetap menjadikan Shahnameh sebagai dongeng dari satu generasi ke generasi yang lain. Shahnameh telah dianggap salah satu warisan budaya bernilai tinggi yang dimiliki bangsa Iran.
Bukti bahwa Shahnameh berhasil memikat perhatian orang Georgia dipaparkan Professor Jamshid Sh Giunshvili. Menurut dia, nama-nama pahlawan yang ditulis dalam Shahmaneh seperti Rostam, Tahmine, Sam-i, atau Zaal-i ternyata ditemukan pula pada karya sastra orang-orang Georgia abad ke- 11 dan 12 M. Sayangnya, buku terjemahan Shahnameh ditulis orang-orang Georgia zaman dulu tak lagi ada.
Shahnameh pun menarik perhatian pecinta sastra dunia. Tak heran, jika buku yang legendaris itu diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk ke bahasa Indonesia. Shahnameh, berkisah sejarah masa lalu Iran Raya, mulai dari penciptaan dunia hingga berkuasanya Islam di Iran abad ke-7 M.
Ferdowsi memulai cerita Shahnameh dengan menampilkan Kaiumer I sebagai Shah di Kerajaan Persia. Ia diibaratkan sang penguasa dunia yang membangun tempat tinggal di gunung, memakai pakaian dari kulit harimau, begitu pula rakyatnya.
Anak manusia yang dilindungi oleh Ormurzd (sebutan Tuhan) dan segala kelimpahannya, mengundang sirik dari setan (Ahriman) yang senantiasa memberi cobaan melalui putranya yang berjuluk Deev. Masa gelap pun hadir melalui Raja Zohak dari jazirah Arab yang dibantu Deev.
Penguasa berjuluk Raja Ular -karena memberi korban manusia setiap hari untuk dimakan ular raksasa - bisa dikalahkan Feridoun yang mengasingkannya ke Gunung Demawend. Intrik di kerajaan Persia dengan raja tertinggi berjuluk Shah, mulai tersemai ketika Feridoun memiliki 3 putra yaitu Silim si sulung, Tur si anak tengah, dan Irij si bungsu.
Suatu hari Feridoun ingin menguji ketiga anaknya dengan menyuruh mereka bertarung melawan naga. Silim yang dalam pertarungan melawan naga, terbukti adalah si orang yang mencari aman dengan membalikkan badan pergi meninggalkan sang naga. Ia membiarkan adik-adiknya bertarung melawan naga.
Tur yang berarti “pemberani”, memang membuktikan nyali melawan naga. Akan tetapi, Irij tampil sebagai pria bijaksana sekaligus pemberani. Feridoun kemudian membagi wilayah kekuasaannya menjadi tiga bagian secara adil kepada putranya. Silim memperoleh Rhoum (Kaver) daerah tempat terbenamnya matahari; Turan atau Turkestan diberikan kepada Tur (sebagai penguasa Turki dan Cina); lalu Feridoun memberikan Iran kepada Irij.
Meski ketiganya menjadi raja makmur di negara masing-masing, bisikan setan berhasil menguasai Silim dan Tur. Keduanya bahu-membahu menyerang Iran dan membunuh adik bungsunya. Dari pertikaian bak kisah putra Adam-Hawa, dimana Qabil membunuh adik kandungnya sendiri (Habil), maka dinasti Iran pun tak lepas dari balas dendam, perebutan kekuasaan, dan kematian. Ada pula kisah cinta, cemburu, tipu daya, termasuk ilmu sihir. Para Shah percaya akan ramalan ahli nujum. Melihat nasib dan masa depan dari keturunan yang baru lahir.
Dan kisah sejarah permulaan Iran kuno tak bisa lepas dengan tidak mengisahkan kepahlawanan ksatria besar Persia, Rostam atau Rustem. Pehliva (ksatria) turunan Zal putra Saum sang pahlawan dengan Rudabeh, setia membela Shah meskipun pada beberapa kasus peperangan terjadi akibat kebodohan dan ketamakan rajanya.
Shahnameh memiliki 62 cerita, 990 bab dan berisi 60 ribu syair. Shahnamed merupakan sebuah karya sastra yang sangat luar biasa. hri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar