http://media.hariantabengan.com/
Kalimantan Tengah sebagai salah satu daerah yang termasuk dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebuah provinsi yang berada di tengah Pulau Kalimantan dengan luas 153.828 km² atau satu setengah kali Pulau Jawa. Pulau yang terkenal dengan nama lainnya ‘Borneo’. Seperti daerah wilayah Indonesia lainnya, Kalteng banyak memiliki keunikan, baik dari letak geografis maupun keindahan alamnya juga kekayaan lainnya seperti di bidang seni, budaya dan potensi-potensi lainnya yang memiliki kekhasan yaitu, adat-istiadat, budaya dan bahasa daerah. Salah satu etnis suku yang besar dan dominan di Kalteng adalah Suku Dayak Ngaju.
Dalam sejarah, sejak tahun 1850 Bahasa Dayak Ngaju telah ada dalam bentuk bahasa tulis, yang dipublikasikan dalam buku gramatika Bahasa Dayak Ngaju–Jerman, dikenal dengan nama kamus Hardeland yang ditulis oleh linguist Agust Hardeland dan Frederik Muller di Amsterdam dan sebuah majalah yang selalu terbit setiap bulan dikenal dengan nama Barita Bahalap yang dicetak di Banjarmasin, namun untuk sastra daerah bahasa tulis masih minim, masih banyak mempergunakan ragam “tuturan” atau bahasa lisan.
Contoh sastra ungkapan tradisional atau bahasa tradisi lisan seperti ‘sewut tampengan tuntang tanding’. ‘Sewut tampengan’ adalah ungkapan, sedangkan ‘tanding’ adalah perumpamaan. Ungkapan dan perumpamaan yang disampaikan ini dengan maksud agar tutur kata yang disampaikan terdengar halus dan santun, ungkapan tersebut juga lazim mengandung nasihat atau sindiran yang tersirat, juga menggambarkan sikap dan pandangan hidup. Sikap hidup artinya cara seseorang memberi makna terhadap kehidupannya, sedangkan pandangan hidup adalah hubungan manusia dengan sesamanya, agar hubungan dengan orang lain tetap harmonis, sikap toleransi dan menghargai. Bersikap berbudi bahasa, halus, lembut, rendah hati, tidak sombong, diwujudkannya dengan salah satu bentuk komunikasi.
Secara khusus dalam berbahasa atau tradisi lisan, tutur kata sebagai bentuk cerminan budi pekerti dan nilai-nilai diri seseorang atau budaya suatu pengguna bahasa. Ungkapan yang terkandung dalam tutur kata atau bahasa tradisi lisan mengandung nilai pendidikan, kepribadian atau moral, sosial, estetika, etika, norma-norma dan lain-lain.
Bahasa Suku Dayak Ngaju tidak memiliki ‘Undah Usuk’ atau bentuk tatanan bahasa seperti suku Jawa atau Suku Bali. Tatanan tuturan bahasa berdasarkan keturunan atau kasta, seperti bahasa yang halus, sedang dan kasar. Namun masyarakat Suku Dayak Ngaju dalam berkomunikasi terdengar santun dan halus terdengar dari intonasi dan pilihan kata. Selain intonasi dan pilihan kata, kata-kata yang digunakan berupa nasihat atau sindiran, sering diungkapkan dengan pepatah juga peribahasa. Peribahasa adalah kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya dan biasanya mengisahkan maksud tertentu, tiga jenis yang masuk dalam peribahasa yaitu pepatah, perumpamaan dan ungkapan. Dalam bahasa Dayak Ngaju peribahasa disebut ‘tanding tuntang tampengan’.
Ungkapan dalam bahasa Dayak Ngaju ‘Tampengan tuntang Tanding’ dapat dikatakan masuk dalam sastra lisan (folklor), yang sebaiknya segera diperhatikan, ditulis dan diungkapkan dalam sastra Dayak. Memang sastra ini berkembang dalam kehidupan masyarakat dalam kurun waktu dan situasi budaya tertentu. Untuk masa sekarang ini sastra ini kurang dikenal apalagi dipergunakan oleh generasi muda.
Pepatah juga peribahasa bahasa Dayak Ngaju itu dapat bersifat universal, berlaku untuk semua orang dan segala zaman; dapat pula ditafsirkan sesuai dengan suasana dan situasi penggunaannya; mempunyai arti kiasan, merupakan suatu perumpamaan yang tepat, halus dan jelas, mutiara bahasa, keindahan dan dapat dianggap sebagai bahasa diplomasi.
Terkadang diungkapkan dengan bahasa yang mengandung makna tersirat, biasanya dengan maksud agar lebih bermakna mendalam dan mengajak orang yang mendengarnya lebih banyak berpikir juga agar terdengar lebih halus, sindiran lembut, memberi pujian, juga dapat mematahkan lawan bicara. Contoh ‘tanding atau pepatah’ yang terkenal berisi nasihat “Ka ngaju dia kuman manuk, ka ngawa dia kuman tabuan” artinya secara lugas “ke hulu tidak mendapatkan makan daging ayam, ke hilir juga tidak makan tabuan” maknanya orang yang gagal salah dalam perhitungan atau salah langkah atau dapat juga diartikan orang melakukan sesuatu, namun tidak mendapatkan apa-apa atau sia-sia.
Contoh lain ‘tanding’ yang sering dikatakan oleh orangtua berisi sindiran, agar anaknya selalu menanamkan jiwa yang bersemangat, pantang mundur dalam melakukan sesuatu demi mencapai yang diharapkan, hidup bagaikan seorang laki-laki gagah dan kuat memiliki nyali atau pemberani dan tidak mudah menyerah, yaitu ‘ela kilau manuk mikeh antang’ artinya‘ jangan seperti ayam yang takut pada burung elang’. Contoh tanding yang lain yang berisi pujian yaitu seperti ‘Kilau pinang inyila due’ artinya ‘seperti pinang dibelah dua’ maknanya pernyataan atau pujian kepada orang yang hampir sama baik atau cantiknya ataupun maksudnya tidak jauh berbeda dari yang dibandingkan.
Sedangkan karya sastra yang berbentuk ‘tampengan’ atau peribahasa, dalam bahasa Dayak Ngaju memiliki makna dan dengan maksud untuk menanamkan nilai karakter, salah satu contohnya ‘Paham nyahoe, jaton ujae’ artinya sangat keras suara atau bunyi petirnya, namun tidak atau belum tentu hujan. Maknanya memberi nasihat pada karakter, hendaknya jangan sampai hebat sekali perkataan atau omongan, namun tidak ada buktinya atau kenyataan tidak sesuai dengan apa yang dikatanya.
Masih banyak contoh peribahasa yang lain yang dimiliki masyarakat Suku Dayak Ngaju, namun disaat jaman sekarang ini ‘tanding tuntang tampengan’ seperti ini jarang dituturkan atau diajarkan oleh orang-orang dewasa, bahkan belum banyak dipublikasikan atau dibukukan sebagai karya sastra daerah yang tertulis dan potensi daerah yang dapat dikembangkan. Sehingga kemungkinan besar sastra-sastra daerah yang merupakan kekayaan Suku Dayak Ngaju, tidak akan dikenal lagi oleh generasi muda sekarang dan akan datang, atau dapat saja terjadi karya-karya sastra daerah semacam ini akan hilang atau musnah.
‘Tampengan tuntang tanding’ bagaikan perumpamaan dan peribahasa; kata-kata yang mengandung penanaman karakter sebagai nasihat, perkataan (ajaran) orangtua, mengisahkan maksud tertentu, kalimat ringkas dan padat, berisi perbandingan, prinsip hidup, aturan tingkah laku. Contoh yang booming sekarang ini didengungkan kalimat, ela sampai uloh itah toh “Tempon kajang bisa puat, tempon petak manana sare, tempon uyah batawah belai” artinya secara sederhana jangan sampai kita yang memiliki dinding atau atap basah, memiliki kampung halaman tetapi terpinggirkan, dan memiliki garam namun merasa tawar, maknanya: sebagai orang pribuni yang mendiami wilayah Kalteng yang kaya dengan hasil alam dan hutan, bak ‘Jambrut Katulistiwa’ keindahannya dan dengan julukan ‘bumi redd+’, jangan sampai kita yang memilikinya tidak dapat menikmati dan tidak mendapatkan apa-apa, sebagai putera-putera daerah hendaknya dapat mengupayakan sumber daya alam dengan sebaik-baiknya dan sesungguhnya, mengupayakan sumberdaya manusia yang handal, sehingga dapat menikmati hasil buminya demi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat setempat. Hal ini sejalan degan slogan Gubernur Kalteng “menjadikan masyarakat bermartabat dan sejahtera”.
Generasi sekarang menganggap dirinya lebih ‘gaul’ dan ‘hebat’ atau ‘keren’ jika berbahasa Indonesia atau bahasa suku orang lain atau bahasa Inggris. Sikap yang demikian tidaklah benar dan dapat dikatakan sebagai karakter dan krisis loyalitas terhadap kedaerahan, sikap demikian dapat mengakibatkan musnahnya Budaya, Seni, Adat-Istiadat dan Bahasa daerah. Kondisi ini akan lebih parah jika kurangnya atmosfir positif, contoh teladan dari orang-orang dewasa, lingkungan hidup sekeliling generasi muda kita, lingkungan pergaulan mereka sehari-hari, yang tidak mendukung generasi muda untuk mengenal, memahami, dan memperggunakan, nilai budaya, adat-istiadat dan bahasa Daerah.
Dengan dikeluarkannya peraturan Gubernur Kalteng No.22 tahun 2011 Pasal 6, tentang tata laksana Kurikulum Muatan Lokal, yang memuat 12 (dua belas) kearifan Lokal yang perlu dikembangkan yaitu: bahasa dan sastra daerah, kesenian daerah, keterampilan dan kerajinan daerah, adat istiadat dan hukum adat, sejarah lokal, teknologi lokal, lingkungan alam/ekosistem, obat-obatan tradisional, masakan tradisional, busana tradisional, olahraga tradisional, nilai budaya lokal dalam perspektif global.
Berdasarkan peraturan daerah kita tersebut, sudah saatnya pemerintah, masyarakat dan pemangku kebijakan pendidikan serta generasi muda, bersama-sama saling mendukung, untuk bertindak dan melaksanakan bentuk-bentuk kegiatan ataupun dengan berbagai program pelestarian terhadap bahasa daerah, seni, budaya, adat-istiadat tersebut, agar mencapai cita-cita luhur menuju ‘Kalteng Harati’ hal ini sejalan dengan tanding dalam bahasa Dayak Ngaju ‘Kapintar te imambai dengan kaharati’ yang maksudnya kepandaian, kecerdasan intelektual harus diimbangi dengan kebijaksanaan, kemampuan emosional, dan moral. Sehingga dapat menjadikan masyarakat Kalteng yang pandai, beribawa dan bijaksana, maju dengan sumber alam dan Sumber Daya Manusia (SDM).
Suku Dayak memiliki kekayaan budaya yang banyak dan beragam, sehingga dapat dijadikan potensi dan kebanggaan daerah, seperti bahasa daerah, kesenian, ritual dan upacara adat-istiadat, memerlukan pemikiran dan tindakkan nyata dari masyarakat, budayawan, dan pemerintah, dalam upaya perlestariannya. Perlu adaanya wahana baru dan wadah yang mendukung sebagai fasilitas. Walaupun hingga saat ini kekayaan dan keragaman yang ada pada suku Dayak Ngaju masih ada, namun perlu tindakan lebih lanjut yang mengarah kepada bentuk pemertahanan dan pelestarian.
*) Pemerhati Bahasa dan Sastrawan /05-05-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar