Aguslia Hidayah
http://www.tempointeraktif.com/
TEMPO Interaktif, Jakarta: Jakarta tak pernah habis dikritik. Mulai dari tata ruang kota, sampah, hingga kondisi sosial masyarakatnya. Delapan fotografer perempuan juga mengkritik Jakarta lewat foto-fotonya yang dipamerkan di Taman Ismail Marzuki, 3-7 Desember 2008.
Pameran yang dibungkus dalam tajuk "Ruang Perempuan" ini diikuti oleh Aiko Urfia Rakhmi, Ruth Hesti Utami, Christina Phan, Evelyn Pritt, Julia Sarisetiati, Keke Tumbuan, Malahayati, dan Stephany Sungkharisma. Pameran ini diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Arena Jakarta Biennale XIII 2009.
Kritik pedas tertuang dalam karya Ruth Hesti Utami lewat judul Jakartarian. Juru foto kelahiran Solo ini melihat Jakarta sebagai kota yang dipenuhi "orang sakit". Ia melihat tak ada lagi kepedulian atau uluran tangan antarsesama karena individualistis yang tinggi.
Fotonya bercerita tentang tiga orang dengan perban membalut kepala tengah menatap Jakarta di waktu senja dengan arah yang berlainan. Perban yang membalut merupakan wujud penduduk kota yang "sakit".
Christina Phan bercerita tentang kesepian di kota padat penduduk ini. Karyanya selalu menghadirkan sudut kota Jakarta yang sepi. Pinggir jalan raya yang lowong, pintu lift yang tertutup, telepon koin yang sepi, dan gedung pencakar langit yang senyap di malam hari.
Christina beranggapan banyak orang yang lupa bahwa hidup masih bisa berubah. "Semua itu hanya sementara, karena harapan selalu ada sejalan dengan bergantinya hari," tulisnya dalam teks yang ditempel di samping foto.
Sebaliknya, Julia Sarisetiati menyuguhkan situasi Jakarta yang ramai. Lihatlah Jalan Bundaran Hotel Indonesia, begitu juga langitnya. Di sana banyak tas-tas belanjaan dengan puluhan merek yang berjatuhan dari langit dilengkapi dengan peralatan terjung payung. Julia menyindir gaya konsumtif masyarakat kota yang berlebihan terhadap merek tertentu.
Keke Tumbuan menampilkan karyanya yang berjudul Made In Catalog, sedangkan Malahayati mengabadikan graffiti yang mewarnai dinding pinggir kota. Sementara itu Stephany mencoba bermain-main ilustrasi dengan menggunakan benda dan bagian tubuh.
Kurator pameran, Oscar Motuloh, melihat pameran ini sebagai rangkuman dari sejumlah persoalan yang dekat dengan para fotografer. "Sebagai refleksi atas keberadaan mereka (peserta pameran) yang menjadi bagian dari kota," tulisnya dalam katalog.
Hal itu bisa dilihat pada karya Evelyn Pritt yang mengajukan kritik tentang mahalnya tanah di Jakarta lewat jepretan sisa reruntuhan bangunan apartemen. Atau karya Aiko yang menggunakan medium maneken sebagai subyek fotonya. Ia tengah berbicara tentang seni yang terpendam di tiap diri manusia.
http://www.tempointeraktif.com/
TEMPO Interaktif, Jakarta: Jakarta tak pernah habis dikritik. Mulai dari tata ruang kota, sampah, hingga kondisi sosial masyarakatnya. Delapan fotografer perempuan juga mengkritik Jakarta lewat foto-fotonya yang dipamerkan di Taman Ismail Marzuki, 3-7 Desember 2008.
Pameran yang dibungkus dalam tajuk "Ruang Perempuan" ini diikuti oleh Aiko Urfia Rakhmi, Ruth Hesti Utami, Christina Phan, Evelyn Pritt, Julia Sarisetiati, Keke Tumbuan, Malahayati, dan Stephany Sungkharisma. Pameran ini diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Arena Jakarta Biennale XIII 2009.
Kritik pedas tertuang dalam karya Ruth Hesti Utami lewat judul Jakartarian. Juru foto kelahiran Solo ini melihat Jakarta sebagai kota yang dipenuhi "orang sakit". Ia melihat tak ada lagi kepedulian atau uluran tangan antarsesama karena individualistis yang tinggi.
Fotonya bercerita tentang tiga orang dengan perban membalut kepala tengah menatap Jakarta di waktu senja dengan arah yang berlainan. Perban yang membalut merupakan wujud penduduk kota yang "sakit".
Christina Phan bercerita tentang kesepian di kota padat penduduk ini. Karyanya selalu menghadirkan sudut kota Jakarta yang sepi. Pinggir jalan raya yang lowong, pintu lift yang tertutup, telepon koin yang sepi, dan gedung pencakar langit yang senyap di malam hari.
Christina beranggapan banyak orang yang lupa bahwa hidup masih bisa berubah. "Semua itu hanya sementara, karena harapan selalu ada sejalan dengan bergantinya hari," tulisnya dalam teks yang ditempel di samping foto.
Sebaliknya, Julia Sarisetiati menyuguhkan situasi Jakarta yang ramai. Lihatlah Jalan Bundaran Hotel Indonesia, begitu juga langitnya. Di sana banyak tas-tas belanjaan dengan puluhan merek yang berjatuhan dari langit dilengkapi dengan peralatan terjung payung. Julia menyindir gaya konsumtif masyarakat kota yang berlebihan terhadap merek tertentu.
Keke Tumbuan menampilkan karyanya yang berjudul Made In Catalog, sedangkan Malahayati mengabadikan graffiti yang mewarnai dinding pinggir kota. Sementara itu Stephany mencoba bermain-main ilustrasi dengan menggunakan benda dan bagian tubuh.
Kurator pameran, Oscar Motuloh, melihat pameran ini sebagai rangkuman dari sejumlah persoalan yang dekat dengan para fotografer. "Sebagai refleksi atas keberadaan mereka (peserta pameran) yang menjadi bagian dari kota," tulisnya dalam katalog.
Hal itu bisa dilihat pada karya Evelyn Pritt yang mengajukan kritik tentang mahalnya tanah di Jakarta lewat jepretan sisa reruntuhan bangunan apartemen. Atau karya Aiko yang menggunakan medium maneken sebagai subyek fotonya. Ia tengah berbicara tentang seni yang terpendam di tiap diri manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar