Senin, Juni 15, 2009

BENING, SI BINTIK BENING

KRT. Suryanto Sastroatmodjo

Ah, ya, hampir saja aku menuju ke persimpangan jalan nan menyesatkan. Pada waktu itu, telah aku bentangkan layar-layar untuk mengkait tempatmu berlindung. Pada waktu itu, sebenarnya aku tegangkan sebuah penutup, sehingga sigatanmu mampu menghalangi sinar yang panas, sebelum empedu memahit, dan sebelum tempurung kepalamu berdenyut lunak kena jarum-jarum langit rasa sauna. Begitu kuatkah dirimu mencoba berlindung?
Bobby yang penyantun! Kiranya dinding ini terlampau tebal menyungkup, sehingga tubuhmu kegerahan, bukan? Rumah yang berdiri dan menaungi bukan sesuatu yang didambakan dalam rentang penantian. Akan tetapi, kala aku hendak menunjukkan musykilnya pengharapan yang berselang-seling, kurasakan betapa tambah rengkahnya dirimu dari persada-asal. Aku dan ibumu tengah berupaya, agar sel-sel darah yang berada dalam badan sehat bukan mempertentangkan alur dan lajurnya, melainkan justru mengalir bersama zat-zat lainnya yang secara kodrati memperteguh kelugasan antara rengkah dan rangkah di haluan.

Tiada yang mempertajam sengketa pada kehidupan di mayapada ini selain daripada mereka yang alpa, Nak. Ini sungguh pasti. Siapa memberangkatkan sampan-sampan, tanpa bisa memacakkan dayungnya, ibaratnya meramalkan cuaca tanpa mengetahui peta gunjingan angin. Pada saat manusia mengecimpungi sendang demi sendang yang pernah membincangkan air hijaunya di pagi resik – dan dengan demikian, kebugaran pun teruji kembali. Cobalah renungi kalbumu sendiri. Cobalah dekap lembah dan tebing di sekeliling sendang itu, niscaya masih lekat parakanmu.

Minggu pertama di bulan Maret, laras dengan peringatan hari jadimu yang sedikit pun tak pernah kami lupakan. Kau mungkin khilaf, bahwa papa senantiasa menyempatkan diri untuk menyimak Mazmur atau Khotbah di Bukit, sebagai pantulan rasa larutnya pada Injil nan melekat pada pori-pori kulit ini. Apakah Tuhan mendengar nyanyian kami? Mustikah kuucapkan litany cilik pada persembahyangan di kamar terasing sudut kidul rumah kita, yang kau selalu mengatakan, bahwa bau mawar oranye yang kutanam di sepetak tanah kering itu tak terlupakan, dan bahwasanya terus terasa bahwa Sang Timur sandar di situ?

“Papa bersikeras untuk bikin perjamuan, padahal masih terlalu siang untuk merayakan “Bojana Penghabisan” yang dilindungi merpati roh kudus sepanjang upacara bergema,” kata ibumu mengingatkan. Aku menjawab: “Tidak begitu, Mam. Aku merasa anak kita selalu tiba, sebelum bubur sumsum yang tersedia di panci itu habis untuk para tamu. Aku rasa, darah daging kita sendiri terus menunggu, kapan santapan utama siap…”

Ananda yang lurus hati.
Suatu pagi, saat dikau telah duduk di akhir Sekolah Dasar dan mengadakan darmawisata bersama teman-teman sekolah, ibumu kelihatan murung sekali. Kulihat, di luar, hari pun diliputi oleh gemawan tebal, sehingga keredupan udara terasa begitu menyekat tenggorokan. “Sayangnya si Bobby bersikeras berangkat hari ini,” ibumu menyampirkan handuk yang masih tertinggal di kamar mandi sehabis kaugunakan pagi buta. “Memangnya kenapa? Adakah sesuatu yang tertinggal?” tanyaku seraya memperbaiki radio transistor yang rusak di ruang tengah. “Papa lihat, celana renang dan alat pelampungnya masih tertinggal, padahal hari ini ia tentunya mandi-mandi di laut.” Aku menghela nafas. Semoga tiada marabahaya, desisku. Tapi aku rasakan, dadaku sesak. “Kau sering lupa menyiapkan apa yang perlu, jika anakmu lanang bepergian jauh,” kataku menyiasat. “Dia sih masih kebocahan sekali.”

Lantas terjadilah malam itu, lepas suara “Love Ambon” dari radio, pertanda siaran rampung di jam duapuluhempat tepat – seorang tetangga menyampaikan kabar. Dan aku beserta ibumu seperti tak bisa bernafas, karena peristiwa yang menyakitkan itu. “Putra Bapak, kini dibawa dengan ambulans. Luka-luka pada pelipis dan punggungnya.” Aku segera bergumam: “Oh, apakah Bobby mengalami kecelakaan di laut, Pak? Ia belum begitu mahir berenang.” Tapi polisi dan petugas rumah sakit cuma menggeleng lemah. Menjelang pukul tiga pagi, tahulah aku, bahwa luka-luka yang kauderita bukan karena musibah di alam yang ganas, melainkan ulah teman-temanmu sendiri jua. “Putra Bapak sering berkelahi?” tanya seorang guru yang menungguinya di zal. Aku berdesis, “Sepengetahuanku tidak.” Tapi ibumu langsung menukas: “Tuan belum tahu agaknya. Bobby bisa juga berang dan melabrak jika harga dirinya terinjak. Apalagi teman-temannya suka melecehkan, mengoloknya.” Dokter yang mendengar itu mengerling dan ikut numbrung: “Ibu, apakah dia terkucil di sekolah? Problem apa yang merisaukannya?” Maka setengah menangis, ibumu bilang begini: “Dengarlah, Tuan. Ibu mana tak tersentuh perasaannya bila anak lanang satu-satunya diperhinakan. Soal apa lagi kalau bukan rasial, soal warna kulit, soal kebangsaan. Sedih, Tuan. Teman-teman si buyung, yang tanpa sadar dicekoki prinsip nasionalisme dan patriotisme yang kelewat batas, menuding si Bobby sebagai “sisa begundal kolonial”, anak Blandis, dan cercaan yang pedas-pedas, gara-gara kulit anakku putih-bule, bukan seperti anak pribumi.”

Dokter tertawa, mengisap cerutunya, mengepulkan asap keruhnya ke langit-langit kamar. “Lebih baik tak usah kita perhatikan gurauan-senda bocah-bocah cilik yang lagi mabuk pada suasana dewasa ini. Suasana, tatkala demam nasionalisasi perusahaan asing tengah berkecamuk, karena meningkatnya perjuangan merebut Irian Barat dari rangkulan Belanda.” Aku berkata: “Kami sadar, bukan lagi menganggap semua itu sebagai omongan bocah melainkan sudah punya wur-wuran serbuk politik ekstrim, tak sehat!”

Maka, aku melangkah untuk melihat bagian-bagian dari badanmu yang dijahit, dan memerlukan penyembuhan yang cukup lama. Sejenak lampu neon di ruangan itu mengerdip dalam siratan luruh. Kupandang wajah ibumu yang suram dan temungkul. Ah, nak – kala itu alangkah pucat mukamu, bagai kapas. Seorang murid, yang melaporkan padaku tak lupa membeberkan, bagaimana Topo melakukan serangan dengan belati berkali-kali, melukaimu. Soalnya hanya karena kau mau pinjam piring dan gelas, dan dia melarang seraya mengatakan, bahwa “anak Belanda kuning seperti kamu sudah tak layak lagi tinggal di negeri republik kami yang merdeka ini.” Kau tersinggung, dan meninju lengannya. Lalu perkelahian tak terhindarkan dan kau dikeroyok lima teman-temannya yang solider. Aku mengeluh seraya melemparkan mata ke halaman rumahsakit yang luas itu. Aku raba keningmu yang panas. Balut-balut lukamu masih berdarah!

Dan itulah yang menjadi sebagian ganjalanku. Sampai di SMTP, ketika beberapa kali aku menyarankan, supaya kau lebih banyak berolahraga di alam luas, mulai dari sepakbola, basket, volley, renang, dan senam sehat. Kau begitu wangkot, Nak. Maksud bapak, olahraga akan menambah indah bentuk-jasadmu, dan lebih banyak potensi alam yang kausedot ke dalam ragamu, memperkuat sel-sel darahmu. Rupanya elektronika lebih menarik dirimu untuk berkurung dalam kamar sempit. Kau sendiri agak rendah diri jika harus bergaul dengan sahabat-sahabat di kampung. Nak, papa tak salah jika menyarankan supaya bergiat di udara terbuka. Karena jika kau banyak berjemur di bawah terik-surya, niscaya kulitmu takkan terlalu putih. Citramu sebagai ‘Sinyo’ yang agak mencurigakan, pada saat warga kampung sekitar kita tenggelam dalam antipati terhadap orang Belanda, yang mereka anggap sebagai ‘musuh republik’.

Hanya saja, aku berbesar hati, bahwa dirimu telah menuruti nasehat ayah, tiap minggu berkebun bunga di kebun belakang. Sehabis mencangkul bersamaku dan ibumu, wajahmu berkeringat, kemerahan, juga kulit leher, bahu dan dadamu. Apa boleh buat, kesunyataanlah yang bicara. Serasa, paras bulat Kapten Van Hasselman – suami ibumu, yang pergi tanpa pesan, setelah menebar benih di rahimnya. Ya, bahkan hingga dikau menatap dunia, dan berumur setahun. Kalau aku kemudian datang sebagai pelindung, dan mengangkatmu sebagai putraku terkasih, bukanlah lantaran aku berlagak pahlawan. Tidak, Nak, kinilah tiba waktunya aku untuk bicara sejujurnya. Neng Euis Tikah, ibumu itu – kembang desa Cilambuan; puluhan pria merindukannya, berhasrat mempersunting sekar mekar ini, sebelum akhirnya agresi militer kolonial datang menikam Tanah Pasundan. Dan itu kukatakan, karena aku juga termasuk salah satu di antara jejaka kolot yang mendambakan cintanya. Lantas kami bertemu, di daerah perbatasan tatkala Euis Tikah lari dari kota, ke tempat bibinya di Karilo. Kami dipertemukan Tuhan kembali. Dia menggendong anaknya yang sehat jenaka, yakni dikau sendiri, Nak. Dia tetap ayu-suci di mataku!

Bobby yang kini sudah dewasa.
Bapakmu ini jurutulis Pegadaian Negeri kala itu dan lamaran kepada Euis Tikah mendapat perhatian selayaknya. Kami menikah, dan kemudian hijrah di kota, tempat kami membesarkan dirimu hingga sekarang. Aku keluar dari pekerjaan yang lama, dan beralih jabatan sebagai pengelola hotel yang cukup terkenal itu – suatu bidang yang membuat secara materi, berkecukupan, bahkan bisa dikatakan berkelimpahan. Kami rasa, sebagai seorang ayah, aku bisa memberikan hal-hal yang bermanfaat tanpa prasangka buruk sedikitpun. Bahkan hingga SLTA, dan dirimu kepingin memasuki Akademi Militer Nasional – aku dan ibumu menyatakan keberatan yang besar.

“Kejadian-kejadian yang berhubungan dengan kemiliteran, pangkat-pangkat dan tanda lencana berkilauan senantiasa mengingatkan kami kepada perang nan memusnahkan segalanya,” itu alasan dariku. Lalu kuperlihatkan potret dari harian “Dwiwarna” yang terbit pada tahun 1948, yang mengisahkan, bagaimana dua orang pamanku terbantai di Bandung Selatan, bersama dengan ratusan warga kampung di daerah kumuh itu. Pelakunya adalah Westerling, algojo Belanda yang haus darah itu. Seorang kerabatku yang lain, ikut menjadi korban ketika pulang dari pasar. Ia seorang ibu yang tengah mengandung-tua, dan ditembak di tengkuknya, sewaktu bersepeda melintas halaman sebuah kantor. Seorang sahabat mengabarkan, salah satu penembak yang ikut merobek-robek perut rakyat tak berdosa itu adalah Van Hasselman, bapak kandungmu, yang waktu itu melampiaskan kemarahannya kepada warga kampung yang konon kabarnya pernah menyinggung harga dirinya sebagai perwira kolonel.

“Papa merasa getir dan mendendam, bukan?” tanyamu menyelidik, ketika halaman pertama suratkabar itu kubuka di atas meja untuk menerangkan hal ini kepadamu. Ibumu menjeling dari kacamata minusnya dan meletakkan jemari pada lenganku. “Tidak, tidak, Nak. Tidak sama sekali,” ujarku spontan. “Mengapa aku harus terus-menerus menciptakan dendam kesumat yang serba naif itu, Nak? Seorang manusia ditakdirkan untuk tumbuh serta bangkit sebagai orang yang jantan, betapapun kecil kedudukannya. Dendam hanyalah letupan emosional yang melorotkan martabat hingga diri kita tak lebih daripada nyamuk yang selalu mendengung untuk menghisap darah, tanpa kepedulian yang pasti. Tuhan memberi kita nalar wening dan rasa yang bermahkota, yang membuat kita harus sadar akan satu pembatas yang mengatur sikap bijak kita. Melupakan sesuatu nan teramat menggetir hati, kiranya jauh lebih mulia, katimbang kita terus tergoncang dalam deru ke-dendam-an itu.” Lalu kau tercenung beberapa menit. Ibumu menimpali: “Dengarlah, Bobby. Papa mengatakan apa yang paling mendesir di dasar nurani. Ia telah menerima ibu tanpa prasyarat apapun. Ia telah mengangkatmu sebagai satu-satunya putra terhormat, bahkan dirimu juga berhak menggunakan nama keluarganya. Keluarga bangsawan yang membuat orang membanggakannya!”

Aku tak perlu menggarami dan mengasami perkataan ibumu ini. Satu senggolan kecil di kalbu, melihatmu menitikkan airmata. Nak, kau sungguh seperti papa, yang takkan membasahkan tirta kepiluan jika bukan ada sesuatu yang membikin batin terkoyak. Tapi anakku toh tak bisa berbohong dengan dirinya sendiri, bukan? “Sekiranya papa menghadapi pembunuhan brutal tersebut dengan batin koyak-moyak, sanggupkah papa menerimanya dengan tawakal?” demikian kaucoba mengusik hatiku. “Buyung sayang, bahkan sebaliknyalah. Papa semula belum bertawakal ketika menerima kabar, kedua pamanku dijagal di pinggir jalan. Aku sendiri anggota laskar pelajar, berdarah panas, mudah mengosongkan pistol untuk kemarahan nan muspra. Di sini, peristiwa itu cukup merantaskan saraf-sarafku yang muda. Aku memerlukan waktu sepuluh hari buat mendinginkan darah nan mendidih. Aku banyak berpuasa dan sembahyang tahajud, Nak.”

“Mengapa papa tak mendendam pada orang Belanda?”
“Sekali lagi, ketololan semata yang membikin orang melampiaskan sakit hati pada sesamanya, Nak. Kalau kau jadi dewasa, lalu jadi arif di kala berangkat tua, maka salah satu faktor penyebabnya adalah iman di dada. Keinsyafan, bahwa tiada yang kekal di bumi ini. Apa jadinya jika bangsa-bangsa meletupkan keberangannya?”

“Aku kini menyesal, Papa. Waktu kecil dulu, aku mudah naik darah, bila diolok-olok ‘seperti sinyo Kemayoran’, karena kulitku bule, berbeda dengan kawan-kawan yang merasa memiliki Tanah air ini, dan putra Republik yang murni. Papa menyadarkan berulangkali, perkelahian tiada arti sama sekali jika soalnya menyangkut hakiki kesucian darah pribumi atau bukan. Sementara di luar sana, masyarakat luas telah saling bahu-membahu dalam mewujudkan kerjasama kebudayaan. Aku sekarang tahu, kalaulah orang menumpahkan kesalahan pada penjajahan imperialistik ratusan tahun, maka sebenarnya sama artinya dengan mengutik-utik keringkihan-kelemahan nenekmoyangnya sendiri yang gemar bertengkar, hingga saling-cakar buat mempertahankan sejengkal bumi. Di tengah perselisihan, datang pihak ketiga: kaum penjajah Barat yang haus wilayah, yang memainkan peranannya sebagai duta-keberanian dan atasnama Sejarah, menjadi sang pemenang.”

“Andaranmu tepat, Buyung,” kataku penuh haru. “Apakah guru-guru Sejarahmu di SMA mengajarkan tentang kawicaksanaan ini?” Malam ini, kita ingin mengucapkan rasa akrab akan cita-mulia.

“Pada garis besarnya juga, Papa,” tegasmu bersemangat. “Menyesali masalampau adalah kesia-siaan. Menangisi kejatuhan bangsa, juga suatu kenaifan yang pepat. Dewasa ini kita bukan bicara lagi tentang kesucian ras, warna kulit, ataupun prabeda ideologi nan saling adu-bokong. Kelahiran tiap individu tak usah disesali sebagai beban politis yang berkepanjangan, sementara dunia yang akbar masakini telah semakin asyik-masyuk menjalin ikatan kebudayaan, Pa.” Kau sungguh memiliki derajat pengemban TulusNya.

Aku bangga dengan beberan-beberan pikiranmu, Bobby. Malam, di mana kita berbincang tentang dimensi Sejarah itu bagiku merupakan peristiwa bersejarah. “Hidup, mati, jaya, dan uzur adalah istilah-istilah histories yang mengantar insan untuk lebih menggalang keberadaan fitrahnya. Kasih yang menguntum di tengah rabuk-rabuk nan menyuburkan persada pengabdian, akan menyandang bahagia nan wangi.”

Hari-hari di SMA telah kaulalui dengan memuaskan, dan tiga tahun yang memberiku arti adalah bahwa Bobby memiliki nilai rapor yang bagus, terutama untuk ilmu pasti. Pada akhirnya aku ‘maturnuwun’ pada Gusti, saran kami kau jadikan pertimbangan dalam menentukan sekolahmu di perguruan tinggi. Kau tak jadi memasuki Akademi Militer, melainkan menjatuhkan pilihan pada Akademi Teknik yang mengkhususkan studi pada pembangunan jembatan dan bendungan. Kudoakan, jika lulus nanti, mohonlah beasiswa untuk meneruskan studimu di Delf, Negeri Belanda, yang lebih memberikan bintik-bintik bening pada bola mata pembangunan di kemudian hari, Nak.

Bobby yang lembut hati! Liburan semesteran pada tahun pertama di akademi itu, kusambut dengan pembacaan ‘Khotbah di Bukit’, dan kau kelihatan sedikit kurus dan parasmu lebih lonjong sekarang. Kalau tak salah lihat, kulitmu tak lagi seputih dulu, melainkan sudah menglasat, dan gerak tubuhmu tambah tangkas-trengginas. Horas! Laporan pertama yang kauucapkan dalam nada agak parau, tapi mata berbinar adalah: “Pa, aku ikut lomba mendaki gunung. Kami banyak berlatih menaklukkan bukit-bukit di Pasundan. Bulan depan, kelompok kami siap mendaki Galunggung. Senang, Pa! Aku banyak teman.” Ah, buyung sayang. Tubuhmu gagah-tinggi, dan wajahmu tampan. Mengapa tidak bercerita tentang gadis-gadis ranum yang kesengsem padamu? Pipimu memerah ketika papa bertanya potret setengah badan perawan jelita berlesung pipit, yang kulihat menempel di sampul buku diktatmu. “Aku giat berolahraga, Pa. Belum tertarik kaum hawa…” Bahwasanya, sebagai lelaki muda, kau memiliki dasar yang tegar.

Aku suka mesem-mesem sendiri lamun terkenang kejenakaanmu kini, dan kenakalanmu semasa bocah. Sore kemarin aku sedang mendangir kembang gladiola di pot-pot kecil merah di beranda belakang. Sedikit kusiram dengan gayung dari ember, sementara rabuk kotoran kelelawar kuaduk dengan tanah gembur. Sorot mentari petang membelah ruangan ini dengan bayang menyiku di antara kuning keunguan. Ibumu datang dalam daster birumaya dan menyampaikan jeruk yang sudah dikupas. “Pa, aku ingin menunjukkan sesuatu yang indah,” ujarnya menyentuh bahu. “Tentang apa dan siapa? Di mana, Ma?” – demikian aku tanggapi sambil mengunyah jeruk. Ia menggandengku sambil lirih menyanyikan tembang-tembang Sunda, lagu kegemaran ibumu. Tapi bukan itu yang membuat kami ketawa dan terpesona, Nak. Kau begitu bugar, muda dan perkasa dalam keadaan telanjang bulat, seperti menikmati liburan hangat di kampung. Air segar nan jernih mengguyur tubuh, dan aku seakan menangkap masa mudaku sendiri; seolah masa itu belum jauh berlalu. Bukankah buat pertama kali dulu aku ketemu ibumu semasih gadis, dekat sumur tua di sudut ladang? Aku tengah mandi telanjang bulat ketika itu, dan lupa, ada gadis lewat.

“Mama, Mama. Mama dulu juga tertarik waktu aku…”
“Bukan begitu, Pa. Tengoklah. Semakin dewasa, Bobby makin menyerupai dirimu. Wataknya, kebiasaannya. Juga kulitnya, Pa.” Aku mengerti maksud ibumu. Kulit badanmu sekarang langsat, Nak, seperti kulitku dan mamamu. Tidak terlalu putih lagi. Langsat indah. O, terimakasih. Terimakasih matahari khatulistiwa, yang membentuk tubuh kekar putraku, memberikan kulit langsat pada si buyung sayang!

*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Hana N.S A. Iwan Kapit A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aa Sudirman Abd. Basid Abdul Aziz Rasjid Abdul Ghofar Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Muid Badrun Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdullah Ubaid Matraji Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abonk El ka’bah Acep Zamzam Noor Ach. Nurcholis Majid Achmad Farid Tuasikal Achmad Maulani Adi Faridh Adi Marsiela Adi Sucipto Adian Husaini Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrian Ramdani AF. Tuasikal Afnan Malay Afrizal Malna AG Hadzarmawit Netti AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Majestika Aguk Irawan M.N. Agung Prihantoro Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R Sarjono Agus S Warman Agus Sri Danardana Agus Sulton Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Rafiq Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syafii Maarif Ahmad Taufik Ahmad Thohari Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Al-Fairish Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Ali Irwanto Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Alvi Puspita Amang Mawardi Ambarukminingsih Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Amirullah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andhi Setyo Wibowo Andik Nurcahyo AndongBuku #3 Andry Deblenk Anindita S. Thayf Aning Ayu Kusuma Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anwari WMK Aprillia Ika Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Arif Firmansyah Arifun Najib Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arys Hilman Asarpin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asri Bariqah Awalludin GD Mualif Azumardi Azra Azyumardi Azra Baca Puisi Badaruddin Amir Balada Bambang kempling Bambang Satriya Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benni Indo Benny Benke Benny D Koestanto Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Koran Bernada Rurit Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Palopo Budi Purnomo Buldanul Khuri Bunda Zakyzahra Tuga Bungaran Antonius Simanjuntak Candrakirana Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Che Guevara Coronavirus Cover Buku Kritik Sastra Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi II Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi IV Cover Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi V D. Zawawi Imron Dadan Maula Darmawan Dadang Ari Murtono Dahlan Kong Damanhuri Zuhri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Dedykalee Deni Ali Setiono Deni Jazuli Denny Ardiansyah Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan Dewi Indah Sari Dhanu Priyo Prabowo di Bluri di Karangasem Dian Sukarno Diana AV Sasa Diana Ifrina Ernawati Dinas Komunikasi dan Informatika Prov. Jatim Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dini Tri Dinoroy M. Aritonang Dion Maulana Prasetya Diskusi buku Djaka Susila Djenar Maesa Ayu Djesna Winada Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Budiono Herusatoto Drs H Choirul Anam Drum Band MI Miftahul Ulum (Kuluran) Dudi Rustandi Dunia Penerbitan Indonesia Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Nikmatika Roma Dwi Pranoto Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddy D. Iskandar Edeng Syamsul Ma’arif Edi Faisol Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elly Burhaini Faizal Elly Trisnawati Ellyn Novellin Emerson Yuntho Emha Ainun Nadjib Emil WE Endang Supriyadi Endi Haryono Endri Y Erdogan Esai Esha Tegar Putra Esme Fadliha Etik Widya Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fadjriah Nurdiarsih Fahmi Fahrudin Nasrulloh Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faris Al Faisal Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Felix K. Nesi Festival Mocosik Festival Seni Internasional 2010 Yogyakarta Festival Seni Internasional 2014 Yogyakarta Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan festivalsenisurabaya.com Fikri. MS Firdawsi Fortus Pake Forum Lingkar Pena Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Foto Franditya Utomo Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Magnis-Suseno Friski Riana Fuad Hasan Nasihin Fuji Pratiwi Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawa Gede Mugi Raharja Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gedung Sangbala Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gito Waluyo Goenawan Mohamad Golput Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma’ruf Amin Gus Dur H Ikhsan Effendi H. Usep Romli H.M H.B. Jassin H.O.S Cokroaminoto Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Hadi Napster Hadziq Jauhary Halim H.D. Halimatussa’diyah Hamberan Syahbana Hamluddin Hana Pertiwi Hanif Nashrullah Hardono Haris del Hakim Haris Firdaus Haris Priyatna Haris Saputra Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Basri Hasan Junus Hasanuddin WS Hasnan Bachtiar Helmi Y Haska Helmy Tasaufy Hera Khaerani Herdiyan Heri C Santoso Heri Latief Herman Herman Hasyim Herman RN Herry Lamongan Herry Mardianto Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Homaedi I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I Wayan Seriyoga Parta IBM. Dharma Palguna Ibnu PS Megananda Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Mustofa Imam Nawawi Imam Qodim Al-Haromain Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Imelda Imron Arlado Imron Rosidi Imron Rosyid Imron Tohari Indrian Koto Ingki Rinaldi Ipik Tanoyo Ire Irvan Sihombing Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismet NM Haris Ismi Wahid Isnanur Janah Iswadi Pratama Isyana Artharini Iwan Nurdaya-Djafar Iwank Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Janual Aidi Javed Paul Syatha Jazzi Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jembatan Kuno Yang Misterius Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Jodhi Yudono Jogjanews.com John Joseph Sinjal Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Paket Hemat Juara Ke 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jumartono Jurnalisme Sastra Jusuf A.N K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.Y. Karnanta Kadjie Mudzakir Kaheesa Kirania Putri Ayu Kang Daniel Kapal Nabi Nuh Karanggeneng Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kautsar Muhammad Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) KH Abdul Ghofur KH Bisri Syansuri KH. Abdul Aziz Masyhuri KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khoirul Abidin Khoirul Inayah Ki Ompong Sudarsono Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kika Dhersy Putri Kitab Arbain Nawawi KITLV Koh Young Hun Koko Sudarsono Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopi Sunan Drajat Kopuisi Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Krisman Kaban Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kulonprogo Kurnia Effendi Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswinarto L Ridwan Muljosudarmo Laboratorium Sinematografi dan Pertunjukan UNISDA Lamongan Lagu Lailiyatis Sa'adah Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Sarmili Literasi Liza Wahyuninto Lugiena De Lukas Adi Prasetyo Lukisan Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lusia Kus Anna Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Lutfi M. Mushthafa M. Romandhon M. Sunyoto M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M’Shoe Made Geria Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahrus eL-Mawa Majelis Ulama Indonesia Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcus Suprihadi Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Maruli Tobing Mashuri Masuki M. Astro Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Wulan Medco Media Lamongan Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Meka Nitrit Kawasari Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka MI Thoriqotul Hidayah Pilang 1 Mia Arista Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Miftahul A’la Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Ghufron Cholid Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Samsul Arifin Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Ali Athwa Mohammad Eri Irawan Mohammad Rafi Azzamy MTs Putra-Putri Simo Sungelebak Muh Kholid A.S Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Amin Muhammad Arif Muhammad Aris Muhammad Eko Nugroho Muhammad Hidayat Muhammad Muhibbuddin Muhammad Musa Muhammad N. Hassan Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mukafi Niam Mukhsin Amar Mulyani Hasan Mulyo Sunyoto Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Munawir Aziz Muntamah Cendani Musfarayani Musfi Efrizal N. Syamsuddin CH. Haesy Nadine Tri Duhita Naim Nanang Suryadi Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Nara Nazaruddin Azhar Neli Triana Ngatini Rasdi Nh. Anfalah Ni Luh Made Pertiwi F Ni Made Frischa Aswarini Ninuk Mardiana Pambudy Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noval Jubbek Noval Maliki Novel Novel Pekik Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Hayati Nur Kholiq Nur Kholis Huda Nurani Soliha Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Ochi Oil on Canvas Oky Sanjaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Paciran Pameran Seni Rupa Pangkah Kulon Ujungpangkah Gresik Panji Satrio Patung Sphinx PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan 2020 Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit Progresif Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Peringatan Hari Santri TPQ Al-Hidayah 22 Oktober 2017 Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren Sunan Drajat Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Pilang Tejoasri Lamongan Jawa Timur Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Pendopo Watu Bodo Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prosa Proses Kreatif Puisi Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka GU Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. N. Bayu Aji R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rafita Dewi Rahmah Maulidia Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rameli Agam Rana Akbari Raras Cahyafitri Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Revdi Iwan Syahputra Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Ridlwan Ridwan Munawwar Riki Utomi Rinny Srihartiny Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robert Adhi Kusumaputra Robin Al Kautsar Roby Karokaro Rodli TL Rof Maulana Rofiqi Hasan Rojiful Mamduh Rokhim Sarkadek Rosdiansyah Rosi Rosidi Rudi S. Kalianda Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rx King Motor S Jai S Yoga S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Sabrina Asril Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salim Alatas Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saratri Wilonoyudho Sari Oktafiana Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sejarah SelaSastra SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang Selvie Monica S Sendang Duwur Tahun 1920 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Shohebul Umam JR Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sifa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simon Saragih Sirikit Syah Siti Muti’ah Setiawati Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Slavoj Zizek Soelistijono Soetanto Soepiadhy Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Sohirin Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Mulyani Sri Wintala Achmad ST Indrajaya Stanley Adi Prasetyo Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sudirman Hasan Sugeng Ariyadi Sugeng Wiyadi Sugiarto Sugito Wira Yuda Suhartono Sujatmiko Sukardi Rinakit Sukitman Sumenep Sunarno Wibowo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susie Evidia Y Sutamat Arybowo Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Suyatmin Widodo Svet Zakharov Syaf Anton Wr Syaiful Bahri Syaiful Irba Tanpaka Syaiful Mustaqim Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syi'ir Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tanjung Kodok Tahun 1947 Tasman Banto Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Ganast MAN Lamongan Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Sakalintang Teater Sangbala Teater Sundra Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tewol Teater Tewol Lamongan Teguh LR Teguh Winarsho AS Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thamrin Dahlan Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute (IHI) Thohir Thompson Hs Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto To Take Delight Toni Munajat Tosa Poetra Tri Andhi S Tri Wahono Trisno S. Sutanto Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Unieq Awien Universitas Airlangga Surabaya Universitas Jember Untung Basuki Ustadz Charis Bangun Samudra Utami Diah Kusumawati Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Wahyu Aji Wahyudi Zuhro Wan Anwar Warjati Suharyono Wawan Eko Yulianto Wawan Hudiyanto Wawancara Wayan Sunarta Welly Suryandoko Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yanuar Jatnika Yanuar Yachya Yaumu Roikha Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yerusalem Ibu Kota Palestina Yesi Devisa YF La Kahija Yogyo Susaptoyono Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudi Latief Yuli Yuni Ikawati Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zahrotun Nafila Zaim Uchrowi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimras Zen Hae Zuhdi Swt