Djoko Saryono *
Kendati istilah estetika baru dipakai beberapa abad, substansi yang dikandung dan diwadahi oleh istilah tersebut sudah menjadi topik perbincangan yang amat lama, sudah melampaui dua ribu tahun. Kita tahu, istilah estetika diperkenalkan dengan maksud untuk mengurusi perkara keindahan dan pengalaman keindahan beserta segenap pernak-perniknya.
Hal-ihwal keindahan dan pengalaman keindahan inilah – dengan berbagai nama di dalam pelbagai peradaban dan kebudayaan – yang sudah lama dibincangkan, lebih lama daripada nama estetika. Memang demikianlah lazimnya: praksis dan pengalaman mengumuli keindahan seni khususnya sastra mendahului penamaannya secara konseptual, yaitu estetika.
Dalam rentang perjalanan pelbagai kebudayaan dan peradaban, senantiasa terjadi perbincangan ihwal estetika baik pada dataran filsafat maupun seni, bahkan religi walaupun belum tentu menggunakan istilah atau nama estetika. Tak pelak, partisipan, wilayah, dan hasil perbincangan ihwal estetika bisa dibilang banyak dan beragam.
Dari wilayah peradaban Barat (jika kita masih boleh memakai klasifikasi ini), ingatan kolektif kita mencatat nama-nama mulai Plato, Aristoteles, Kant, Lukacs, Gadamer, sampai dengan Lyotard dan Derrida. Mereka merupakan sosok-sosok terkemuka yang telah memberi andil dalam memperindah taman estetika berkat pikiran-pikiran dan kerja kreatif mereka.
Dari wilayah peradaban Timur, ingatan kita niscaya merekam nama-nama terkemuka [antara lain] Bharata, Liu Hsieh, Abu al-Faraj Qudamah Ibn Ja’far, Murasaki Shikibu, Empu Kanwa, dan Nizami Arudi sampai dengan (zaman modern) Iqbal, Tun Seri Lanang, Hamzah Fansuri, Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, dan Sutardji Calzoum Bahri. Mereka pun telah menjadikan taman estetika – terutama estetika sastra – bertambah semarak dan rancak.
Taman estetika sastra itu bertambah semarak dan rancak berkat berkembangnya pikiran-pikiran (non-konseptual atau non-diskursif) sekaligus praksis estetika sastra milik bersama suatu kolektif (masyarakat), bukan individual. Banyak komunitas masyarakat lokal di Indonesia, sebagai contoh, memiliki ukuran keindahan dan takar pengalaman keindahan tersendiri secara kolektif meskipun tidak dirumuskan lewat pemikiran diskursif, tetapi diunjukkan lewat praksis-praksis berkesenian atau apresiasi seni.
Itu sebabnya, kemudian orang bisa bilang: estetika Jawa, estetika Melayu, estetika Minang, dan lain-lain. Ini semua menunjukkan, betapa taman estetika termasuk estetika sastra tampak sedemikian riuh rendah oleh pelbagai perspektif dan suara perbincangan para tokoh.
Riuh rendah perspektif dan suara perbincangan para tokoh dan juga kolektif masyarakat dalam taman estetika – termasuk estetika sastra – tersebut bisa dikatakan kurang dapat kita nikmati secara optimal di Indonesia. Pasalnya, belum banyak – apalagi melimpah – risalah atau kitab berbahasa Indonesia yang memperbincangkan ihwal estetika – apalagi estetika sastra – dibandingkan risalah atau kitab yang memaparkan teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra jauh lebih banyak dikupas dan ditulis secara khusus ketimbang estetika sastra.
Memang, harus diakui juga dalam bahasa Indonesia sudah ada berbagai risalah atau kitab yang membahas ihwal estetika termasuk estetika sastra di Indonesia. Malah di Indonesia sudah terdapat beberapa risalah atau kitab cukup penting yang mencoba mengupas estetika khususnya estetika sastra di Indonesia. Jadi, meskipun sudah ada dalam bentuk kitab dan atau artikel terserak, perbincangan dan ulasan ihwal estetika sastra belum melimpah.
Menurut hemat saya, pelbagai risalah atau kitab estetika sastra yang sudah tersedia dalam bahasa Indonesia ditandai oleh empat kecenderungan utama. Pertama, umumnya risalah atau kitab itu menggunakan perspektif personal dan [dalam batas-batas tertentu] tematis. Dengan menggunakan perspektif ini tokoh-tokoh pemikir estetika [terutama estetika sastra] diulas secara utuh – tentu beserta pemikiran mereka tentang estetika. Lazimnya tokoh pemikir estetika sastra yang diulas (panjang lebar) dari luar Indonesia, nyaris tidak pernah atau jarang sekali ditampilkan tokoh pemikir estetika sastra dari Indonesia sendiri.
Kedua, risalah atau kitab yang ada umumnya memaparkan dan menjelaskan pemikiran-pemikiran estetika sastra secara teoretis atau konseptual sekali. Teori-teori estetika dijelaskan secara abstrak dengan melihat estetika sebagai fenomena pemikiran atau otonom kesenian. Akhirnya pemikiran tentang estetika sastra yang ditulis atau disajikan dalam kitab.
Memang, sebagian kecil memang memaparkan fenomena-fenomena estetika sastra secara empiris sebagaimana terdapat dalam pelbagai karya sastra. Namun, hal ini sangat jarang ditemukan dalam bentuk satu risalah atau kitab khusus yang mendalam. Tak ayal, hal ini menimbulkan kesan bahwa perbincangan estetika sastra menjadi steril dari konteks sosial, abstrak, dan shopisticated. Tentu saja hal itu bisa mengakibatkan perbincangan estetika sastra terasa sebagai topik yang susah dan monoton.
Ketiga, kebanyakan perbincangan estetika sastra menggunakan perspektif uniformistis dan monokultural sehingga estetika sastra dilihat sebagai fenomena bentuk yang relatif seragam. Warna-warni pelangi estetika sastra tak banyak bisa dikupas. Keanekaragaman estetika sastra di Indonesia tidak dapat dipaparkan secara memadai; baik keanekaragaman pengertian keindahan maupun pengalaman keindahan sastra beserta segenap jalin-kelindannya. Yang menonjol dalam berbagai risalah atau kitab akhirnya berupa ulasan-ulasan tentang teorema atau dalil ilmiah estetika sastra.
Keempat, risalah atau kitab yang ada umumnya membincangkan estetika (sastra) dengan perspektif mondial dan nasional, jarang sekali dengan perspektif lokal. Sependek ingatan saya, bahkan tak banyak yang membincangkan jaringan perkembangan, pengaruh, dan persentuhan estetika sastra yang mondial dan nasional dengan estetika sastra yang lokal – yang sesungguhnya demikian kaya. Akibatnya, dinamika historis-sosial-budaya dari perkembangan dan persentuhan pelbagai ragam estetika sastra yang ada di Indonesia masih luput dari perhatian.
Empat kecenderungan utama perbincangan estetika sastra di Indonesia tersebut menunjukkan dua hal. Pertama, ihwal estetika – termasuk estetika sastra – masih merupakan lapangan terbuka yang perlu dijelajahi secara lebih ekstensif dan optimal lagi. Kedua, juga menyiratkan bahwa masih diperlukan lebih banyak lagi risalah atau kitab yang memperbincangkan estetika sastra dengan perspektif lain dari yang sudah ada – guna melengkapi panorama keanekaragaman taman estetika sastra di Indonesia.
#ndlemingawan
____________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar