Buku Sosiologi Hukum, Esai-Esai Terpilih
Gugun El-Guyanie
http://www.suaramerdeka.com/
Pak Tjip almarhum, diakui oleh publik Tanah Air sebagai mujtahid (pembaru) dalam bidang hukum. Karena lompatan-lompatan ijtihad-nya, ilmu hukum menjadi tidak angker dan elitis, atau hanya berada dalam ruang yang abstrak dan hampa. Karena Pak Tjip, perangkat ilmu-ilmu sosial, termasuk sosiologi bisa menjadi pisau analisis yang menyentuh, bahkan menguliti angkernya disiplin ilmu hukum.
Gugun El-Guyanie
http://www.suaramerdeka.com/
Pak Tjip almarhum, diakui oleh publik Tanah Air sebagai mujtahid (pembaru) dalam bidang hukum. Karena lompatan-lompatan ijtihad-nya, ilmu hukum menjadi tidak angker dan elitis, atau hanya berada dalam ruang yang abstrak dan hampa. Karena Pak Tjip, perangkat ilmu-ilmu sosial, termasuk sosiologi bisa menjadi pisau analisis yang menyentuh, bahkan menguliti angkernya disiplin ilmu hukum.
Sosiologi hukum lahir karena kegelisahan Pak Tjip, yakni adanya disparitas antara idealitas hukum dan realitas masyarakat. Jurang yang begitu lebar antara cita-cita mulia perundang-undangan untuk mengatur dan menertibkan masyarakat, tak kuasa berdialektika dengan kenyataan sosiologis yang selalu dinamis. Melalui kerangka baru sosiologi hukum, tentunya semakin terbuka pintu pembebasan dari dominasi cara berpikir hukum yang mengandalkan rules and logic untuk mendukung tatanan yang normatif. Hukum bergerak sesuai dengan regulasi dan dinamika sosial masyarakat. Maka bagi begawan hukum yang satu ini, sesungguhnya hukum mempunyai watak sesuai dengan kosmologi masyarakatnya karena muncul dan dimunculkan dari a peculiar form of social life.
Banyak peristiwa hukum di Tanah Air yang direkam dan menjadi bahan refleksi Pak Tjip untuk dianalisis dengan pisau sosilogi hukum. Esaiesai terpilih dalam buku inilah beberapa fragmen yang menginspirasi generasi bangsa untuk senantiasa melakukan koreksi terhadap produkproduk hukum perundangan yang terkesan mekanistis, menjadi nilainilai hukum yang dialektis dan dinamis. Sosiologi hukum melihat dan menerima hukum sebagai bagian dari kehidupan riil masyarakat. Inilah bedanya dengan ilmu hukum dogmatis (rechtsdogmatiek) yang sematamata memandang hukum sebagai struktur peraturan yang tersusun secara logis sistematis.
Salah satu tema menarik yang dikupas oleh penulis adalah perihal sosiologi hukuman mati. Masalah pidana mati yang usianya sudah setua peradaban manusia, sedang diperdebatkan oleh dunia Barat yang mengusung human rights, berseberangan dengan kelompok agama yang puritan yang memandang hukuman mati sebagai firman dan ketentuan Tuhan.
Melalui sosiologi hukum, kita semua bisa menimbang banyak hal tanpa sikap yang ekstrem, termasuk bagaimana konteks sosilogis hukuman mati bagi pelaku kejahatan. Tentunya juga muncul satu pertanyaan yang serba sulit dijawab; hukuman mati masih relevankah diterapkan di Indonesia?
Dipancung
Dalam sejarah, ada beberapa tokoh-tokoh besar dunia yang menjadi sasaran hukuman mati dengan caracara kuno, digantung, dipancung, diminumkan racun, ditembak atau ditebas dengan guilotine. Mereka yang tereksekusi ada Raja Louis XVI, permaisuri Marie Antoinette, Robespiere, Kaisar Rusia Nicholas, sampai ke Herman Goring serta sejumlah petinggi Nazi Jerman di akhir perang dunia kedua, dan yang paling akhir adalah Saddam Hussein presiden diktator dari Irak (halaman 160).
Sampai detik ini, masih ada beberapa negara di dunia yang tetap menerapkan pidana mati. Namun muncul juga gerakan abolisi atau penghapusan pidana mati. Secara sosiologis, pidana mati tidak bisa lepas dari psikologi budaya masyarakat setempat, atau juga berdasarkan pada tingkat puritanisme terhadap pemahaman agama.
Dalam Islam dikenal qisas, orang yang membunuh harus dibalas dengan dibunuh. Di Madura dikenal ada carok, orang Jawa mengenal peribahasa; utang nyawa bayar nyawa.
Di Sulawesi Selatan ada siri. Pepatah Belanda mengenal oog om oog, tand om tand. Semakin dinamis dan terbuka masyarakatnya, peluang pidana mati semakin kecil, sebaliknya semakin terisolasi budaya masyarakat, hukuman mati masih berpeluang diterapkan.
Namun yang perlu diketahui, sosiologi hukum tidak akan melakukan intervensi terhadap diberlakukan atau tidaknya hukuman mati. Hanya sebatas mengelaborasi, mendeskripsikan dan menjernihkan konteks sosiologis dan kulturalnya. Termasuk dalam membedah institusi Polri dan gagasan polisi sipil-nya, Pak Tjip hanya menyediakan optik yang objektif. Bagaimana sosiologi hukum memotret profesi polisi yang memegang kendali hukum di masyarakat.
Hukum yang mati (black letter law) yang sebatas aturan dan ancaman di atas kertas, akan menjadi hidup oleh kendali pelakunya, termasuk polisi. Dalam satu seminar internasional tentang polisi di Sisilia, William Tafoya, salah seorang pembicara, mengatakan bahwa sesungguhnya polisi itu adalah pemimpin bangsanya.
Setiap perubahan besar dalam masyarakat akan selalu menarik polisi untuk berjalan di depan sebagai panutan, termasuk isu penegakan HAM (halaman 108).
Dalam era reformasi, tuntutan terhadap peran polisi semakin besar.
Beban tambahan yang disebut sebagai “diskresi arus bawah“ harus dipikul oleh polisi. Maka, gagasan polisi sipil darii penulis menemukan konteks yang tepat di tengah arus deras demokratisasi.
Polisi sipil dipakai sebagai idiom untuk menggambarkan karakteristik pekerjaan polisi yang melindungi rakyat. Polisi Belanda bersemboyan “Kami bekerja supaya orang lain dapat tidur nyenyak“. Hanya dengan optik sosiologi hukum, Pak Tjip menggagas dan bermimpi mewujudkan polisi sipil yang bisa menyatu dengan masyarakat untuk menegakkan nilai-nilai hukum.
Banyak peristiwa hukum di Tanah Air yang direkam dan menjadi bahan refleksi Pak Tjip untuk dianalisis dengan pisau sosilogi hukum. Esaiesai terpilih dalam buku inilah beberapa fragmen yang menginspirasi generasi bangsa untuk senantiasa melakukan koreksi terhadap produkproduk hukum perundangan yang terkesan mekanistis, menjadi nilainilai hukum yang dialektis dan dinamis. Sosiologi hukum melihat dan menerima hukum sebagai bagian dari kehidupan riil masyarakat. Inilah bedanya dengan ilmu hukum dogmatis (rechtsdogmatiek) yang sematamata memandang hukum sebagai struktur peraturan yang tersusun secara logis sistematis.
Salah satu tema menarik yang dikupas oleh penulis adalah perihal sosiologi hukuman mati. Masalah pidana mati yang usianya sudah setua peradaban manusia, sedang diperdebatkan oleh dunia Barat yang mengusung human rights, berseberangan dengan kelompok agama yang puritan yang memandang hukuman mati sebagai firman dan ketentuan Tuhan.
Melalui sosiologi hukum, kita semua bisa menimbang banyak hal tanpa sikap yang ekstrem, termasuk bagaimana konteks sosilogis hukuman mati bagi pelaku kejahatan. Tentunya juga muncul satu pertanyaan yang serba sulit dijawab; hukuman mati masih relevankah diterapkan di Indonesia?
Dipancung
Dalam sejarah, ada beberapa tokoh-tokoh besar dunia yang menjadi sasaran hukuman mati dengan caracara kuno, digantung, dipancung, diminumkan racun, ditembak atau ditebas dengan guilotine. Mereka yang tereksekusi ada Raja Louis XVI, permaisuri Marie Antoinette, Robespiere, Kaisar Rusia Nicholas, sampai ke Herman Goring serta sejumlah petinggi Nazi Jerman di akhir perang dunia kedua, dan yang paling akhir adalah Saddam Hussein presiden diktator dari Irak (halaman 160).
Sampai detik ini, masih ada beberapa negara di dunia yang tetap menerapkan pidana mati. Namun muncul juga gerakan abolisi atau penghapusan pidana mati. Secara sosiologis, pidana mati tidak bisa lepas dari psikologi budaya masyarakat setempat, atau juga berdasarkan pada tingkat puritanisme terhadap pemahaman agama.
Dalam Islam dikenal qisas, orang yang membunuh harus dibalas dengan dibunuh. Di Madura dikenal ada carok, orang Jawa mengenal peribahasa; utang nyawa bayar nyawa.
Di Sulawesi Selatan ada siri. Pepatah Belanda mengenal oog om oog, tand om tand. Semakin dinamis dan terbuka masyarakatnya, peluang pidana mati semakin kecil, sebaliknya semakin terisolasi budaya masyarakat, hukuman mati masih berpeluang diterapkan.
Namun yang perlu diketahui, sosiologi hukum tidak akan melakukan intervensi terhadap diberlakukan atau tidaknya hukuman mati. Hanya sebatas mengelaborasi, mendeskripsikan dan menjernihkan konteks sosiologis dan kulturalnya. Termasuk dalam membedah institusi Polri dan gagasan polisi sipil-nya, Pak Tjip hanya menyediakan optik yang objektif. Bagaimana sosiologi hukum memotret profesi polisi yang memegang kendali hukum di masyarakat.
Hukum yang mati (black letter law) yang sebatas aturan dan ancaman di atas kertas, akan menjadi hidup oleh kendali pelakunya, termasuk polisi. Dalam satu seminar internasional tentang polisi di Sisilia, William Tafoya, salah seorang pembicara, mengatakan bahwa sesungguhnya polisi itu adalah pemimpin bangsanya.
Setiap perubahan besar dalam masyarakat akan selalu menarik polisi untuk berjalan di depan sebagai panutan, termasuk isu penegakan HAM (halaman 108).
Dalam era reformasi, tuntutan terhadap peran polisi semakin besar.
Beban tambahan yang disebut sebagai “diskresi arus bawah“ harus dipikul oleh polisi. Maka, gagasan polisi sipil darii penulis menemukan konteks yang tepat di tengah arus deras demokratisasi.
Polisi sipil dipakai sebagai idiom untuk menggambarkan karakteristik pekerjaan polisi yang melindungi rakyat. Polisi Belanda bersemboyan “Kami bekerja supaya orang lain dapat tidur nyenyak“. Hanya dengan optik sosiologi hukum, Pak Tjip menggagas dan bermimpi mewujudkan polisi sipil yang bisa menyatu dengan masyarakat untuk menegakkan nilai-nilai hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar