Kautsar Muhammad
Banyak cara membangkitkan kenangan. Apalagi sesuatu yang
penting bagi banyak orang. Seperti yang sedang saya lakukan, memperingati
sembilan tahun perdamaian Aceh dengan mengunjungi sebuah tempat special. Tempat
yang punya makna tersendiri bagi saya, saban tahun di tanggal 15 Agustus.
Tempat itu sebuah simbol kapitalisme dunia. Barometer
negeri yang ramah dengan agenda globalisasi ekonomi. Tempat memorial itu warung
kopi asal Amerika Serikat dengan lambang corat-coret tangan berwarna hijau. Tak
jelas apakah gambar seorang laki-laki atau perempuan. Berambut panjang terurai,
tercetak di semua merchandise warung kopi itu.
Starbucks. Starbucks yang satu ini terletak di pojok
pusat perbelanjaan Plaza Senayan, Jakarta Selatan. Tempat mangkal saban Sabtu
atau Minggu, selama saya di Jakarta dalam hari-hari pelarian semasa perang
berkecamuk di kampung.
***
Adalah Nezar Patria dan Arie Maulana; dua orang teman
yang selalu menemani prosesi minum kopi mingguan yang hampir kegiatan arisan.
Perkembangan perang di kampung menjadi tajuk utama menemani sajian latte, atau
capucino yang biasa dipesan Nezar.
Biar bisa merokok, kami biasanya mengambil tempat duduk
di luar. Persis dekat pohon beringin rindang. Menikmati tubuh air mancur yang
pergerakan tertentu waktunya diatur memuncratkan air dari hamparan lantai batu
sebuah gedung megah, di samping Plaza Senayan. Kami menyaksikan hiruk-pikuk
kebudayaan kelas menengah yang sedang menjalar di Jakarta. Berbeda dengan
gampong Blang Rheum di Kabupaten Bireuen.
Di sana kami mendengar cerita Nezar yang baru pulang dari
pedalaman Peudawa, Aceh Timur. Untuk misi pembebasan Ersa Siregar, dan Ferry
Santoro. Cerita yang seakan memanggil raga kembali ke medan tempur. Di serambi
belakang warung kopi itu juga, kami bersedih dengan berita tewasnya Ishak Daud,
dan Bang Bahri di Bireuen. Di serambi
belakang itulah, kami merasa seperti manusia kehilangan negara dan kampung
halaman.
“Situasi Aceh mengalami stagnasi”, kata Nezar. Perlu ada
langkah khusus oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Bila tidak, situasi akan merugi
sekali untuk Aceh, dan masyarakatnya. GAM tidak boleh mentok di tuntutan merdeka
saja, harus ada bahasa lain yang dapat diterima pihak Indonesia serta mendapat
dukungan Internasional. Bahasa ini menjadi alat supaya kedua pihak kembali ke
meja perundingan. Menurutnya, teman-teman di Jakarta sudah tidak punya bahasa
lagi untuk mendesak pemerintah Megawati menghentikan perang di Aceh.
Situasi di kampung semakin tidak bisa didefinisikan.
Gerilyawan GAM melemah. Pasokan logistik militernya juga menipis, satu-persatu
gugur, karena lapar dan malaria akibat perang. Tidak ada aplusan pasukan layaknya
tentara regular.
Kami mendengar informasi, gerilyawan GAM mulai menyimpan
senjata mereka, dan keluar dari Aceh. Tentu, akan kembali saat situasi
memungkinkan lagi untuk perang. Bila ini terjadi, masyarakat menjadi komponen
yang paling dirugikan. Aceh menjadi daerah yang tidak jelas statusnya,
selamanya akan menjadi daerah operasi militer dengan musuh semakin tak jelas.
Nezar menawarkan solusi otonomi yang seluas-luasnya. GAM
menyerahkan senjatanya, dan pemerintah Indonesia harus mengakomodir GAM menjadi
elemen-elemen politik yang diakui konstitusi. Selanjutnya, GAM bisa
memperjuangkan ide-ide subtansi dari tujuan merdeka, dan bernegara, yaitu
kesejahteraan, keadilan, dan sebuah kebanggaan.
“Kepada siapa kita bisa bicarakan ini?” Tanya Nezar.
Saya menggelengkan kepala, tak tahu (bisa) menjawab.
—
Tak ingat lagi. Entah dua minggu atau lebih setelah
tsunami, telepon genggam saya berdering. Dari sebelah sana, Nezar Patria
mengatakan, “Kita harus bertemu seseorang yang baru tiba dari Aceh”.
Saya bergegas ke tempat yang diarahkan. Sebuah hotel
sederhana di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat. Kami bertemu dengan Irwandi
Yusuf, yang baru saja melarikan diri dari penjara yang hancur diterjang
tsunami.
Kepadanya, semua materi diskusi di Starbucks kami ulang
kembali. Lantas, Nezar juga mengulang pertanyaannya, “Kepada siapa kita bisa
bicara ini?”
Irwandi melihat ke arah saya.
“Kita harus bicara ke Swedia”, Jawab saya.
“Bagaimana caranya?” Tanya Irwandi.
“Saya bisa hubungkan Abang dengan Abon Uma Ben Jeunieb di
Kuala Lumpur. Beliau bisa bicara ke Swedia,” Jawab saya.
Kapan kamu akan ke Kuala Lumpur? Irwandi balik bertanya.
“Dalam minggu ini” Jawab saya cepat.
“Nezar, bagaimana cara supaya saya bisa dapat paspor?”
Pertanyaan Irwandi kepada Nezar, yang saya tak tahu lagi
jawabannya.
—
Belakangan kami gembira, setelah tahu Irwandi bisa
terbang sampai ke Swedia, dan menjadi salah seorang juru runding GAM di
Helsinki.
Hari ini saya bahagia, bisa menulis tulisan ini, di
serambi belakang Starbucks. Di pojok yang sama sepuluh tahun lalu. Kali ini
saya sendiri, tanpa ditemani Nezar Patria dan Arie Maulana. Masih dengan
pesanan yang sama, secangkir Short Coffee Latte.
Jakarta, 15 Agustus 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar