http://www.kompasiana.com/budipalopo
ana sastra gendra
kang ndumunung rasa
nalika sukesi nyidra asih jro
asmaraning wisrawa kang
kakembeng luh banyu mripat ma’rifate
- dadine jagad sungsang
krana melik nggendhong lali
**Gresik, 2009
ADA kabar menggemparkan, yang menyentuh rasa, ketika Sukesi menjebak Wisrawa dengan bara kasih asmaranya. Mengingat ia tahu persis persoalan yang dialaminya, bola mata Wisrawa berkaca-kaca. Lalu, jagad pun serasa jungkir-balik. Dan, terbuktilah, bahwa wong melik sampai kapan pun tetap nggendhong lali.
Begitulah terjemahan bebas gurit pembuka tulisan ini. Pesan singkatnya: ”Wong melik nggendhong lali. Siapa yang rakus, selalu lupa diri. Pengkuh, mbaguguk makutha waton, nggugu benere dhewe. Kata lainnya, siapa yang ingin menguasai sesuatu, selalu nggak urus dengan etika, nggak peduli dengan aturan sebagaimana mestinya.
“Sik…sik…sik…!” protes Mbokne Ndewor. “Sampeyan itu bagaimana sih, Lha wong dunia peradilan hebohnya kayak begini kok malah ngomong soal wayang,” katanya. Lalu menjelaskan, bahwa setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memperdengarkan rekaman pembicaraan, hasil kerja penyadapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), nama Anggodo mendadak kesohor. Sebab, dalam rekaman tersebut, Anggodo jadi tokoh sentral. Terkesan, dialah yang mengatur-atur langkah taktis untuk perekayasaan kasus yang menimpa Bibit dan Chandra, dengan melibatkan petinggi Polri dan Kejaksaan. “Lha, untuk menyapa pembaca, mestinya sampeyan ya ikut-ikutan ngomong yang begituan dong…!” pintanya kemudian.
Oh, Mbokne Ndewor. Kok benari-beraninya kamu protes. Kok berani-beraninya kamu menggurui guru laki-mu. Memangnya kamu tahu Anggodo itu siapa? Kamu belum tahu kan, kalau Anggodo ternyata juga hanya wayang?
Nah, mulai ndomblong ta. Bengong, karena baru menyadari kalau (dalam bahasa Jawa) kata Anggodo itu punya makna menghantamkan senjata yang berujud gada (pentung). Lagian, Anggodo bukanlah nama yang asing bagi para dalang. Sebab, dalam kisah Ramayana, Anggodo ternyata nama tokoh kera berbulu merah.
Kata dalang Ki Sapa Kono, Anggodo senantiasa hidup dalam keprihatinan. Orangtua Anggodo, ibu dan bapaknya (Subali), nggak pernah mau repot-repot ngurus anak. Karena itu, sejak balita Anggodo dititipkan untuk diasuh Dewi Anjani. Itulah sebabnya, Anggodo jadi anak yang kurang perhatian, dan itulah yang menyebabkan Anggodo jadi sosok psikopath, suka menyiksa orang.
Dalam cerita Anoman Duta dikisahkan, ketika Rama Wijaya mengutus Anoman sebagai duta ke Alengka, Anggodo bersikeras merasa lebih pantas sebagai duta. Gayanya kemlinthi, mbagusi, dan sok bisa. Demi pemanfaatan segala potensi, Rama Wijaya pun akhirnya mengijinkan Anggodo berangkat ke Alengka. Namun, secara diam-diam, Rama Wijaya juga mengutus Anoman untuk mengikutinya.
Namun, karena kurang pengalaman, Anggodo tidak siap dengan penyambutan besar-besaran yang dilakukan oleh pihak Alengka. Ia tak menyadari kalau Patih Prahasta terus-menerus mencuci otaknya. Dan, upaya Prahasta pun berhasil.
Anggodo terhasut. Ia berbalik melihat Rama Wijaya sebagai sosok laknat yang patut dimusuhi. Akibatnya, Paseban geger, Anggodo pulang bukan melaporkan tugasnya sebagai duta, tetapi malahan menghujat Rama Wijaya. Untungnya Anoman dengan cekatan mencegat Anggodo.
”Ooow…, jadi Anggodo itu cuma wayang ta. Lalu, siapa ya kira-kira yang senyum-senyum saat melihat ledakan kasus yang menghebohkan itu?” celethuk Mbokne Ndewor kemudian.
He he he, baru tahu kan…? Untuk itu, jangan diprotes dulu ketika Den Mase menyuplik gurit mungil soal gendraning Wisrawa-Sukesi (juga dari kisah Ramayana) yang menyimpan pesan soal melik nggendhong lali itu. Sebab, soal melik nggendhong lali itu, justru erat kaitannya dengan kasus pembetotan sejumlah pimpian KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dari kedudukannya.
Semua tahu, sejak Mahkamah Konstitusi memperdengarkan rekaman Anggodo yang seolah bisa mengatur-atur petinggi Polri dan Kejaksaan untuk membetot Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah dari kedudukannya sebagai pimpinan KPK –dengan upaya suap, yang nggak jelas jluntrungnya– logika umum jelas menangkap tengara bahwa KPK benar-benar jadi ‘sasaran tembak’ koruptor.
Lalu, kalau kita menyimak sejumlah konferensi pers, yang erat kaitannya dengan kasus tersebut, kira-kira sampeyan menangkap nggak ya adanya upaya berkelit dari sosok-sosok yang melik nggendhong lali? Terus, kalau sampeyan menyimak koor puja-puji di panggung Komisi III DPR RI saat berdialog dengan Kapolri dan Jaksa Agung, yang disiarkan secara live di televisi, apa sampeyan juga nggak menangkap gelagat adanya lelucon si melik nggendhong lali?
Lho, kok diam. Oh, sampeyan mulai ingat ya, kalau upaya penghancuran citra KPK ternyata tak hanya tampak lewat kasus Bibit dan Chandra. Ya, kalau menyimak jalannya sidang kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, citra Antasari sebagai pimpinan KPK yang tak pandang bulu, ternyata merupakan titik sasaran utama untuk ’dihancurkan’.
Setidaknya, dalam persidangan, Wiliardi Wizar memberikan kesaksian bahwa penahanan Antasari ternyata memang telah dikondisikan. Wiliardi menyatakan, saat diperiksa polisi dikatakan bahwa Antasari adalah sasaran petinggi kepolisian. Kesaksian tersebut sesuai kejadian sebenarnya. Bahkan dia berani bersumpah. “Demi Allah ini saya bersumpah, (petinggi polisi itu menyatakan) sasaran kita hanya Antasari,” ujar Wiliardi. Nah, jika pernyataan Wiliardi Wizar itu benar, bukankah semakin nyata penampakan gerakan kolektif yang beraroma melik nggendhong lali?
Dus, setelah Wiliardi Wizar membuka ’aib’ yang menggemparkan, Rani yang selama ini ngumpet, sembunyi atau disembunyikan (?), mendadak menggelar konferensi pers. Kepada wartawan, Rani berani ber-”bla bla bla”, yang intinya tetap menyudutkan Antasari. Ya, kendati keterlibatan Antasari dalam kasus pembunuhan Nasrudin belum terbukti, toh motif pembunuhannya bisa mengisi benak pemirsa layar kaca. Soal benar atau tidak, itu urusan lain.Yang penting, ’perusakan citra’ Antasari harus tetap terjaga. Dan, kalau itu yang terjadi, jelas menunjukkan bahwa wong melik selamanya tetaplah nggendhong lali.
Mbokne Ndewor pun mengangguk-angguk. Sampai akhirnya, setelah ia pirsa adegan ‘demonstran’ (bukan double tanda petik tentunya) menginjak-injak gambar Adnan Buyung Nasution di televisi, setelah Tim 8 menyerahkan hasil kerjanya ke Presiden, Mbokne Ndewor pun menuding-nuding layar kaca sembari bertanya: “Yang begitu itu apa juga bisa jadi tanda adanya melik nggendhong lali?” Dan, tentu saja, pertanyaan Mbokne Ndewor tak butuh jawaban lagi… he he he.**
*) Budi Palopo, lahir di Gresik (27 April 1962) dengan nama Budi Utomo. Dalam dunia kepenulisan ia juga punya nama Budi Tom Sega. Pendidikan terakhir FMIPA / matematika Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya. Pernah mendapat tropy penghargaan dari Kanwil Deppen Jawa Timur, sebagai penulis terbaik dalam Lomba Karya Tulis Bulan Komunikasi, Surabaya 1985. Sebagai Juara III dalam Lomba Karya Tulis Bulan Produksi, Kanwil Depnaker Jawa Timur, Surabaya 1986. Mendapat penghargaan dari RRI Surabaya, sebagai Juara III dalam Lomba Menulis dan Membacakan Naskah Humor Hari Radio 1987.
Dijumput dari: http://politik.kompasiana.com/2009/11/19/anggodo-kera-berbulu-merah-27047.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar