Saratri Wilonoyudho
http://www.jawapos.com/
Dugaan perusakan situs Majapahit di Trowulan, Mojokerto, menjadi perhatian utama dalam dua hari terakhir ini. Sebagai orang yang jauh dari lokasi, saya juga tidak tahu pasti soal kebenaran tuduhan itu.
Yang ingin ditegaskan dalam artikel ini adalah pertanyaan singkat mengapa intelektual -terutama dari jurusan sejarah dan arkeologi- dari beberapa universitas yang selama ini begitu garang berdemo untuk urusan politik justru diam jika masalah yang terjadi berkaitan dengan nilai-nilai ilmu pengetahuan yang menjadi fokus kajiannya saat ini? Padahal, situasi perusakan situs Majapahit diberitakan ''mengerikan".
Kita sering tercenung, mengapa ketika, misalnya, ada isu lemak babi dalam makanan tertentu, demo yang terjadi begitu heroik. Sebaliknya, jika ada kasus pembalakan hutan atau perusakan lingkungan, mereka diam saja.
Dari titik itu, seolah ada pemisahan antara hal-hal yang bersifat ''ibadah" ritual dan kehidupan sehari-hari serta pemisahan antara urusan dunia dan urusan akhirat. Demikian pula, para ilmuwan dari perguruan tinggi seolah bersembunyi dengan ancaman terhadap sumber-sumber sejarah dan ilmu pengetahuan itu, sebaliknya jika ada isu politik.
Fakta tersebut barangkali bisa ditafsirkan, masyarakat ilmiah yang selama ini tekun di kampus hanya menghadapi ''ritual" pencarian ijazah dan tidak sedang mencari nilai-nilai kebenaran ilmu pengetahuan, apalagi mengembangkan dan menemukan. Logikanya, jika ''mainan" utamanya dirusak, seorang anak akan menangis, bahkan bisa mengamuk.
Situs Trowulan adalah aset sejarah yang nilai-nilai di dalamnya luar biasa besar karena Majapahit merupakan kerajaan penting di tanah air yang membawa misi besar. Situs itu mestinya menjadi salah satu ''mainan" para (calon) ilmuwan sejarah dan arkeologi.
Menyita Perhatian
Dalam lingkup yang lebih luas, konsep konservasi bangunan-bangunan kuno seperti situs Trowulan itu sudah banyak menyita perhatian pakar dan peminat masalah-masalah sejarah, perkotaan, dan sebagainya. Lebih dari seratus tahun lalu, William Morris mendirikan lembaga pelestarian bangunan kuno, Society for the Protection of Ancient Buildings 1877.
Jauh sebelum itu pada 1700, Vanbrughh selaku arsitek dari Istana Blenheim, Inggris, juga telah mencetuskan konsep konservasi, namun belum melembaga. Baru pada 1882, peraturan dan perundang-undangan yang melandasi pengawasan dalam konservasi bangunan kuno terbentuk, yakni berwujud Ancient Monument Act. Sedang untuk Indonesia, peraturan tersebut tertuang dalam Monumenten Ordonantie stbl.238/1931 warisan kolonial Belanda.
Dalam Monumenten Ordonantie tersebut (disingkat M.O.1931) disebutkan, dalam pasal 1 yang dianggap sebagai monumen adalah benda-benda bergerak maupun tidak bergerak yang dibuat tangan manusia, bagian atau kelompoknya, dan juga sisa-sisa dari benda-benda tersebut, yang pokoknya berusia 50 tahun atau memiliki masa langgam yang sedikitnya berumur 50 tahun dan dianggap mempunyai nilai penting bagi prasejarah, sejarah, atau kesenian; benda-benda yang dianggap mempunyai nilai penting dipandang dari sudut palaeoanthropologi; situs yang mempunyai petunjuk kuat dasarnya bahwa di dalamnya terdapat benda-benda yang dimaksud pada a) dan b) di atas.
Situs Majapahit jelas masuk dalam objek pelestarian. Selain itu, benda-benda yang bernilai arkeologis, seperti dokumen tertulis, lukisan, patung, perabot, kemudian meningkat ke bangunan candi, benteng, gua, dan sebagainya. Namun pada akhirnya, konsep konservasi tersebut terus berkembang, yakni tidak hanya menyangkut peninggalan-peninggalan arkeologis, namun juga lingkungan, taman, dan kota.
Semua itu merupakan refleksi dan jati diri peradaban masyarakat yang pada tahap berikutnya diharapkan mampu memacu perkembangan sebuah kota agar tetap selaras dengan lingkungannya tersebut.
Mengembalikan Wajah
Upaya konservasi situs Trowulan tidak lepas dari kegiatan perlindungan dan penataan untuk keperluan: Mengembalikan wajah dari objek pelestarian, memanfaatkan peninggalan objek pelestarian yang ada untuk menunjang kehidupan masa kini, mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan perencanaan masa lalu yang tecermin dalam objek pelestarian tersebut, menampilkan sejarah pertumbuhan sebuah bangsa dalam wujud fisik tiga dimensi.
Tentu saja, meski kriteria tersebut telah disepakati secara umum, tidak tertutup kemungkinan ada kesepakatan lain yang diambil pihak-pihak terkait atau pihak yang berkepentingan dari ahli sejarah, ahli arkeologi birokrat, atau aparat pemerintah daerah.
Namun yang jelas, kesepakatan tersebut perlu dilandasi motivasi-motivasi, seperti motivasi untuk mempertahankan budaya nenek moyang atau warisan sejarah, motivasi untuk menjamin terwujudnya variasi dalam bangunan perkotaan sebagai tuntutan aspek estetis dan variasi budaya masyarakat, serta motivasi ekonomis yang menganggap bangunan-bangunan yang dilestarikan tersebut dapat meningkatkan nilainya apabila dipelihara sehingga memiliki nilai komersial sebagai modal lingkungan.
Selain itu, ada motivasi simbolis. Maksudnya, bangunan-bangunan tersebut merupakan manifestasi fisik dari identitas suatu kelompok masyarakat tertentu yang pernah menjadi bagian dari bangsa ini. Konservasi dilandasi atas penghargaan terhadap keadaan semula dari suatu tempat dan mengusahakan sesedikit mungkin untuk melakukan intervensi fisik terhadap bangunannya. Tuntutan itu dimaksudkan agar bukti-bukti sejarah yang dimilikinya tidak berubah.
Sketsa singkat di atas mestinya menjadi perhatian serius pemerintah mengenai untung rugi membangun satu gedung baru di atas situs yang tak ternilai harganya tersebut.
*) Dosen pada Universitas Negeri Semarang.
http://www.jawapos.com/
Dugaan perusakan situs Majapahit di Trowulan, Mojokerto, menjadi perhatian utama dalam dua hari terakhir ini. Sebagai orang yang jauh dari lokasi, saya juga tidak tahu pasti soal kebenaran tuduhan itu.
Yang ingin ditegaskan dalam artikel ini adalah pertanyaan singkat mengapa intelektual -terutama dari jurusan sejarah dan arkeologi- dari beberapa universitas yang selama ini begitu garang berdemo untuk urusan politik justru diam jika masalah yang terjadi berkaitan dengan nilai-nilai ilmu pengetahuan yang menjadi fokus kajiannya saat ini? Padahal, situasi perusakan situs Majapahit diberitakan ''mengerikan".
Kita sering tercenung, mengapa ketika, misalnya, ada isu lemak babi dalam makanan tertentu, demo yang terjadi begitu heroik. Sebaliknya, jika ada kasus pembalakan hutan atau perusakan lingkungan, mereka diam saja.
Dari titik itu, seolah ada pemisahan antara hal-hal yang bersifat ''ibadah" ritual dan kehidupan sehari-hari serta pemisahan antara urusan dunia dan urusan akhirat. Demikian pula, para ilmuwan dari perguruan tinggi seolah bersembunyi dengan ancaman terhadap sumber-sumber sejarah dan ilmu pengetahuan itu, sebaliknya jika ada isu politik.
Fakta tersebut barangkali bisa ditafsirkan, masyarakat ilmiah yang selama ini tekun di kampus hanya menghadapi ''ritual" pencarian ijazah dan tidak sedang mencari nilai-nilai kebenaran ilmu pengetahuan, apalagi mengembangkan dan menemukan. Logikanya, jika ''mainan" utamanya dirusak, seorang anak akan menangis, bahkan bisa mengamuk.
Situs Trowulan adalah aset sejarah yang nilai-nilai di dalamnya luar biasa besar karena Majapahit merupakan kerajaan penting di tanah air yang membawa misi besar. Situs itu mestinya menjadi salah satu ''mainan" para (calon) ilmuwan sejarah dan arkeologi.
Menyita Perhatian
Dalam lingkup yang lebih luas, konsep konservasi bangunan-bangunan kuno seperti situs Trowulan itu sudah banyak menyita perhatian pakar dan peminat masalah-masalah sejarah, perkotaan, dan sebagainya. Lebih dari seratus tahun lalu, William Morris mendirikan lembaga pelestarian bangunan kuno, Society for the Protection of Ancient Buildings 1877.
Jauh sebelum itu pada 1700, Vanbrughh selaku arsitek dari Istana Blenheim, Inggris, juga telah mencetuskan konsep konservasi, namun belum melembaga. Baru pada 1882, peraturan dan perundang-undangan yang melandasi pengawasan dalam konservasi bangunan kuno terbentuk, yakni berwujud Ancient Monument Act. Sedang untuk Indonesia, peraturan tersebut tertuang dalam Monumenten Ordonantie stbl.238/1931 warisan kolonial Belanda.
Dalam Monumenten Ordonantie tersebut (disingkat M.O.1931) disebutkan, dalam pasal 1 yang dianggap sebagai monumen adalah benda-benda bergerak maupun tidak bergerak yang dibuat tangan manusia, bagian atau kelompoknya, dan juga sisa-sisa dari benda-benda tersebut, yang pokoknya berusia 50 tahun atau memiliki masa langgam yang sedikitnya berumur 50 tahun dan dianggap mempunyai nilai penting bagi prasejarah, sejarah, atau kesenian; benda-benda yang dianggap mempunyai nilai penting dipandang dari sudut palaeoanthropologi; situs yang mempunyai petunjuk kuat dasarnya bahwa di dalamnya terdapat benda-benda yang dimaksud pada a) dan b) di atas.
Situs Majapahit jelas masuk dalam objek pelestarian. Selain itu, benda-benda yang bernilai arkeologis, seperti dokumen tertulis, lukisan, patung, perabot, kemudian meningkat ke bangunan candi, benteng, gua, dan sebagainya. Namun pada akhirnya, konsep konservasi tersebut terus berkembang, yakni tidak hanya menyangkut peninggalan-peninggalan arkeologis, namun juga lingkungan, taman, dan kota.
Semua itu merupakan refleksi dan jati diri peradaban masyarakat yang pada tahap berikutnya diharapkan mampu memacu perkembangan sebuah kota agar tetap selaras dengan lingkungannya tersebut.
Mengembalikan Wajah
Upaya konservasi situs Trowulan tidak lepas dari kegiatan perlindungan dan penataan untuk keperluan: Mengembalikan wajah dari objek pelestarian, memanfaatkan peninggalan objek pelestarian yang ada untuk menunjang kehidupan masa kini, mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan perencanaan masa lalu yang tecermin dalam objek pelestarian tersebut, menampilkan sejarah pertumbuhan sebuah bangsa dalam wujud fisik tiga dimensi.
Tentu saja, meski kriteria tersebut telah disepakati secara umum, tidak tertutup kemungkinan ada kesepakatan lain yang diambil pihak-pihak terkait atau pihak yang berkepentingan dari ahli sejarah, ahli arkeologi birokrat, atau aparat pemerintah daerah.
Namun yang jelas, kesepakatan tersebut perlu dilandasi motivasi-motivasi, seperti motivasi untuk mempertahankan budaya nenek moyang atau warisan sejarah, motivasi untuk menjamin terwujudnya variasi dalam bangunan perkotaan sebagai tuntutan aspek estetis dan variasi budaya masyarakat, serta motivasi ekonomis yang menganggap bangunan-bangunan yang dilestarikan tersebut dapat meningkatkan nilainya apabila dipelihara sehingga memiliki nilai komersial sebagai modal lingkungan.
Selain itu, ada motivasi simbolis. Maksudnya, bangunan-bangunan tersebut merupakan manifestasi fisik dari identitas suatu kelompok masyarakat tertentu yang pernah menjadi bagian dari bangsa ini. Konservasi dilandasi atas penghargaan terhadap keadaan semula dari suatu tempat dan mengusahakan sesedikit mungkin untuk melakukan intervensi fisik terhadap bangunannya. Tuntutan itu dimaksudkan agar bukti-bukti sejarah yang dimilikinya tidak berubah.
Sketsa singkat di atas mestinya menjadi perhatian serius pemerintah mengenai untung rugi membangun satu gedung baru di atas situs yang tak ternilai harganya tersebut.
*) Dosen pada Universitas Negeri Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar