Asep Salahudin
Media Indonesia, 16 April 2019
HERU Cokro atau Ratu Adil ialah gelar yang dinisbahkan kepada HOS Tjokroaminoto. Tan Malaka menyebutnya ‘Raja tanpa Mahkota’. Orang Belanda menggelarinya De Ongekroonde Koning van Java (Raja Jawa yang tak Dinobatkan). Sosok yang sering disebut-sebut sebagai soko guru manusia pergerakan.
Dari rumah tinggalnya di Gang Peneleh, Surabaya, yang disebut Soekarno 'dapur nasionalisme', lahir murid-muridnya yang cemerlang dengan kecenderungan ideologi berbeda, tetapi satu sama lain saling menguatkan dengan tujuan utama yang sama, yaitu mempercepat terusirnya Hindia Belanda dari Bumi Pertiwi. Sebut saja Bung Karno (nasionalisme-sosialisme) yang kemudian menjadi menantuya, Musso, Alimin, Tan, Semaoen (komunisme), dan Kartosoewirjo (islamisme).
Mungkin benar apa yang dibilang filsuf Jerman, Nietzsche, bahwa guru yang berhasil ketika berbeda dengan muridnya. Dalam kasus ini benar-benar diterapkan Tjokro. Bukan hanya berbeda, kadang para muridnya itu berseberangan yang tidak bisa lagi didekatkan, malah menjadi penentang paling lantang gurunya, seperti dilakukan kelompok kiri. Namun, sang guru, sebagaimana dalam pengakuan Tan Malaka, selalu lapang dan membuka pintu kepada siapa pun yang datang. Senantiasa menampakkan air muka gembira tatkala menyambut tetamunya yang hendak mendiskusikan masa depan negerinya.
Takashi Shiraishi, menyebut jalan perjuangan Tjokro sebagai standar pergerakan. Tjokro tampil di tengah rimba gelap politik represif kolonial menyerukan kesadaran berbangsa lewat cara-cara terukur dan rasional. Tidak lagi mengokang senjata, tapi mendahulukan nalar; bukan lagi menajamkan bambu runcing, melainkan melakukan rapat akbar yang dihadiri ribuan massa dan kemudian tampil ke muka berpidato mengobarkan semangat 'nasionalisme'.
Bukan lagi mencabut pedang berkilat, tapi dengan piawai memanfaatkan pamflet dan menuliskan gagasan-gagasan besarnya tentang bangsa yang diimpikannya untuk kemudian ditularkan kepada massa, seperti disebarkannya lewat media Oetoesan Hindia, Soeloeh Hoekoem, Fadjar Asia, Al-Djihad, Al-Islam, Koran Matahari, Pantjaran Warna, Hindia Serikat, dan Bendera Islam. Tjokro dengan terampil membangun kader-kader militan lewat SI dan tidak pernah lelah melakukan konsolidasi mengelilingi berbagai dearah menumbuhkan sikap politik dan jiwa kritis.
Seandainya Budi Utomo yang lahir lebih awal tampil ke pentas politik dengan wataknya yang elitis dan Jawa-sentris, Sarekat Islam (SI) digenggaman Tjokro menjadi sebuah serikat populis. Petani, buruh, pedagang, dan kaum jelata dirangkul serta tentu mereka merasa aspirasinya tersalurkan. Menjadi wajar kalau Tjokro dinobatkannya sebagai ratu adil yang meniupkan angin harapan akan hadirnya kehidupan yang lebih baik di masa akan datang walaupun dirinya sendiri menampik penamaan itu, ‘meskipun jiwa kita penuh harapan besar, tetapi sudah semestinya menjauhi mimpi kedatangan ratu adil, atau kejadian yang bukan-bukan’.
Dengan suara menggelegar, fasih, dan tertib, massa seperti terhipnosis masuk alur pidato yang disampaikan Tjokro. Mereka seperti menemukan saluran politiknya pada sosok Tjokro yang dengan keberanian intens menohok mempertanyakan kelangsungan pemerintahan Hindia Belanda.
Kata Amelz dalam Tjokroaminoto: Hidup dan Perjuangannya, pidatonya membawa khalayak menjadi gefascineerd, mabuk tergila-gila, atau dalam penggambaran Takashi Shiraishi, ‘dikaruniai suara bariton yang mantap sehingga dapat didengar ribuan pendengarnya tanpa pengeras suara’. Coba kita simak sebagaian penggambarannya; ‘orang semakin lama semakin merasakan bahwa tidak pantas lagi Hindia diperintah Belanda.
Bagaikan tuan tanah yang menguasai tanah-tanahnya. Tidak pada tempatnya menganggap Hindia sebagai sapi perahan yang hanya diberi makan demi susunya. Tidaklah pantas untuk menganggap negeri ini sebagai tempat ke mana orang berdatangan hanya untuk memperoleh keuntungan dan sekarang sudah tidak pada tempatnya lagi bahwa penduduknya, terutama anak negerinya sendiri, tidak mempunyai hak turut berbicara dalam soal-soal pemerintahan yang mengantar nasib mereka’.
Manusia imajinatif
Sejak muda, Tjokro sudah mengambil pilihan hidup nekat. Bukan saja gelar keningratannya yang ditanggalkan, melainkan juga pekerjaan yang telah dipersiapakan mertuanya sebagai Wakil Bupati Ponorogo Raden Masmangoensoemo juga tidak diambil. Dengan penuh kepercayaan diri hengkang dari rumah mertuanya mengambil pekerjaan rendahan sebagai kuli pelabuhan di Semarang. Kemudian berlabuh di Surabaya, aktif membicarakan masa depan Tanah Airnya.
Justru dari 'lapangan kehidupan', Tjokro menyerap napas kerakyatan lengkap dengan mimpi kebangsaannya. Mimpi untuk memiliki negara yang berdaulat. Oksigen kerakyatan dapat dihirupnya dan dipantulkan kembali dalam senarai tulisan dan aktivisme politiknya yang luhur.
Inilah kepemimpinan imajinatif, memikirkan sesuatu yang tak dapat dipikirkan kebanyakan orang atau mungkin dianggap mustahil sebagian kalangan, mengambil keputusan tidak populer untuk memburu keadaan yang lebih besar faidahnya bagi masyarakat umum. Seandainya Tjokroaminoto sejak awal memilih hidup dalam zona nyaman, tentu selepas bersekolah lebih memilih menjadi priayi, tapi justru dia berbelok arah merambah rute terjal yang tidak jelas juntrungnya.
Justru rute tidak jelas ini yang kemudian menjadi ilham bagi terwujudnya cita-cita besar nasionalisme kebangsaan, menjadi inspirasi bagi manusia pergerakan di kemudian hari. Bagaimana misalnya Bung Karno dan Agus Salim, tidak saja meniru pidato-pidatonya, tapi juga langkah politiknya, bahkan juga strategi menjadikan media massa sebagai sarana penyebaran gagasannya.
Bagaimana misalnya seorang Tjokro dalam kongres SI yang diselenggarakan pada 17-24 di 1916 dengan hujah meyakinkan sudah melemparkan gagasan pentingnya natieu (kebangsaan) dan zelfbestuur (pemerintahan sendiri), ‘...dan di kongres ini yang akan kita bicarakan, yaitu usaha yang pertama-tama buat membantu supaya Hindia lekas dapat pemerintahan Zelfbestuur atau supaya sedikitnya penduduk bumiputra diberi hak-hak akan turut bicara dalam perkara pemerintahan’.
Seperti diakui Tan Malaka dalam Sovjet dan Parlement bahwa SI-lah yang meretas jalan dan yang mula-mula memberi harapan tinggi, ‘membangunkan rakyat yang sudah tertidur sekian abad lamanya’.
Tjokro tidak saja cakap beridato dan terampil berserikat, tapi juga menuangkan gagasannya bukan hanya dalam sekian majalah, melainkan juga buku yang berjudul, Islam dan Sosialisme 1924. Konon terhadap buku ini, Bung Hatta sangat berutang budi ketika merumuskan konsep ekonomi koperasinya. Menyusul kemudian pada 1928, Tjokro menulis buku Tarikh Agama Islam: Sejarah Perkembangan Agama-Agama.
Melampaui Politik
Hari ini era Tjokro sudah lewat, bahkan ormas SI yang diwariskannya telah sekian lama disekap perpecahan. Namun, Tjokro sebagai nilai akan selalu relevan tidak saja untuk dikenang, tetapi juga helat vitalnya mengenai nasionalisme, persatuan, etos kerja, sikap terbuka harus tetap dirawat.
Sikapnya yang lapang menghadapi perbedaan, selalu mendahulukan dialog dan kecintaannya terhadap negerinya yang tidak disangsikan lagi. Hal itu bukan hanya menarik, melainkan juga dapat diartikulasikan hari ini pada musim politik. Ketika gagasan semakin hilang dan hoaks mengambil alih percaturan publik, tatkala ketegasan hanya dipantulkan dalam bentuk teriakan tak jelas sambil memukul-mukul podium.
***
*) Asep Salahudin, Wakil rektor IAILM Suryalaya Tasikmalaya Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat.
Keterangan gambar: Haji Oemar Said Cokroaminoto, foto id.wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar