: DARI FUNGSIONAL KE POLITIK
STRUKTURAL
Imam Nawawi
Ini tulisan masih saya tulis ketika saya berada di kota
Sumenep. Dalam ilmu sosiologi (nanti akan lebih banyak orang yang lebih paham
sosiologi dibanding saya) terdapat apa yang disebut "aktor
fungsional" dan "agen struktural". Ilmu ini rumit karena ada
sarjana khusus yang spesifik belajar tentangnya.
Tapi, saya coba menyederhanakannya dalam konteks
detik-detik menuju Sumenep 1 (ini masih kelanjutan tentang filsafat angka 1).
Mungkin gambar yang paling sederhana adalah bawang merah. Anda tahu bawang
merah memiliki lapis-lapis kulit? Kulit terluar dibuang, dan bagian dalam yang
elite dipakai. Begitu juga dalam pemerintahan di Kabupaten.
Kulit bawang terluar adalah mereka yang harus bersentuhan
langsung dengan panas matahari, digempur dan bergesekan dengan tanah, diguyur
siraman air, bahkan diberi obat-obat kimiawi. Setelah masa panen tiba, bawang
dipetik. Jika mau dicampurkan ke masakan sebagai bumbu perenyah, kulit terluar
akan dibuang. Inilah cara berpikir aktor fungsional.
Karena cara berpikir fungsional ini dominan dalam
permainan politik maka mau tidak mau muncul istilah ring 1, ring 2, ring 3 dan
selanjutnya. Lapisan-lapisan kulit bawang politik semacam ini sengaja
diciptakan, supaya tercipta jenis-jenis tanggung jawab dan tugas berbeda-beda;
ada yang mengandalkan otot dan ada yang mengandalkan otak. Lalu bagaimana soal
pembagian jatah kekuasaan dan upah? Jawabannya sederhana: kulit terluar bawang
akan dibuang ke tempat sampah dan bagian dalam akan dipakai untuk rempah
masakan.
Mengapa di ruang publik Republik ini banyak orang berdemo
berjilid-jilid mengutarakan ketidakpuasan politik ? Jawabannya sederhana :
mereka tidak tahu apa bahasa yang tepat untuk mendefinisikan dirinya sendiri.
Seandainya sedari awal sudah paham bahwa diri mereka memang terjebak dan
dijebak dalam politik fungsional, maka mereka akan sadar sejak awal, bahwa diri
mereka memang dibayar dan diupah untuk menjadi kulit terluar bawang. Ini
konsekuensi politik fungsional.
Mengubah politik fungsional ke politik struktural masih
mungkin. Jika beralih dari nalar politik fungsional ke nalar politik
struktural, ini disebut politik transformatif. Yakni, berubah dari menempatkan
orang lain lebih rendah/tinggi dibanding dirinya sendiri, menjadi
setara-senasib-seperjuangan. Dengan kata lain, ring 1, ring 2, ring 3, dan
seterusnya tidak diperlakukan lebih unggul atau lebih rendah.
Sederhananya begini: kulit terluar bawang yang
penampilannya rusak, kumuh, dan kering tetap dihargai seharga kulit bawang
bagian terdalam. Ring 1 dan ring 3 dihargai sederajat. Dalam apa sederajat?
Tentu saja dalam akses kekuasaan, pembagian jatah proyek, dan kesempatan yang
transparan dalam pengajuan proposal kegiatan. Lebih sederhananya: setara dalam
nominal dan duit. Sebab, bagian terdalam kulit bawang akan rusak tanpa peran
kulit terluar. Itu juga yang terjadi politik.
Apa mungkin ring 3 atau ring paling buncit setara dengan
ring 1 ? Tergantung. Jika pendekatan berpikirnya fungsional, maka tidak
mungkin. Tapi, kita butuh transformasi. Mengganti "aktor" fungsional
dengan "agen" struktural. Ring 3 misalnya hanya akan diupah dengan
uang rokok dan beras jika mereka menerima dirinya sebagai aktor, tetapi akan
lebih berpeluang mendapat jatah nominal dan kekuasaan jika merubah diri menjadi
agen.
Agen politik ini bekalnya adalah daya tawar. Ring 3 bila
mau jadi agen politik, bukan aktor politik, maka harus berdaya tawar.
Tawar-menawar yang membuat harga dirinya senilai dengan ring 1. Bagaimana itu
terjadi? Daya tawar umumnya membutuhkan bekal berupa kritisisme dan
intelektualisme. Dalam praktek sederhananya dapat diwujudkan dengan
saling-kunci, saling blokir, saling skak, sampai betul-betul setara dalam
komitmen pembagian nominal yang adil. Jika tidak maka anda akan selamanya jadi
aktor politik, bukan agen yang setara dalam pembagian jatah nominal dan hanya
berbeda dalam pembagian job kerja.
Modal lain yang juga penting untuk menjadi agen
struktural adalah mosi tidak percaya pada apapun seputar hantu-hantu goib yang
dimainkan oleh ring 1 atau ring paling tinggi. Opini-opini gaib yang abstrak
dan absurd sering dipakai untuk mengelabui kecerdasan ring paling rendah,
supaya tidak ada kritisisme dari ring paling rendah, agar ring paling rendah
tetap sebagai aktor dan ring paling tinggi menjadi agen di hadapan Orang Nomor
1 di pemerintahan. Ketidakadilan memang bermula sejak dalam pikiran, dimana
kebodohan atau ketidaktahuan sebagai komoditas. Dengan kata lain, semakin anda
bodoh maka semakin anda dapat diperjualbelikan. Anda bukan lagi mirip dengan
bawang, tapi total harga diri anda memang seharga 1 kg bawang, yakni Rp.
15.000.
***
Tulisan ini dibuat
ketika melihat banyak para sarjana menjadi timses politik, dan kebetulan saya
lagi bantu keluarga untuk ngupas bawang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar