Selasa, Desember 01, 2015

Santri

Misbahus Surur
  
Ada dua model belajar di pondok selama yang saya alami dahulu. Seingat saya dan yang paling terkesan kala itu adalah kentalnya hafalan di berbagai mata pelajaran yang nyaris menyiksa, dan kajian kitab dari berbagai wacana pengetahuan agama dengan teknik memberi syarh menggunakan huruf Pegon alias makna gandhul dengan bahasa Jawa. Mbah Kyai membacakan makna (syarh) dari isi kitab tertentu, sementara para santri—sembari duduk di lantai, klesotan dan ada pula yang tengkurap—mendengarkan dengan seksama keterangan seorang Kyai sambil mencatatnya (memberi makna gandhul) pada kitab yang sedang dikaji. Di sini, ada sebagian Kyai yang cukup telaten, di samping memaknai juga memberi penjelasan dan uraian mendetail, namun sebagian yang lain cukup dengan secara formal membaca, dan santri mencatat makna-makna (memberi syarh) kitab dengan huruf Pegon, yang secara mayor—sebagaimana yang juga saya lakukan—menggunakan khat riq’i.

Saat belajar di pondok dulu, seingat saya, belajarnya terjadwal secara padat. Saya masih ingat pembagiannya sudah dimulai sejak sehabis subuh: pertama dengan ngaji weton (ngaji komunal) hingga sekitar jam 6 pagi, dan sementara jam 7 hingga sekitar jam 2 siang adalah jadwal untuk sekolah formal/reguler. Pulang sekolah, santri beristirahat sembari menunggu asar, yang kadang diisi dengan bermain sepak bola atau mencuci pakaian. Sehabis asar, santri dijadwal lagi mengaji weton hingga mendekati maghrib. Sehabis magrib adalah waktunya santri untuk belajar di sekolah diniyah hingga mendekati isya. Sehabis isya, santri di-sunah-kan mengikuti ngaji weton lagi, meski sebagian santri juga menyibukkan diri dengan belajar berbagai pelajaran di sekolah formal pagi. Kegiatan santri tidak berhenti di situ, sebab pada setiap sore di hari Jumat, para santri masih di-ajeg-kan untuk berziarah kubur ke makam-makam kyai (para pendiri pesantren) yang berada persis di barat masjid pondok. Dan sementara pada malam harinya di hari yang sama, tepatnya sehabis isya, para santri diwajibkan mengikuti kegiatan dibaiyah sholawatan (barzanji). Di samping, pada hari-hari tertentu dalam seminggu terdapat hari khusus untuk kegiatan ber-muhadharah (berlatih pidato dalam berbagai bahasa) yang—sekali lagi—diwajibkan untuk semua santri yang bermukim di pondok. Nah, kegiatan mengaji kitab santri tersebut akan meningkat ketika tiba bulan Ramadhan. Sebab, hampir setiap habis sholat lima waktu, kegiatan para santri difokuskan secara penuh-padat untuk mengaji kitab kuning. Apalagi karena kitab-kitab itu sudah harus khatam sebelum bulan Ramadhan disudahi Hari Raya.

Adapun kitab-kitab yang dikaji-ajarkan di pondok dulu adalah kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu fiqih, ilmu alat (bahasa) dan ilmu akhlak, yang paling dominan untuk satu-dua tahun pertama. Sementara kitab-kitab dalam babakan etika (akhlak) yang berkelindan dengan babakan aqidah dan tasawuf, kian intensif dikaji kelak oleh para santri senior. Biasanya dalam babakan akhlak dan tauhid kitabnya satu jenis; karena kedua bidang ini memang kerap beririsan di awal diajarkan untuk santri. Kitab Aj-Jurumiyah karangan Syech Sonhaji misalnya adalah kitab alat pertama yang seingat saya, paling sering dipakai untuk belajar ilmu bahasa (tata-bahasa) dan sekaligus digunakan untuk belajar memaknai (mempraktikkan membaca kitab gundul berbahasa Arab dengan terjemah bahasa Jawa khas pesantren). Sementara di sekolah formal/reguler pagi, cukup menggunakan kitab Nahwu Wadhih 1, 2 hingga 3. Kitab At-Tarqib (Fathul Qorib) karangan Al-Qodhi Abu Syuja’ Ahmad bin Husain bin Ahmad Al-Ashfahaniy adalah kitab yang dipakai untuk mengkaji fiqih (hukum), selain dibaca dan kaji, biasanya juga dipakai santri untuk berlatih membaca kitab gundhul. Untuk kitab akhlak/etika tentu saja menggunakan kitab Ta’limul Muta’alim sebagai rujukannya, yang di samping mendapat materinya di pondok, juga diulang-kaji di sekolah formal pagi. Sepertinya, ingatan mengaji ketiga kitab dasar(an) di atas, khususnya bagi saya, adalah yang paling berkesan dan meninggalkan ingatan yang cukup mendalam dibanding kitab-kitab pesantren yang lain. Dan nyatanya memang ketiga kitab tersebut hampir selalu dibacakan. Tentu saja ketiga kitab ini juga paling banyak saya punya daripada kitab-kitab yang lain. Dipastikan hampir tiap tahun, ketiga kitab itu mesti dibeli versi barunya, oleh karena kitab-kitab yang lama—sebagai akibat seringnya dipakai ngaji wetonan—padat dengan makna gandhul, meski belum tentu mampu membacanya.

Selain kitab termasyhur versi saya di atas, para santri juga mengaji beberapa kitab dasaran lain dari berbagai bidang. Sedikitnya seperti Qomiut Thugyan, Usfuriyyah, dua kitab ini adalah kita seputar akhlak yang beririsan dengan kajian-kajian fiqih dan tauhid. Cukup banyak cerita dan riwayat-riwayat unik di kedua kitab tersebut dan cukup menarik kalau dicermati saat sekarang. Kelak ngaji babakan fiqih pun tidak cuma berhenti di Fatkhul Qorib, tapi juga berlanjut ke kitab pertengahan seperti Fathul Muin, dan seterusnya. Selain itu, dulu di pondok cukup sering juga mengaji kitab-kitab tafsir Al-quran maupun kitab-kitab hadist, seperti sedikitnya Tafsir Jalalain, Tafsir surat Fatihah, Tafsir Surat Yasin dan Bulughul Maram. Kitab-kitab alat pun tidak berhenti di Aj-Jurumiyah, tapi juga meningkat ke Nadham Imritiy dan kajian bait-bait kitab Alfiyah karangan Ibn Malik yang fenomenal itu. Dua kitab alat terakhir, kalau diperhatikan sekarang adalah kajian dalam tataran yang bukan sekadar tata bahasa (qawaid), melainkan sudah setingkat wacana kebahasaan (linguistik). Karena di dalam, baik kitab Imrity maupun Alfiyah, secara mayor santri belajar ihwal pendapat sekian ulama nahwu dan shorof mengenai seluk-beluk kebahasaan, lingkup balaghoh juga analisis kebahasaan yang beraneka. Kajian tauhid sebagai dasarannya, di antaranya santri mengaji kitab Kifayatul Awam. Kelak semakin ke belakang, kitab-kitab yang dikaji di pondok sudah berdasarkan disiplin-disiplin keilmuan tertentu dengan kitab yang sudah beragam.

Saya rasa saat di pondok, selain kitab fiqih dan alat (bahasa), kitab-kitab akhlak (etika) pada akhirnya—terlebih saat di pondok sudah lebih dari dua atau tiga tahun—adalah kitab-kitab yang paling sering dikaji oleh santri-santri lawas. Kitab-kitab akhlak (tasawwuf) adalah kitab yang paling dominan dikaji, di samping kitab tauhid (ushuluddin). Kita lihat saja, selain Usfuriyah, Qomiut Thugyan, kifayatul Atqiyak (tasawuf), kitab-kitab akhlak meningkat dengan dikajinya kitab-kitab seperti Bidayatul Hidayah (masih kitab dasar), meningkat lagi ke kitab Al-Hikam, Ihya Ulumuddin sedikit di antaranya adalah kitab-kitab yang paling favorit dibaca-kaji saat di pondok itu. Kitab-kitab fiqih juga sudah mulai beragam, tak hanya Fathul Qorib tapi juga berlanjut ke kitab dasaran yang lain seperti Sullam at Taufiq, Safinatun Naja, Sullam al Munajah (karangan Syech Nawawi Al-Bantani di bidang fiqh) juga Uqud Lujain dan Kasyifatus Saja. Di ranah tauhid, selain Tijan Darary, ada Al-Hikam tadi, Qathr Ghais (tauhid), Simtu Adzurar, Kitab Dasuqi, Bidayatul Mujtahid (kitab Fiqh-nya Ibn Rusyd). Maka, di sini, sebetulnya pengajaran dan pembelajaran di pesantren sangat sejalan bagi pemenuhan pembelajaran kemantapan iman dalam Islam yang di antaranya berkait dengan penguatan aqidah, pembelajaran etika juga pembelajaran ibadah atau ber-syariat (amaliyah kita sehari-hari).

Kita tahu, pendidikan pesantren adalah model pendidikan yang paling memasyarakat di Indonesia, sebelum kelak diperkenalkan pendidikan modern oleh Belanda. Setidaknya, sejak permulaan abad ke-19, atau jauh sebelum itu, pondok pesantren bisa dibilang satu-satunya lembaga pendidikan yang paling banyak dikenal masyarakat. Dahulu pesantren-pesantren itu adalah salah satunya dirintis oleh para prajurit Diponegoro pasca Perang Jawa. Sedikitnya, sebagai contoh, di beberapa tempat di Trenggalek, ada sekian tempat yang pada awalnya dijadikan lokasi berdirinya masjid di tengah masyarakat yang masih menganut agama Hindu-Budha, sebelum kemudian turut pula didirikan pondok di samping masjid yang dirintis oleh bekas prajurit Diponegoro tersebut. Bahkan pada permulaan abad ke-19 itu—sebagaimana dicatat oleh Steenbrink (1984)—para santri dari pondok pesantren banyak memelopori pengolahan tanah-tanah kosong untuk pertanian dan bahkan memioneri gerakan transmigrasi. Santri-santri yang mengaji di rumah seorang kyai atau guru-guru mereka, mengupah pengajaran untuk guru-kyainya dengan bekerja secara cuma-cuma di sawah-sawah milik gurunya (kyai). Dari situ, kemudian disinyalir pesantren-pesantren baru dibuka dan bertumbuh, oleh—salah satunya—tujuan mempersiapkan tanah baru: membuka tempat baru untuk pertanian.

Secara jamak, pesantren merupakan—selain tempat menggembleng diri dengan ilmu agama dan sosial-kemasyarakatan—juga menjadi tempat belajar para santri bagaimana hidup secara mandiri, belajar mengembangkan ketrampilan atau skill santri. Pesantren-pesantren ini dari zaman dulu telah memberikan gambaran yang cukup representatif: bagaimana mengajar lebih ke suatu contoh konkrit tentang suasana hidup yang cukup baik di lingkungan pesantren, yang sengaja diciptakan sebagaimana gambaran prototipe atau pola bagi suatu masyarakat kecil. Sedikitnya di sana, terdapat seorang lurah pondok dan warga pondok. Ada bagian keamanan dan seterusnya, yang secara khusus menggembleng santri menjadi anggota masyarakat pondok dengan peran masing-masing. Dari situ, para santri dididik di pondok selain untuk mengaji ilmu, sebetulnya juga dengan sengaja dipersiapkan untuk ”hidup” di masyarakat. Di samping hidup di pesantren yang nota bene berlokasi di pedesaan, khususnya sesuai pengalaman saya di Joresan, santri punya ikatan yang baik dan kental dengan masyarakat sekitar pondok. Hubungan itu dijaga seolah-olah masyarakat sekitar turut memiliki pesantren, dan sementara santri juga merasa bahwa masyarakat setempat adalah bagian yang tak terpisahkan dengan (kultur) santri dan pesantren sendiri.

Semasa saya pertama mondok dulu di area pondok benar-benar saya sempat melihat dan memasuki kamar-kamar santri sepuh yang berupa pondokan: mereka membuat kamar atau rumah-rumahan panggung dengan atap dari pelepah-pelepah ijuk dan papan-tembok dari bilah-bilah bambu dan kayu dengan beberapa modifikasi almari yang berada di dalamnya. Di samping beberapa rumah panggung itu, terdapat musholla cukup tua yang di sekitarnya dibuat kamar-kamar oleh para santri. Meski ketika saya mondok, saya sudah terhitung—sebagaimana generasi se-angkatan saya saat itu tahun 1997—telah berada di asrama meski secara kultur tidak se-modern seperti sekarang. Bukankah istilah pondok sendiri yang disinyalir berasal dari kata Arab funduq berarti semacam tempat tinggal yang terbuat dari bambu. Bahkan dari beberapa literatur yang saya baca, istilah pondok alias model tempat tinggal dari bambu yang berupa rumah panggung semacam genjot itu adalah kultur khas Nusantara dari semenjak masa-masa Hindu-Budha dulu. Di sinilah saya kira Islam dengan baik mampu ber-akulturasi dengan budaya lokal—atau yang biasa dalam ushul fiqh disebut urf (tradisi atau budaya lokal)—secara arif dan adaptif, dengan tetap mempertahankan tradisi tempat tinggal bagi pendidikan keagamaan yang yang telah ada: khas Nusantara. Tidak berniat menghilangkan sama sekali, tapi meleburnya sebagai bagian dari, salah satunya, teknik memperkaya tradisi. Di zaman Hindu-Budha kita mengenal istilah mandala atau karsyan (situs pertapaan dan pendidikan ajaran agama) dari masa lampau. Selain tempat tinggal santri yang di-asimilasi sedemikian rupa, kalau kita perhatikan tata cara mengajar sistem wetonan atau bandongan itu juga tidak jauh dari model yang berkembang di Nusantara pada masa Hindu-Budha tersebut.

Kelak kedatangan kolonialis Belanda yang membawa perubahan, tidak hanya di sektor administrasi pemerintahan, tapi juga di segala bidang termasuk ranah pendidikan, dengan diperkenalkannya pendidikan yang berbeda dari yang selama ini dipakai pesantren: yang mulai diperkenalkannya sistem pendidikan modern, yang kemudian hari memunculkan kekagetan: dikotomi baru tentang bagaimana pelajaran agama dikaji dalam cara pandang modern, sementara di sisi lain, sebagaian besar masyarakat masih kuat berpegang pada—menerapkan sistem—pendidikan tradisionalis-klasik yang pelaksanaannya sebagaimana sejak dulu bisa kita saksikan di pondok-pondok pesantren salaf tersebut. Di masa kini, selain sistem pendidikan modernis yang dulu dipelopori Muhammadiyah, pendidikan modern yang paling terkini pun adalah sistem pendidikan yang selalu berhadap-hadapan alias bersifat oposan dengan sistem pendidikan tradisional ini. Kendati sebetulnya masing-masing model ini selalu bisa dikonvergensi.
Saya ambil contoh, ihwal perkembangan Islam di Trenggalek sangat dipengaruhi oleh didirikannya masjid dan tumbuhnya pondok untuk belajar agama Islam. Kemunculan tokoh yang mulai mendirikan masjid dan pondok—yang merupakan dua elemen dasar pondok pesantren—itu sedikitnya seperti Mbah Nur Jalifah. Tokoh ini sebagai dicatat Team Sejarah Trenggalek (1983: hlm. 50) sempat merintis mendirikan pondok salaf di Trenggalek. Mbah Nur Jalifah nota bene adalah salah seorang bekas prajurit Untung Suropati yang lari ke daerah Trenggalek pasca gugurnya Untung Suropati. Kelak, pasca Perang Jawa atau Perang Diponegoro, para prajurit Pangeran Diponegoro sebagian juga ada yang lari menuju timur dan menetap di Trenggalek. Prajurit-prajurit itu kemudian banyak yang mendirikan masjid dan pondok. Pondok-pondok tersebut antara lain adalah pondok pesantren Karanggayam, didirikan oleh seorang Mubalig, yang merupakan putra dari seorang prajurit Diponegoro. Pesantren ini berdiri di era Bupati Mangunnegoro I. Bahkan ia sempat diangkat oleh bupati menjadi hakim Agama Islam. Meski pada masa Bupati Mangundiredjo masjid di pondok Karanggayam ini kemudian baru dibangun yakni sekitar tahun 1861 M.

Di daerah Parakan juga sempat pernah terdapat pondok pesantren yang didirikan oleh Kyai Mesir. Ia adalah putra dari Kyai Yahuda yang merupakan pendiri pesantren Lorok di Pacitan. Dari Parakan Kyai Mesir kemudian sempat pindah ke Durenan dan juga mendirikan pondok pesantren di sana. Bupati Mangunnegoro I saat itu bahkan sempat mengangkat Kyai Mesir sebagai naib pertama di Durenan. Kemudian pada awal abad ke-20, pondok-pondok di Trenggalek (Team Sejarah Kabupaten Trenggalek, 1983: hlm. 51) kian berkembang hingga muncul banyak pesantren seperti pondok Sumbergayam di Sumbergedong, Trenggalek. Lalu pondok Keningaran di Surodakan, Trenggalek. Pondok Gondang di Kecamatan Tugu; pondok Jonegaran di Ngantru; pondok Desa Karangan; pondok di Sukorame, Gandusari; pondok Sumbergayam; pondok Kedung Lurah di Pogalan dan pondok Kebun Agung di Kecamatan Panggul.
Dalam penuturan sastra Jawa klasik mengenai kemunculan pesantren itu memang segendang sepenarian dengan semacam kisah yang dituturkan dalam sedikitnya Serat Centini, Serat Cabolek. Dalam tuturan dua karya sastra ini, paling tidak sejak permulaan abad ke-16 telah banyak pesantren masyhur yang menjadi pusat-pusat pendidikan Islam. Pesantren-pesantren tersebut mengajarkan berbagai pengetahuan Islam di berbagai bidang seperti jurisprudensi, teologi dan tasawuf.

Ketika memasuki bulan Ramadhan, betapa saya selalu rindu untuk duduk mengaji mendengarkan uraian dan penjelasan seorang kyai lagi. Saya kangen ikut mengaji kilatan saat Ramadhan. Kerinduan itu sering kambuh setiap bulan puasa tiba. Dan ketika bulan Ramadhan sudah sampai pada detik-detik terakhirnya, keinginan ikut ngaji kitab lagi itu pun luntur ditelan aktivitas lain. Saya ingat pada saat mondok satu-dua tahun dulu, pada saat mengaji mengikuti beberapa kitab yang berulangkali dibaca semisal kitab Taqrib, Jurumiyah atau Bidayatul Hidayah, saya ingat betapa saya selalu tertarik dengan cover-cover kitab terbitan Beirut yang dari sisi estetika lebih menarik dipandang ketimbang cover-cover kitab dari percetakan lokal. Itu mungkin salah satu dari sedikit keisengan sewaktu mondok: pilah-pilih kitab dari desain cover yang lebih estetis, dan tak mau membeli kitab yang desain covernya buruk lagi tak menarik bagi mata.

 Terakhir, tahun ini ada sebuah novel yang sangat baik dalam memanfaatkan ranah tradisi keagamaan, konflik sosial-budaya yang dilatari agama, tentang keseharian di pedesaan pada masa lampau, tak ketinggalan seluk beluk sejarah desa dan lokalitasnya ikut tergarap sebagai latar atau persoalan yang diangkat. Terselip pula mengenai dunia pesantren yang akrab dengan pedesaan dan beberapa nama kitab yang sempat saya akrabi, juga disebut di lembar-lembar novel itu. Novel ini sekali lagi mengingatkan saya akan kehidupan di pondok dulu. Novel tersebut adalah pemenang pertama sayembara novel DKJ tahun 2014 kemarin, berjudul Kambing & Hujan (Bentang, Yogyakarta: 2015) karangan Mahfud Ikhwan. Saya ingat 9 tahun lalu saya pernah membaca novel atau roman dengan latar pesantren karya senior saya di Madrasah Al-Islam, Joresan, Ponorogo, berjudul Love in Pesantren (Matapena, Yogyakarta: 2006). Membaca halaman-halaman novel Kambing & Hujan, mengingatkan saya pada novel Shachree M. Daroini, senior saya itu. Dan sekaligus mengingatkan saya pada hari-hari ketika saya masih mondok dan belajar di Joresan dulu. Selamat Hari Santri 22 Oktober.

*) Santri pondok pesantren Darul Hikam, Joresan, Ponorogo (1997-2003) asal Trenggalek. 
Malang, Juli 2015 

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Hana N.S A. Iwan Kapit A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aa Sudirman Abd. Basid Abdul Aziz Rasjid Abdul Ghofar Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Muid Badrun Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdullah Ubaid Matraji Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abonk El ka’bah Acep Zamzam Noor Ach. Nurcholis Majid Achmad Farid Tuasikal Achmad Maulani Adi Faridh Adi Marsiela Adi Sucipto Adian Husaini Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrian Ramdani AF. Tuasikal Afnan Malay Afrizal Malna AG Hadzarmawit Netti AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Majestika Aguk Irawan M.N. Agung Prihantoro Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R Sarjono Agus S Warman Agus Sri Danardana Agus Sulton Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Rafiq Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syafii Maarif Ahmad Taufik Ahmad Thohari Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Al-Fairish Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Ali Irwanto Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Alvi Puspita Amang Mawardi Ambarukminingsih Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Amirullah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andhi Setyo Wibowo Andik Nurcahyo AndongBuku #3 Andry Deblenk Anindita S. Thayf Aning Ayu Kusuma Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anwari WMK Aprillia Ika Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Arif Firmansyah Arifun Najib Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arys Hilman Asarpin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asri Bariqah Awalludin GD Mualif Azumardi Azra Azyumardi Azra Baca Puisi Badaruddin Amir Balada Bambang kempling Bambang Satriya Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benni Indo Benny Benke Benny D Koestanto Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Koran Bernada Rurit Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Palopo Budi Purnomo Buldanul Khuri Bunda Zakyzahra Tuga Bungaran Antonius Simanjuntak Candrakirana Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Che Guevara Coronavirus Cover Buku Kritik Sastra Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi II Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi IV Cover Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi V D. Zawawi Imron Dadan Maula Darmawan Dadang Ari Murtono Dahlan Kong Damanhuri Zuhri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Dedykalee Deni Ali Setiono Deni Jazuli Denny Ardiansyah Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan Dewi Indah Sari Dhanu Priyo Prabowo di Bluri di Karangasem Dian Sukarno Diana AV Sasa Diana Ifrina Ernawati Dinas Komunikasi dan Informatika Prov. Jatim Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dini Tri Dinoroy M. Aritonang Dion Maulana Prasetya Diskusi buku Djaka Susila Djenar Maesa Ayu Djesna Winada Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Budiono Herusatoto Drs H Choirul Anam Drum Band MI Miftahul Ulum (Kuluran) Dudi Rustandi Dunia Penerbitan Indonesia Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Nikmatika Roma Dwi Pranoto Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddy D. Iskandar Edeng Syamsul Ma’arif Edi Faisol Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elly Burhaini Faizal Elly Trisnawati Ellyn Novellin Emerson Yuntho Emha Ainun Nadjib Emil WE Endang Supriyadi Endi Haryono Endri Y Erdogan Esai Esha Tegar Putra Esme Fadliha Etik Widya Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fadjriah Nurdiarsih Fahmi Fahrudin Nasrulloh Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faris Al Faisal Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Felix K. Nesi Festival Mocosik Festival Seni Internasional 2010 Yogyakarta Festival Seni Internasional 2014 Yogyakarta Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan festivalsenisurabaya.com Fikri. MS Firdawsi Fortus Pake Forum Lingkar Pena Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Foto Franditya Utomo Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Magnis-Suseno Friski Riana Fuad Hasan Nasihin Fuji Pratiwi Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawa Gede Mugi Raharja Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gedung Sangbala Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gito Waluyo Goenawan Mohamad Golput Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma’ruf Amin Gus Dur H Ikhsan Effendi H. Usep Romli H.M H.B. Jassin H.O.S Cokroaminoto Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Hadi Napster Hadziq Jauhary Halim H.D. Halimatussa’diyah Hamberan Syahbana Hamluddin Hana Pertiwi Hanif Nashrullah Hardono Haris del Hakim Haris Firdaus Haris Priyatna Haris Saputra Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Basri Hasan Junus Hasanuddin WS Hasnan Bachtiar Helmi Y Haska Helmy Tasaufy Hera Khaerani Herdiyan Heri C Santoso Heri Latief Herman Herman Hasyim Herman RN Herry Lamongan Herry Mardianto Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Homaedi I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I Wayan Seriyoga Parta IBM. Dharma Palguna Ibnu PS Megananda Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Mustofa Imam Nawawi Imam Qodim Al-Haromain Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Imelda Imron Arlado Imron Rosidi Imron Rosyid Imron Tohari Indrian Koto Ingki Rinaldi Ipik Tanoyo Ire Irvan Sihombing Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismet NM Haris Ismi Wahid Isnanur Janah Iswadi Pratama Isyana Artharini Iwan Nurdaya-Djafar Iwank Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Janual Aidi Javed Paul Syatha Jazzi Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jembatan Kuno Yang Misterius Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Jodhi Yudono Jogjanews.com John Joseph Sinjal Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Paket Hemat Juara Ke 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jumartono Jurnalisme Sastra Jusuf A.N K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.Y. Karnanta Kadjie Mudzakir Kaheesa Kirania Putri Ayu Kang Daniel Kapal Nabi Nuh Karanggeneng Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kautsar Muhammad Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) KH Abdul Ghofur KH Bisri Syansuri KH. Abdul Aziz Masyhuri KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khoirul Abidin Khoirul Inayah Ki Ompong Sudarsono Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kika Dhersy Putri Kitab Arbain Nawawi KITLV Koh Young Hun Koko Sudarsono Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopi Sunan Drajat Kopuisi Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Krisman Kaban Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kulonprogo Kurnia Effendi Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswinarto L Ridwan Muljosudarmo Laboratorium Sinematografi dan Pertunjukan UNISDA Lamongan Lagu Lailiyatis Sa'adah Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Sarmili Literasi Liza Wahyuninto Lugiena De Lukas Adi Prasetyo Lukisan Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lusia Kus Anna Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Lutfi M. Mushthafa M. Romandhon M. Sunyoto M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M’Shoe Made Geria Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahrus eL-Mawa Majelis Ulama Indonesia Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcus Suprihadi Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Maruli Tobing Mashuri Masuki M. Astro Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Wulan Medco Media Lamongan Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Meka Nitrit Kawasari Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka MI Thoriqotul Hidayah Pilang 1 Mia Arista Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Miftahul A’la Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Ghufron Cholid Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Samsul Arifin Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Ali Athwa Mohammad Eri Irawan Mohammad Rafi Azzamy MTs Putra-Putri Simo Sungelebak Muh Kholid A.S Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Amin Muhammad Arif Muhammad Aris Muhammad Eko Nugroho Muhammad Hidayat Muhammad Muhibbuddin Muhammad Musa Muhammad N. Hassan Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mukafi Niam Mukhsin Amar Mulyani Hasan Mulyo Sunyoto Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Munawir Aziz Muntamah Cendani Musfarayani Musfi Efrizal N. Syamsuddin CH. Haesy Nadine Tri Duhita Naim Nanang Suryadi Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Nara Nazaruddin Azhar Neli Triana Ngatini Rasdi Nh. Anfalah Ni Luh Made Pertiwi F Ni Made Frischa Aswarini Ninuk Mardiana Pambudy Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noval Jubbek Noval Maliki Novel Novel Pekik Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Hayati Nur Kholiq Nur Kholis Huda Nurani Soliha Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Ochi Oil on Canvas Oky Sanjaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Paciran Pameran Seni Rupa Pangkah Kulon Ujungpangkah Gresik Panji Satrio Patung Sphinx PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan 2020 Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit Progresif Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Peringatan Hari Santri TPQ Al-Hidayah 22 Oktober 2017 Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren Sunan Drajat Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Pilang Tejoasri Lamongan Jawa Timur Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Pendopo Watu Bodo Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prosa Proses Kreatif Puisi Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka GU Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. N. Bayu Aji R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rafita Dewi Rahmah Maulidia Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rameli Agam Rana Akbari Raras Cahyafitri Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Revdi Iwan Syahputra Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Ridlwan Ridwan Munawwar Riki Utomi Rinny Srihartiny Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robert Adhi Kusumaputra Robin Al Kautsar Roby Karokaro Rodli TL Rof Maulana Rofiqi Hasan Rojiful Mamduh Rokhim Sarkadek Rosdiansyah Rosi Rosidi Rudi S. Kalianda Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rx King Motor S Jai S Yoga S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Sabrina Asril Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salim Alatas Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saratri Wilonoyudho Sari Oktafiana Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sejarah SelaSastra SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang Selvie Monica S Sendang Duwur Tahun 1920 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Shohebul Umam JR Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sifa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simon Saragih Sirikit Syah Siti Muti’ah Setiawati Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Slavoj Zizek Soelistijono Soetanto Soepiadhy Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Sohirin Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Mulyani Sri Wintala Achmad ST Indrajaya Stanley Adi Prasetyo Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sudirman Hasan Sugeng Ariyadi Sugeng Wiyadi Sugiarto Sugito Wira Yuda Suhartono Sujatmiko Sukardi Rinakit Sukitman Sumenep Sunarno Wibowo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susie Evidia Y Sutamat Arybowo Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Suyatmin Widodo Svet Zakharov Syaf Anton Wr Syaiful Bahri Syaiful Irba Tanpaka Syaiful Mustaqim Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syi'ir Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tanjung Kodok Tahun 1947 Tasman Banto Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Ganast MAN Lamongan Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Sakalintang Teater Sangbala Teater Sundra Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tewol Teater Tewol Lamongan Teguh LR Teguh Winarsho AS Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thamrin Dahlan Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute (IHI) Thohir Thompson Hs Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto To Take Delight Toni Munajat Tosa Poetra Tri Andhi S Tri Wahono Trisno S. Sutanto Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Unieq Awien Universitas Airlangga Surabaya Universitas Jember Untung Basuki Ustadz Charis Bangun Samudra Utami Diah Kusumawati Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Wahyu Aji Wahyudi Zuhro Wan Anwar Warjati Suharyono Wawan Eko Yulianto Wawan Hudiyanto Wawancara Wayan Sunarta Welly Suryandoko Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yanuar Jatnika Yanuar Yachya Yaumu Roikha Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yerusalem Ibu Kota Palestina Yesi Devisa YF La Kahija Yogyo Susaptoyono Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudi Latief Yuli Yuni Ikawati Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zahrotun Nafila Zaim Uchrowi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimras Zen Hae Zuhdi Swt