Abdul Aziz Rasjid
http://cetak.kompas.com/7 April 2009
Manggar, bukanlah tokoh epik sekaligus tragik. Dipandang dari berbagai segi manapun, ia tak memenuhi syarat untuk itu: lelaki rupawan, cerdas, bangsawan namun bersifat pemberontak, penuh cita-cita kebebasan dan di sisi yang lain romantis, pemberani, juga diliputi pertanyaan dan kekecewaan pada kehidupan.
Manggar —bapak dari gadis kecil yang belum lagi bersekolah— hanyalah pedagang angkringan asal kota Klaten, Jawa Tengah. Dari pukul lima sore sampai dua pagi, ia memperjuangkan keberlangsungan hidup keluarganya dengan menjual makanan dan minuman tradisional di pinggiran kampus Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) —Karesidenan Banyumas. Cirinya: Ia tinggi, kurus, berambut gondrong. Ia juga tak banyak bicara, karena nampaknya ia tahu bahwa setiap kata-katanya adalah sesuatu yang marginal di Banyumas (Indonesia) tempat ia tinggal.
http://cetak.kompas.com/7 April 2009
Manggar, bukanlah tokoh epik sekaligus tragik. Dipandang dari berbagai segi manapun, ia tak memenuhi syarat untuk itu: lelaki rupawan, cerdas, bangsawan namun bersifat pemberontak, penuh cita-cita kebebasan dan di sisi yang lain romantis, pemberani, juga diliputi pertanyaan dan kekecewaan pada kehidupan.
Manggar —bapak dari gadis kecil yang belum lagi bersekolah— hanyalah pedagang angkringan asal kota Klaten, Jawa Tengah. Dari pukul lima sore sampai dua pagi, ia memperjuangkan keberlangsungan hidup keluarganya dengan menjual makanan dan minuman tradisional di pinggiran kampus Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) —Karesidenan Banyumas. Cirinya: Ia tinggi, kurus, berambut gondrong. Ia juga tak banyak bicara, karena nampaknya ia tahu bahwa setiap kata-katanya adalah sesuatu yang marginal di Banyumas (Indonesia) tempat ia tinggal.
Wajarlah memang, jika banyak diantara kita —terutama masyarakat Banyumas— yang tidak merasa akrab dengan Manggar. Karena memang di zaman kini, kemajuan tekhnologi media dan informasi telah memposisikan kita berada di batas-batas imajiner suatu geografi kultural yang senantiasa bergerak, bergeser, meluas dan melintasi berbagai batas-batas wilayah lain.
Dahulu, mungkin sulit untuk kita bayangkan: keberbagaian peristiwa yang terjadi di belahan benua lain, bisa kita saksikan di depan mata. Tetapi kini, karena kemajuan tekhnologi media dan informasi, kita bisa dengan mudah untuk menjalin hubungan, mengenal berbagai orang dari berbagai penjuru benua.
Efek dari kemajuan itu semua, membuat kita menjadi serasa akrab dan dekat dengan perilaku Madonna: Ratu pop yang seksi itu, Michael Jackson: Raja pop yang melakukan kontruksi warna kulit itu atau Ahmad Dhani dan Maia Estianty mantan suami-istri yang pandai mencipta lagu-lagu.
Tetapi, bila kita mengamati dengan seksama: efek itu tak hanya bersifat meluas, namun sekaligus menyempit. Semisal: jika kita sekarang lebih mengenal Dewi Persik, masih ingatkah kita pada Eva Arnaz. Jika kita mudah terenyuh oleh kisah perjuangan kehidupan Madonna, atau Michael Jackson, terenyuhkah kita dengan perjuangan kehidupan Manggar atau tetangga samping rumah kita. Bila ini hanya soal tahu menahu, ingat mengingat, kasihan tak kasihan mungkin adalah wajar.
Tetapi, jika dalam realitas kehidupan keseharian, efek kebudayaan yang dikendalikan oleh kekuatan tekhnologi media dan informasi telah membentuk suatu gaya hidup tertentu, saya menjadi ragu untuk mengatakan kondisi ini wajar.
Dunia Virtual
Dari sebuah angkringan dan sosok Manggar sebagai pedagang, saya ingin menyatakan: ada suatu posisi sosial –penandaan derajat- atau gaya hidup yang dibentuk melalui berbagai citraan produk massal hasil industri, dikemas melalui tekhnologi media dan informasi dalam bentuk virtual.
Pencitraan ini, berpotensi untuk membentuk keadaan baru pada masyarakat, yaitu masyarakat sebagai subjek yang tidak lagi terkait dengan kenyataan aktual. Namun, secara perlahan-lahan masyarakat telah terjebak pada kemasan virtual dan identitas kedirian mereka pun dibentuk lewat jejaring komunikasi virtual.
Akibat situasi itu: Angkringan, yang saya kira bernuansa tradisi kian mengalami posisi ekonomis yang semakin ringkih, bukan karena tak bisa dijangkau oleh masyarakat, tetapi karena semakin terdesak oleh berbagai produk makanan dari luar yang dikemas seolah dapat mengangkat derajat sosial. Sedang Manggar sebagai pedagang angkringan, seringkali hanya dikemas dalam sebuah slogan, diumbar dalam pidato, dijadikan sapi perahan di dalam kehidupan politik ketika suaranya dibutuhkan. Semisal ketika kampanye pemilihan umum mulai digulirkan.
Segala ucapan saya mungkin sekadar cablaka ala Banyumasan, tapi saya kira inilah realitas kehidupan keseharian: Bahwa tak jarang diantara kita yang berada dalam lingkup sosial, telah terjebak oleh kontruk sosial yang virtual. Dimana kehidupan sosial dipusatkan dari kemasan yang berakar kepentingan pasar, dan yang patut untuk dicatat: kehidupan di pasar bergerak bila terdapat pertukaran uang.
Saya kira, pedagang angkringan semacam Manggar adalah sebuah sosok paradoksal di tengah gejolak dunia virtual. Dimana keberadaanya dapat menjadi jembatan kita untuk kembali mempertanyakan, menggugat diri, merenungkan pandangan hidup yang kini kita yakini, bahwa banyak diantara kita telah membelot dari kenyataan aktual menjadi masyarakat di tengah pasar yang terjebak oleh tipuan virtual.
Dahulu, mungkin sulit untuk kita bayangkan: keberbagaian peristiwa yang terjadi di belahan benua lain, bisa kita saksikan di depan mata. Tetapi kini, karena kemajuan tekhnologi media dan informasi, kita bisa dengan mudah untuk menjalin hubungan, mengenal berbagai orang dari berbagai penjuru benua.
Efek dari kemajuan itu semua, membuat kita menjadi serasa akrab dan dekat dengan perilaku Madonna: Ratu pop yang seksi itu, Michael Jackson: Raja pop yang melakukan kontruksi warna kulit itu atau Ahmad Dhani dan Maia Estianty mantan suami-istri yang pandai mencipta lagu-lagu.
Tetapi, bila kita mengamati dengan seksama: efek itu tak hanya bersifat meluas, namun sekaligus menyempit. Semisal: jika kita sekarang lebih mengenal Dewi Persik, masih ingatkah kita pada Eva Arnaz. Jika kita mudah terenyuh oleh kisah perjuangan kehidupan Madonna, atau Michael Jackson, terenyuhkah kita dengan perjuangan kehidupan Manggar atau tetangga samping rumah kita. Bila ini hanya soal tahu menahu, ingat mengingat, kasihan tak kasihan mungkin adalah wajar.
Tetapi, jika dalam realitas kehidupan keseharian, efek kebudayaan yang dikendalikan oleh kekuatan tekhnologi media dan informasi telah membentuk suatu gaya hidup tertentu, saya menjadi ragu untuk mengatakan kondisi ini wajar.
Dunia Virtual
Dari sebuah angkringan dan sosok Manggar sebagai pedagang, saya ingin menyatakan: ada suatu posisi sosial –penandaan derajat- atau gaya hidup yang dibentuk melalui berbagai citraan produk massal hasil industri, dikemas melalui tekhnologi media dan informasi dalam bentuk virtual.
Pencitraan ini, berpotensi untuk membentuk keadaan baru pada masyarakat, yaitu masyarakat sebagai subjek yang tidak lagi terkait dengan kenyataan aktual. Namun, secara perlahan-lahan masyarakat telah terjebak pada kemasan virtual dan identitas kedirian mereka pun dibentuk lewat jejaring komunikasi virtual.
Akibat situasi itu: Angkringan, yang saya kira bernuansa tradisi kian mengalami posisi ekonomis yang semakin ringkih, bukan karena tak bisa dijangkau oleh masyarakat, tetapi karena semakin terdesak oleh berbagai produk makanan dari luar yang dikemas seolah dapat mengangkat derajat sosial. Sedang Manggar sebagai pedagang angkringan, seringkali hanya dikemas dalam sebuah slogan, diumbar dalam pidato, dijadikan sapi perahan di dalam kehidupan politik ketika suaranya dibutuhkan. Semisal ketika kampanye pemilihan umum mulai digulirkan.
Segala ucapan saya mungkin sekadar cablaka ala Banyumasan, tapi saya kira inilah realitas kehidupan keseharian: Bahwa tak jarang diantara kita yang berada dalam lingkup sosial, telah terjebak oleh kontruk sosial yang virtual. Dimana kehidupan sosial dipusatkan dari kemasan yang berakar kepentingan pasar, dan yang patut untuk dicatat: kehidupan di pasar bergerak bila terdapat pertukaran uang.
Saya kira, pedagang angkringan semacam Manggar adalah sebuah sosok paradoksal di tengah gejolak dunia virtual. Dimana keberadaanya dapat menjadi jembatan kita untuk kembali mempertanyakan, menggugat diri, merenungkan pandangan hidup yang kini kita yakini, bahwa banyak diantara kita telah membelot dari kenyataan aktual menjadi masyarakat di tengah pasar yang terjebak oleh tipuan virtual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar