Lazim, tiap ada hal yang musykil, saya pasti sowan ke dhalem Nyai Surti. Walaupun yakin, saya pasti bakal mendapatkan omelan, cacian, dan entah apapun itu. Ya, begitulah beliau, diluar sosok Nyai pada umumnya. Sulit ditebak. Sebagai santri, saya tetap mendudukan tiap omelan-omelan beliau sebagai hikmah. Sebab apa? Tiap bahasa, diksi, dan ujaran-ujaran beliau sangat sarat makna, mendalam, dan bernash. Dan itu cukup mewakili kemantapan saya untuk terus mempertanyakan perihal apapun ke beliau.
Tadi sehabis subuh, saya sowan ke beliau--jalan kaki. Sebab rumah saya tak jauh dari dhalem beliau. Saya dapati beliau sedang konsentrasi mendengarkan alunan lagu dangdut lewat radio kuno kesukaannya.
Sampai di ruang tamu beliau, saya spontan membuka perbincangan:
"Akhir-akhir ini, cafe-cafe kok makin rame ya, Nyai? Apakah ini pertanda bahwa manusia sudah semakin jauh dari Tuhan, Nyai?" Saya membuka pembicaraan.
"Apanya yang jauh dari Tuhan, gendeng? Siapa? Datang-datang kok malah ngurusi orang yang jauh dari Tuhan kek, yang ini kek. Otakmu itu yang gendeng! Otak kalau cuma mencerna hasil tangkapan mata yang ambles itu ya begitu. Bisa tolol dan salah alamat (pemahaman). Dasar santri tersesat!" Respon Nyai Surti meninggi
"Aduh, ampun, Nyai. Saya sekedar menanyakan saja." Saya takdzim. Tak bergerak sedikitpun.
"Ompan-ampun! Apa-apa itu jangan cuma dipikir, gendeng! Olah, rasakan, lalu hayati pakai hatimu itu. Latih, latih, latih! Paham? Hati ya kalau sekedar terus-terusan dipakai memprasangkai, menghakimi, menyalahkan orang ya begitu! Anjlok! Dasar santri tak jelas!."
"Sendiko dawuh, Nyai." Saya semakin takdzim.
"Orang di cafe itu mencari hiburan biar senang, pemain gitar memainkannya dipinggir jalanan itu juga biar enjoy, jadi biarin aja. Apa urusanmu? Yang gendeng itu, mereka enjoy-enjoy saja, kok malah kamu yang ruwet alias tidak enjoy pada mereka. Begini ini yang bikin repot alis ruwet. Paham?" Jabar Nyai Surti.
"Kebenaran akan kalah saat pelaku kebenaran tidak pernah asyik, sementara pelaku kebathilan enjoy-enjoy saja. Nah, yang begini ini yang mengakibatkan trauma sosial. Gendeng! Jelas? Hah? Jelas?" Mata Nyai Surti melotot tajam. Saya tetap tak bergerak sedikitpun.
"Mestinya dengan didikan teks suci--'alaa bidzikrillahi tathmainnul qulub', dirimu itu mikir, 'mengapa mereka yang di cafe dan gitaran itu tenang, kok malah saya yang justru tidak tenang dengan mereka?' Nah, mestinya pertanyaam begini ini yang lebih penting. Makanya nyantri itu jangan tanggung-tanggung! Membuka teks suci itu pakai penghayatan--hati-hati! Jangan seenaknya kayak gendengmu itu! Otak edan ya persis otakmu itu! Cukup Mencerna teks lalu dikeluarkan! Hayati dulu! Dalami! Paham?" Nyai Surti menyeruput kopi jahe, irama dangdut di radio kuno beliau masih terus mengalun halus.
"Lantas apa kira-kira yang mesti kita lakukan atas fenomena yang saya pertanyakan diawal tadi, Nyai?"
"Sek, otakmu itu otak, apa batu, dul? Kok budeg? Dasar anjlok!"
"Duh, ampun sanget, Saya belum nyantol, Nyai"
"Jadi begini, saya ulang, bawalah agama dengan senang dan gembira. Mengapa? Biar berimplikasi pada keceriaan sosial. Ditengah sibuknya orang-orang mencari kesenangan dengan kemaksiatan, kadang agama ini kemudian dibawa oleh orang-orang sepertimu itu. Ya akibatnya malah tambah kacau. Jelas?. Lebih mudahnya begini, dalam pernyataannya yang masyhur, Martin Luther King, Jr. Mengatakan, 'The greatest tragedy of this period of social transition was not the strident clamor of the bad people, but the appalling silence of the good people.'--bahwa Kezhaliman akan terus ada bukan karena banyaknya orang-orang jahat, tetapi karena diamnya orang-orang baik. Mengapa? Ya sebab saling merasa benar, merasa paling baik, dan semua ingin didepan itu. Membawakan agama kok egois, kan repot? Jelas?" Nyai surti mulai bernada santai.
"Enggeh, Nyai. Sendiko dawuh."
"Jika kurang yakin, dalam sabda suci agama, jelas nyata ada anjuran Kanjeng Nabi Muhammad, begini; 'ittaqullaha haitsuma kunta, wa athbi'issayyiatal hasanata tamhuha, wa khuluqinnasa bikhuluqin hasanin'. Pernah dengar?" Nyai Surti menimpali.
"Ampun, Nyai. Saya baru dengar dari panjenengan."
"Kalau kuping sekedar dipakai untuk dengar desahan film-film porno ya begitu itu! Ambles total!. Begini, dengarkan! Pasang telinganya! Otak itu buka! Di sabda suci barusan itu, Kanjeng Nabi menyatakan dalam bentuk perintah, mestinya tiap keburukan itu diikuti oleh kebaikan-kebaikan. Caranya mudahnya, menggauli manusia dengan prilaku yang sebaik-baiknya. Jelas, kan? Jika belum jelas, berarti otakmu memang batu! Paham?" Nyai surti sembari merapikan naskah-naskah kuno dihadapannya. Saya tetap dalam posisi yang sama.
"Maka bagi Ibnu Hajar Al Atsqolani dalam syarah kitab Fathul Bari dinyatakan bahwa agama ini mengajarkan kenyamanan berfikir, bukan malah dipersulit dengan pemperunyam dan memperkeruh keadaan. Makanya ya itu tadi, apapun, pikir, hadapi dan sikapi secara santai dan gembira. Biar wajah agama dalam dirimu tak menjelma menjadi ketidaknyamanan yang berakibat pada trauma sosial itu. Jangan sampai begitu! Paham?" Nyai surti santai.
"Enggeh, enggeh, Nyai."
Sambil nyender santai di tiang kayu ruang tamunya yang total ukiran, Nyai surti melanjutkan:
"Kira-kira, kamu mau tidak, jadi Wali?" Tanya Nyai Surti, simpel.
"Duh, jauh, saya ini, Nyai." Saya tetap di posisi yang sama. Menunduk sambil garuk-garuk kepala. Sebab pertanyaan beliau diluar lumrahnya.
"Pertanyaan saya itu simpel, gendeng! Mau apa tidak? Santri kok mencla-mencle." Nyai Surti kembali melotot. Saya kaget.
"Duh, Enggeh, enggeh, Nyai. Saya mau, Nyai." Saya menjawab--reflek.
"Bagus. Mulai cerdas! Cara daftar menjadi Wali itu gampang. Cukup dua. Dengarkan baik-baik!--tak pernah ada rasa takut, dan satunya lagi, tak pernah keberatan untuk susah--Alaa inna awliyaallahu laa haufun 'alaihim wa laa hum yahzanun. (QS. Yunus: 62). Jika dua hal syarat ini sidah kamu penuhi, boleh kamu umumin saja ke pasar-pasar, ke tempat-tempat yang dimana keramaian itu ada, bahwa dirimu itu Wali. Biar diantemi orang-orang, kamu itu! Hwakakakakakak" Tertawa terpingkal-pingkal, Aroma jahe, harum, menyengat. Keluar dari tawa Nyai Surti.
"Jadi begini, santri gendeng. Menjalani, menghayati, dan lalu mengarifi perjalanan hidup ini tak cukup mudah. Boleh lah didudukkan sebagai perihal yang sulit. Cukup sulit, bahkan bisa dibilang sangat sulit. Iya. Tapi ingat, apa-apa jika terus dilatih, dilatih, dan dilatih, pasti bakal terbiasa. Termasuk melatih pembawaan agama dalam dirimu itu. Sekali lagi, perlu terus dilatih! Pakasa! Tampilkan wujud agama itu sebagai sebentang kegembiraan--yang tak mengedepankan emosi-emosi, penuh hati-hati dengan tak gampang menghakimi dan mempersalahkan tiap apa yang diluarmu! Paham ya? Harus paham! Jika tidak, tak antemi gelas, gudulmu itu." Mata Nyai Surti mulai berkaca-kaca, kedipannya semakin cepat. Rupanya beliau sedang ngantuk.
"Ya sudah, sana pulang! Saya capek ngurus santri yang ruwet sepertimu itu. Gendeng, ya iya. Hwakakakakakak" Usai tertawa lepas, Nyai Surti lelap dalam tidur.
Padepokan Nyai Surti, 18 Juli 2020
*) Mohammad Afifi, lahir di Maskuning Kulon, Pujer, Bondowoso, Jawa Timur 20 April 1994. Koordinator Gusdurian Bondowoso, salah satu bukunya bertitel "Mantra dari Langit."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar