Maman S Mahayana *
Laut adalah sebuah dunia yang penuh misteri. Ia kadang diperlakukan sebagai sesuatu yang kejam, dahsyat, dan membinasa. Dalam posisi yang demikian, hamparan lut laksana merepresentasikan kekuasaan Tuhan, dan manusia menjadi makhluk maha-Liliput di tengah dunia raksas Gulliver. Manusia menjadi sebutir pasir di hadapan hamparan pantai mahaluas. Maka, manakala laut mempertontonkan kedahsyatannya, tak ada kekuatan apa pun yang dapat mengajaknya kompromi. Tak ada belas kasihan bagi apa pun ketika laut menunjukkan kemarahannya. Amuk laut adalah kedahsyatan yang tak terbantahkan. Ia sebuah dunia yang kerap memamerkan serangkaian yang mengerikan. Itulah laut dengan segala kemahadahsyatannya.
Meskipun manusia sadar akan segala misteri tentang laut –dengan segenap kemahadahdyatannya itu, manusia tokh tetap tidak dapat menyembunyikan kecintaan dan kekaguman akan seluruh keindahan yang memancar dari misteri laut. Bukankah orang rela mengorbankan harta bendanya sekadar hendak menikmati keindahan laut. Lihatlah, berapa banyak dan entah sejak kapan manusia mengejar keindahan laut ke belahan bumi yang lain.Panorama laut menjadi perburuan manusia. Sekadar nongkrong di pinggir pantai saat matahari terbenam atau saat matahari terbit, menjadi sesuatu yang eksotik. Dan orang bahagia menikmati eksotisme itu.
Selain itu, laut juga yang menyimpan kekayaan yang konon jauh lebih banyak dibandingkan kekayaan yang berada di daratan. Di sana, ada kesadaran, bahwa laut jugalah yang menghidupkan umat manusia sejak entah kapan sampai entah kapan. Laut menyajikan dan sekaligus menjajikan kekayaannya bagi umat manusia. Entah sejak kapan manusia hidup bahagia dengan kekayaannya itu. Jadi, lautlah yang menjadikan kehidupan manusia menjadi hidup, sehidup-hidupnya.
Begitulah laut. Ia memancarkan serangkaian misteri yang menakutkan sekaligus mempesona. Ombaknya yang bergulung-gulung dahsyat seperti jalinan sihir yang tiada pernah habis, tiada pernah berhenti, dan tiada pernah menyembunyikan keindahannya.
Itulah laut! Dan penyair atau seniman kerap memanfaatkannya sebagai sumber inspirasi dan menjadikannya inspiring.
***
Antologi puisi karya Endang Supriyadi dan Slamet Rahardjo Rais yang diberi judul Kota Dermaga Tua ini, tersurat jelas hendak menampilkan tema-tema yang berkaitan dengan laut. Dermaga adalah sebuah perhentian ketika seseorang hendak memasuki laut atau hendak meninggalkan laut. Ia menjadi sebuah terminal untuk berangkat atau pulang (ke darat). Di sanalah pertemuan dan perpisahan saling menyapa, menciptakan garis panjang kerinduan atau melepaskannya, meski di belakangnya, pertemuan itu menyimpan banyak peristiwa, kenangan, duka-lara atau suka-cita.
Sebagaimana galibnya manusia ketika berhadapan dengan laut dengan segala misterinya yang menakutkan dan mempesona, Endang Supriyadi memandang segalanya itu sebagai sarana kontemplasi. Keterpesonaannya pada butiran pasir –yang kecil dan seolah-olah tak bermakna itu— misalnya, justru dipandangnya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan makrokosmos.
Penyair menempatkannya sebagai pintu masuk untuk merefleksikan kontemplasinya pada kekuatan dari segala sumber kekuatan. Ia menjadi alat untuk memecahkan kerinduannya pada Sang Khalik. Maka, pasir, nyiur, ombak, gelombang, angin, dan segala yang berkaitan dengan kehidupan laut itu, bisa tiba-tiba menjelma menjadi dunia metaforis. Alam laut, bagi Endang adalah metafora kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Sebuah lanskap hamparan panjang pantai, sebuah panorama yang penuh pesona telah dibangun dan dilesapkan dalam larik kata-kata puitik.
***
Sesungguhnya, kontemplasi Endang Supriadi tentang segala yang berkaitan dengan laut itu, pada dasarnya tidaklah berbeda dengan yang dilakukan Slamet Rahardjo Rais. Laut yang inspiring, laut pula yang menjadi sumber Slamet Rahardjo Rais merekfleksikan keicntaannya pada Sang Khalik. Meski begitu, bagi Slamet, laut adalah awal ia memandang dan kemudian ia coba berangkat memasuki ceruk kedalamannya.
Mungkin penyair tak menemukan Tuhan di sana, tetapi pancaran laut dengan segala isinya adalah representasi kekuasaan Tuhan. Jadi, manakala penyair mencoba menggapai laut, mencoba menggenggamnya, dan mengejar kedalaman misterinya sampai ke entah, duduk perkaranya bukanlah terletak pada pertanyaan: apakah penyair jumpa dengan Sesuatu yang dikejarnya atau tidak, melainkan proses mencari yang menjadi inti semangat penyair. Seperti ombak, ia tak lelah bergerak, tak hendak berhenti. Mencari adalah hakikat hidup. Dan laut laksana potret segala hakikat hidup itu sendiri.
Lalu, mengapa mesti ada dermaga sebagai tempat perhentian jika proses mencari adalah hakikat hidupnya? Bagi Slamet Rahardjo Rais, dermaga adalah sebuah persinggahan yang di sana, perpisahan dan pertemuan berada dalam garis demarkasi yang sangat tipis. Kesan yang hendak disampaikannya seperti sebuah keprihatinan mendalam tentang peradaban manusia yang tega mencederai alam laut dengan segala pesonanya. Dermaga tua laksana sesosok manusia yang ringkih dan cemas, seperti dikatakannya: “dermaga tua mengucurkan airmata.”
Tetapi, sesungguhnya, ia sedang bercerita tentang sebuah peradaban manusia yang belum selesai, sebuah proses panjang tentang perjalanan sejarah umat manusia. Sampai di manakah sejarah itu akan berhenti. Di kota dermaga manakah tempat perhentian terakhir riwayat manusia? Slamet Rahardjo Rais tampaknya tidak bermaksud menyelesaikan kisahnya yang memang masih misteri. Ia sekadar mengungkap salah satu sisi dari berbagai-bagai aspek kehidupan tentang laut.
Begitulah, kecemasan penyair sesungguhnya refleksi atas keterpesonaan dan sekaligus kerinduannya menukik masuk ke kedalaman laut, menjadi bagian dari kelindan ombak, menyatu penuh dengan misterinya.
***
Bagi saya, kedua penyair –Endang Supriyadi dan Slamet Rahardjo Rais—tidak hanya telah berhasil mengangkat dunia laut sebagai sumber inspirasi yang kemudian menjelma menjadi sejumlah puisi yang cantik dan menyentuh, tetapi jau lebih penting dari itu adalah kesadarannya tentang laut sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Dengan demikian, antologi puisi ini, bolehlah dimanfaatkan sebagai sarana untuk membetot seseorang mencintai laut, mengagumi keindahannya, dan sekaligus memberi penyadaran bahwa di balik itu, ada kekuatan mahadahsyat: Tuhan! Dalam hal ini, kedua penyair itu telah berhasil menempatkan laut sebagai ekspresi religiusitas transendensi. Jadi, tanpa perlu berkhotbah atau menyampaikan ayat-ayat suci, kedua penyair itu, telah dengan sangat halus menawarkan hal yang paling substansial dari hakikat kehidupan manusia: mencintai Tuhan dan mengekspresikan rasa cintanya dengan bersahabat dengan ciptaan-Nya yan penuh misteri: laut!
Sebuah antologi puisi yang niscaya akan sangat besar kontribusinya jika dapat digunakan sebagai salah satu bahan pengayaan pembelajaran di sekolah!
Bojonggede, 28 Oktober 2007
_____________________*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
http://sastra-indonesia.com/2008/10/misteri-laut%e2%80%94pesona-laut/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar