Sjifa Amori
http://www.jurnalnasional.com/
Perupa I Wayan Sujana “Suklu” menggelar pameran tunggal seni instalasi (material bambu) di Pusat Kebudayaan Prancis (CCF), Bandung, mulai Senin (1/2) hingga 31 Maret mendatang.
Pameran dibuka dengan pertunjukan tari kontemporer pada karya seni instalasi berjudul Cendrawasih sebagai bentuk intertekstualitas tafsir ruang oleh I Nyoman Sura di halaman gedung CCF.
http://www.jurnalnasional.com/
Perupa I Wayan Sujana “Suklu” menggelar pameran tunggal seni instalasi (material bambu) di Pusat Kebudayaan Prancis (CCF), Bandung, mulai Senin (1/2) hingga 31 Maret mendatang.
Pameran dibuka dengan pertunjukan tari kontemporer pada karya seni instalasi berjudul Cendrawasih sebagai bentuk intertekstualitas tafsir ruang oleh I Nyoman Sura di halaman gedung CCF.
Seni instalasi saat ini tengah marak sebagai subject-matter yang multiinterpretatif. Maka ruang publik seperti sudut-sudut kota menjadi ruang the other untuk disentuh oleh seniman dalam menyampaikan gagasan artistik terhadap fenomena kemanusiaan saat ini.
Suklu adalah salah satu seniman kontemporer asal Klungkung, Bali, yang tengah menghirup atmosfer Bandung sebagai ruang kreatif dalam proses panjang kesenimanannya. Material bambu pada pameran seni instalasi bertajuk Jejak.... tidak saja menjadi representasi kegelisahannya terhadap fenomena kemanusiaan saat ini.
Suguhan karyanya itu merupakan bahasa simbolik dari pribadinya yang bersahaja untuk kota Bandung yang tengah menjadi situs perantauan kreativitasnya.
Dalam catatan pamerannya yang bertajuk Bambu dalam Memori dan Keseharian, seniman I Wayan Sujana Suklu menuliskan sedikit latar belakang proses penciptaan karyanya. Termasuk kisah masa kecilnya yang tinggal di sebuah desa terpencil di Bali bagian tengah agak ke timur, Banjar Lepang, Klungkung. Sebuah desa dekat pantai dengan dipenuhi rimbun pohon bambu di pinggiran sungai yang mengitari desa tersebut.
”Sebagai anak petani, saya sangat akrab dengan bambu, apakah bambu yang dimanfaatkan sebagai bahan upacara-upacara adat dan agama Hindu di masyarakat Bali atau sebagai fungsi pada budaya agraris. Petani di desa, tempat saya tinggal sampai sekarang, masih memanfatkan bambu sebagai alat untuk memudahkan aktivitas masyarakat di sawah.”
Pada mulanya hanyalah fungsi praktis ketika bambu digunakan sebagai material dalam pembuatan kubu, sejenis rumah sederhana yang dipergunakan petani berteduh di kala hujan dan terik matahari menyentak di tengah sawah. Biasanya dipergunakan sebagai penyangga atap yang bahannya dari daun ilalang. Struktur pembuatannya sangat sederhana dan menggunakan sistem knockdown. Pertemuan ujung bambu dalam membentuk kuncup atap dibuat dengan konsep patahan, sehingga dapat diolah kemiringan atap sesuai keinginan.
Konsep patahan dalam pembuatan kubu inilah yang menurut sang seniman lantas memberi gagasan pada pembuatan seni instalasi bambu, tentu dengan pola yang berbeda sesuai penghayatannya terhadap alam, konteks tempat, waktu dan ruang. Material bambu juga memberi sugesti tersendiri pada strukturnya, terutama garis melingkar setiap jengkal dari pangkal keujung, dan setiap batang bambu mewakili satu coretan garis pada sebuah gambar.
Berangkat dari pemahaman ini, I Wayan Sujana Suklu berfantasi melukis ruang dengan kehadiran bentuk instalasi bambu. Fantasi hadir merupakan simbiosis dari ruang nyata dan ruang gagasan dalam konsep pikiran, kemudian terakumulasi menjadi gagasan bentuk dan selanjutnya diaktualisasikan menjadi bentuk seni instalasi bambu.
Beberapa karya instalasi bambu yang sudah dirancang masih berdasarkan citra alam dan benda-benda fungsional seperti daun, meja, kursi, dan pintu gerbang. Namun dengan pengembangan bersifat intuitif bentuk, kehadiran bambu tersebut diharapkan lebih imajinatif dan inspiratif.
Suklu adalah salah satu seniman kontemporer asal Klungkung, Bali, yang tengah menghirup atmosfer Bandung sebagai ruang kreatif dalam proses panjang kesenimanannya. Material bambu pada pameran seni instalasi bertajuk Jejak.... tidak saja menjadi representasi kegelisahannya terhadap fenomena kemanusiaan saat ini.
Suguhan karyanya itu merupakan bahasa simbolik dari pribadinya yang bersahaja untuk kota Bandung yang tengah menjadi situs perantauan kreativitasnya.
Dalam catatan pamerannya yang bertajuk Bambu dalam Memori dan Keseharian, seniman I Wayan Sujana Suklu menuliskan sedikit latar belakang proses penciptaan karyanya. Termasuk kisah masa kecilnya yang tinggal di sebuah desa terpencil di Bali bagian tengah agak ke timur, Banjar Lepang, Klungkung. Sebuah desa dekat pantai dengan dipenuhi rimbun pohon bambu di pinggiran sungai yang mengitari desa tersebut.
”Sebagai anak petani, saya sangat akrab dengan bambu, apakah bambu yang dimanfaatkan sebagai bahan upacara-upacara adat dan agama Hindu di masyarakat Bali atau sebagai fungsi pada budaya agraris. Petani di desa, tempat saya tinggal sampai sekarang, masih memanfatkan bambu sebagai alat untuk memudahkan aktivitas masyarakat di sawah.”
Pada mulanya hanyalah fungsi praktis ketika bambu digunakan sebagai material dalam pembuatan kubu, sejenis rumah sederhana yang dipergunakan petani berteduh di kala hujan dan terik matahari menyentak di tengah sawah. Biasanya dipergunakan sebagai penyangga atap yang bahannya dari daun ilalang. Struktur pembuatannya sangat sederhana dan menggunakan sistem knockdown. Pertemuan ujung bambu dalam membentuk kuncup atap dibuat dengan konsep patahan, sehingga dapat diolah kemiringan atap sesuai keinginan.
Konsep patahan dalam pembuatan kubu inilah yang menurut sang seniman lantas memberi gagasan pada pembuatan seni instalasi bambu, tentu dengan pola yang berbeda sesuai penghayatannya terhadap alam, konteks tempat, waktu dan ruang. Material bambu juga memberi sugesti tersendiri pada strukturnya, terutama garis melingkar setiap jengkal dari pangkal keujung, dan setiap batang bambu mewakili satu coretan garis pada sebuah gambar.
Berangkat dari pemahaman ini, I Wayan Sujana Suklu berfantasi melukis ruang dengan kehadiran bentuk instalasi bambu. Fantasi hadir merupakan simbiosis dari ruang nyata dan ruang gagasan dalam konsep pikiran, kemudian terakumulasi menjadi gagasan bentuk dan selanjutnya diaktualisasikan menjadi bentuk seni instalasi bambu.
Beberapa karya instalasi bambu yang sudah dirancang masih berdasarkan citra alam dan benda-benda fungsional seperti daun, meja, kursi, dan pintu gerbang. Namun dengan pengembangan bersifat intuitif bentuk, kehadiran bambu tersebut diharapkan lebih imajinatif dan inspiratif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar