Edeng Syamsul Ma’arif *
cirebontrust.com
MERENTANG waktu—paling tidak—selama dua puluh tahun terakhir
untuk melakukan pembacaan terhadap kiprah para perempuan penulis Cirebon,
ternyata tidak sesederhana mengayak beras menggunakan tampah. Begitu pula
ketika harus memilahnya menjadi kategori-kategori spesifik sesuai kecenderungan
yang dipilih setiap penulis. Di samping konsistensi kepenulisan yang tidak
cukup terjaga, arsip-arsip karya mereka di media massa pun seperti tak
beraturan.
Karena itu, merujuk informasi beberapa sumber dan dengan
kualitas rekam yang terbatas, saya coba merangkum sejumlah nama yang paling
mungkin untuk disebut. Awal 1990-an—ketika saya mulai belajar menulis, saya
mencatat satu nama penulis perempuan seusia saya, Tanti Restiasih
Skober (biasa dikenal dengan nama pena Tanti R Skober) yang
produktif dan kental dengan napas kritik sosial-politik pada setiap tulisannya.
Tanti adalah putri sulung penulis senior Tandi Skober (alm). Tanti menulis
esai, cerpen, puisi di berbagai media cetak.
Pemenang Pertama Karya Tulis tingkat Nasional
diselenggarakan Tempo, Kartini dan PGRI tahun 1990. Menjadi Pemuda Pelopor
tingkat Provinsi Jawa Barat tahun 1992. Peraih Naskah Istimewa sayembara
penulisan naskah cerita tahun 1998. Kumpulan cerita pendeknya berjudul Bicara
(1992). Kini staf pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Unpad.
Setelah era Tanti, saya kehilangan informasi generasi penulis perempuan
berikutnya.
Selain karena berada cukup jauh di luar Cirebon, kabar dari
kawan-kawan penulis di kota ini dan publikasi karya di media massa juga tidak
menyebutkan adanya sebuah kelahiran baru. Beberapa tahun setelahnya, barulah
terdengar sebuah nama, Sinta Ridwan. Gadis kelahiran Cirebon 11 Januari 1985
ini divonis mengidap anemia hemolitik autonium (lupus), sejak 2005. Tapi Sinta
melawan penyakitnya itu dengan menulis sebuah novel Berteman dengan Kematian,
Catatan Gadis Lupus.
Sempat diragukan oleh dosennya dan diminta untuk mengundurkan diri dari Unpad ketika mengambil S2 jurusan Filologi tahun 2008. Namun, Sinta justru mampu menyelesaikan tesisnya setebal 1.300 halaman dalam waktu dua tahun. Sambil kuliah S3-nya, Sinta rutin mengajar aksara Sunda secara gratis kepada warga yang berminat. Saat ini Sinta sudah menguasai beberapa aksara nusantara (Sunda kuno, Jawa, Bali, Sunda baku).
Seusia dengan Sinta Ridwan, tercatat nama Luthfiyah
Handayani. Proses menulisnya dimulai ketika bergabung dengan Lingkar Studi
Sastra. Menulis puisi, cerpen, esai, dan menggali sejumlah data lisan tentang
filosofi batik khas Cirebon. Sembari menulis, Luthfiyah bekerja di pusat data
Kesultanan Kanoman.
Perempuan penulis Cirebon lainnya adalah Eva Nur Arovah.
Bersama Rokhmin Dahuri dan R Bambang Irianto, alumnus pascasarjana jurusan
Sejarah Universitas Gadjah Mada ini menulis buku Budaya Bahari: Sebuah
Apresiasi di Cirebon dan tim penulis buku Cirebon dalam Lima Zaman (Abad ke-15
Hingga Pertengahan Abad ke-20).
Ada juga Rini Hastuti. Sebagai penulis tetap kolom psikologi
di sebuah harian di Cirebon, Rini memiliki cara dan teknik penulisan yang khas.
Ringan dan renyah. Atau, Ratu Ayu Neni Saputra yang memilih puisi sebagai
ladang kreatifnya. Puisi-puisinya tergabung dalam banyak antologi dan kerap
menghadiri forum sastra di banyak daerah.
Dan yang tak diduga adalah Masriyah Amva. Sejak 2007,
pengasuh Pondok Pesantren Kebon Jambu Putri Babakan Ciwaringin ini luar biasa
produktif. Ia menulis dan menerbitkan beragam buku (puisi, prosa, inspirasi,
semi-autobiografi). Di antaranya, Ketika Aku Gila Cinta, Setumpuk Surat Cinta,
Ingin Dimabuk Asmara, Si Miskin Pergi ke Baitullah, Meraih Hidup Luar Biasa,
Menggapai Impian, Bangkit Dari Terpuruk, Indahnya Doa Rasulullah Bagiku,
Rahasia Sang Maha, dan lain-lain. Kemudian, ada Nissa Rengganis yang memilih
puisi sebagai fokus proses kreatifnya. Perempuan yang merampungkan studi
masternya di Hubungan Internasional FISIP Universitas Gadjah Mada ini,
puisi-puisinya dimuat beberapa antologi bersama dan diundang mengikuti
forum-forum sastra di banyak kota. Sebagian puisinya termaktub dalam antologi
puisi Bulan Pecah (Purwokerto, 2009), Ibu Kota Keberaksaraan (Jakarta
International Literary Festival, 2011), Di Kamar Mandi (62 Penyair Jawa
Barat-Komunitas Malaikat Bandung, 2012), Sauk Seloko (Penyair Nusantara –Jambi,
2012), Negeri Abal-Abal (Antologi Penyair Indonesia, 2013).
Bersama kawan-kawan terbaiknya, Nissa juga menggagas dan
mengelola sebuah kelompok sastra Komunitas Rumah Kertas. Terakhir, melalui
antologi puisi tunggal pertamanya, Manuskrip Sepi, Nissa menjadi salah satu
peraih Anugerah Hari Puisi Indonesia 2015 yang diselenggarakan Indopos di
Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta, awal September lalu.
Kemenangan Nissa dalam event bergengsi ini, telah membuka
kembal paspor baru bagi identitas Cirebon dalam peta kebudayaan dan
kesusastraan Indonesia, setelah beberapa waktu jauh ke belakang perempuan
sastrawan di kota ini hanya bermain di wilayah feriferal.
Bagaimana dengan perempuan penulis Cirebon lainnya?
*) Penulis adalah cerpenis penikmat Kopi Eho.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar