Arys Hilman
http://republika.co.id/
Berapakah batas ideal jumlah penduduk sebuah kota? Tiga puluh lima tahun lalu, EF Schumacher menjawab,''Setengah juta orang.'' Inilah, bagi dia, angka yang memenuhi idealnya tentang ''kecil itu indah''.
Bagaimana kalau penduduk kota lebih dari itu? Baginya, takkan ada manfaat tambahan lagi. Schumacher menyebut kota-kota besar seperti London, Tokyo, atau New York berpenduduk jutaan orang; dan jumlah besar itu tak menambah nilai apapun selain menimbulkan masalah yang amat besar dan kemerosotan martabat manusia.
Tahukah Anda, jauh sebelum teori ''kecil itu indah'' dari Schumacher lahir, Jakarta pun dirancang untuk setengah juta orang. Demikian baiknya rancangan kota ini sampai sebuah kota pelabuhan di Swedia, Gotheborg, merasa layak untuk menjiplaknya.
Belasan juta orang memenuhi Jakarta di siang hari kini. Maka, hilanglah keindahan. Sementara, Gotheborg tetap seperti sedia kala. Walau merupakan kota industri yang maju, antara lain menjadi pusat pembuatan mobil terkemuka Volvo dan alat komunikasi Ericsson, kota ini tetap berpenduduk setengah juta.
Anehnya, pemujaan ukuran raksasa dalam pertumbuhan Jakarta justru tumbuh dari teknologi sistem angkutan dan komunikasi. Dalam tesis Schumacher, kedua teknologi mengakibatkan orang-orang tidak terikat (footloose). Padahal, tak seperti Gotheborg, Jakarta bukanlah kiblat kedua teknologi itu. Jadi, Jakarta hanyalah konsumen.
Berjuta-juta orang pindah meninggalkan desa dan kota-kota kecil menuju kota besar di negeri ini. Kita menjiplak benar fenomena lama Amerika Serikat tentang kota yang tak cukup lagi sekadar metropolis dan beramai-ramai menjadi megalopolis.
Amerika menyusun tiga megalopolis: yang pertama terbentang dari Boston ke Washington; yang kedua di sekitar Chicago; yang ketiga dari San Fransisco ke San Diego di Pantai Barat. Di ketiga megalopolis ini, jumlah total penduduk mencapai 200 juta orang. Daerah-daerah di luar itu boleh dikatakan kosong, kota-kota kecil tak berpenghuni.
Bagaimana dengan kita? Kita pun telah membuat megalopolis, sebuah kota terpanjang di dunia, bernama Jawa. Tak ada arus terputus sepanjang ruas dari Merak hingga Banyuwangi; kendaraan mengalir siang malam. Jumlah penduduknya separuh penduduk negara ini.
Apa yang terjadi kemudian? Sebuah kekacauan struktur. Dulu struktur ini tumbuh alamiah karena ikatan yang kuat dalam masyarakat kecilnya. Kini semua terurai. Anda bisa masuk dan keluar Jakarta tanpa seorang pun menyadari. Orang-orang menganggap ini melahirkan kebebasan padahal sebenarnya juga menghancurkan kebebasan karena segala sesuatu menjadi rapuh dan mengancam.
Orang-orang dari desa melepaskan ikatan pada akar mereka, mencoba namun gagal mendapatkan ikatan baru di Jakarta. Lahirlah masalah-masalah seperti meruyaknya para gelandangan--kaum ''drop out'' dalam istilah Schumacher. Lahirlah masyarakat rangkap tanpa kesatupaduan yang mudah goncang.
Ukuran besarlah yang kini mengguncang dunia. Korporasi-korporasi raksasa sudah sedemikian sulit mengontrol diri dan kehilangan ikatan. Satu-satunya panduan adalah para CEO bergaji raksasa yang selalu menganggap bahwa keraksasaan adalah satu-satunya gerbang efisiensi; bahwa organisasi besar adalah jalan menuju kemakmuran.
Padahal, organisasi besar mengakibatkan sindrom kontrol jarak jauh. Inilah yang terjadi dalam The Castle, novel Frank Kafka, saat Tuan K diangkat menjadi juru ukur tanah oleh pemerintah. Tak seorang pun tahu untuk apa ia diangkat dan tak ada yang membutuhkannya.
Tuan K tak pernah benar-benar bekerja, tapi ia tetap mendapatkan surat dari Istana, ''Dengan ini kami memberikan pengargaan atas pekerjaan yang telah Saudara laksanakan ... Jangan patah semangat. Teruslah bekerja sampai tugas selesai ... Kami tidak akan melupakan Saudara.''
Rancangan besar dunia, dengan para arsitek dari World Bank dan IMF, telah melahirkan situasi The Castle modern, sebuah kastil besar pembangunan dunia. Sejak awal kelahirannya dalam Konferensi Bretton Woods, keduanya selalu identik dengan proyek-proyek besar, seperti pembangunan bendungan.
Di Afrika, alih-alih memodernkan masyarakat, rancangan mereka memicu masalah besar. Resep-resep generik untuk menciptakan berbagai ukuran raksasa telah meningkatkan jumlah pekerja di kantor presiden Kenya dari 18.213 pada 1971 menjadi 43.230 pada 1990. Kita bisa menduga, betapa banyak ''tuan K'' yang lahir akibat rancangan tersebut.
http://republika.co.id/
Berapakah batas ideal jumlah penduduk sebuah kota? Tiga puluh lima tahun lalu, EF Schumacher menjawab,''Setengah juta orang.'' Inilah, bagi dia, angka yang memenuhi idealnya tentang ''kecil itu indah''.
Bagaimana kalau penduduk kota lebih dari itu? Baginya, takkan ada manfaat tambahan lagi. Schumacher menyebut kota-kota besar seperti London, Tokyo, atau New York berpenduduk jutaan orang; dan jumlah besar itu tak menambah nilai apapun selain menimbulkan masalah yang amat besar dan kemerosotan martabat manusia.
Tahukah Anda, jauh sebelum teori ''kecil itu indah'' dari Schumacher lahir, Jakarta pun dirancang untuk setengah juta orang. Demikian baiknya rancangan kota ini sampai sebuah kota pelabuhan di Swedia, Gotheborg, merasa layak untuk menjiplaknya.
Belasan juta orang memenuhi Jakarta di siang hari kini. Maka, hilanglah keindahan. Sementara, Gotheborg tetap seperti sedia kala. Walau merupakan kota industri yang maju, antara lain menjadi pusat pembuatan mobil terkemuka Volvo dan alat komunikasi Ericsson, kota ini tetap berpenduduk setengah juta.
Anehnya, pemujaan ukuran raksasa dalam pertumbuhan Jakarta justru tumbuh dari teknologi sistem angkutan dan komunikasi. Dalam tesis Schumacher, kedua teknologi mengakibatkan orang-orang tidak terikat (footloose). Padahal, tak seperti Gotheborg, Jakarta bukanlah kiblat kedua teknologi itu. Jadi, Jakarta hanyalah konsumen.
Berjuta-juta orang pindah meninggalkan desa dan kota-kota kecil menuju kota besar di negeri ini. Kita menjiplak benar fenomena lama Amerika Serikat tentang kota yang tak cukup lagi sekadar metropolis dan beramai-ramai menjadi megalopolis.
Amerika menyusun tiga megalopolis: yang pertama terbentang dari Boston ke Washington; yang kedua di sekitar Chicago; yang ketiga dari San Fransisco ke San Diego di Pantai Barat. Di ketiga megalopolis ini, jumlah total penduduk mencapai 200 juta orang. Daerah-daerah di luar itu boleh dikatakan kosong, kota-kota kecil tak berpenghuni.
Bagaimana dengan kita? Kita pun telah membuat megalopolis, sebuah kota terpanjang di dunia, bernama Jawa. Tak ada arus terputus sepanjang ruas dari Merak hingga Banyuwangi; kendaraan mengalir siang malam. Jumlah penduduknya separuh penduduk negara ini.
Apa yang terjadi kemudian? Sebuah kekacauan struktur. Dulu struktur ini tumbuh alamiah karena ikatan yang kuat dalam masyarakat kecilnya. Kini semua terurai. Anda bisa masuk dan keluar Jakarta tanpa seorang pun menyadari. Orang-orang menganggap ini melahirkan kebebasan padahal sebenarnya juga menghancurkan kebebasan karena segala sesuatu menjadi rapuh dan mengancam.
Orang-orang dari desa melepaskan ikatan pada akar mereka, mencoba namun gagal mendapatkan ikatan baru di Jakarta. Lahirlah masalah-masalah seperti meruyaknya para gelandangan--kaum ''drop out'' dalam istilah Schumacher. Lahirlah masyarakat rangkap tanpa kesatupaduan yang mudah goncang.
Ukuran besarlah yang kini mengguncang dunia. Korporasi-korporasi raksasa sudah sedemikian sulit mengontrol diri dan kehilangan ikatan. Satu-satunya panduan adalah para CEO bergaji raksasa yang selalu menganggap bahwa keraksasaan adalah satu-satunya gerbang efisiensi; bahwa organisasi besar adalah jalan menuju kemakmuran.
Padahal, organisasi besar mengakibatkan sindrom kontrol jarak jauh. Inilah yang terjadi dalam The Castle, novel Frank Kafka, saat Tuan K diangkat menjadi juru ukur tanah oleh pemerintah. Tak seorang pun tahu untuk apa ia diangkat dan tak ada yang membutuhkannya.
Tuan K tak pernah benar-benar bekerja, tapi ia tetap mendapatkan surat dari Istana, ''Dengan ini kami memberikan pengargaan atas pekerjaan yang telah Saudara laksanakan ... Jangan patah semangat. Teruslah bekerja sampai tugas selesai ... Kami tidak akan melupakan Saudara.''
Rancangan besar dunia, dengan para arsitek dari World Bank dan IMF, telah melahirkan situasi The Castle modern, sebuah kastil besar pembangunan dunia. Sejak awal kelahirannya dalam Konferensi Bretton Woods, keduanya selalu identik dengan proyek-proyek besar, seperti pembangunan bendungan.
Di Afrika, alih-alih memodernkan masyarakat, rancangan mereka memicu masalah besar. Resep-resep generik untuk menciptakan berbagai ukuran raksasa telah meningkatkan jumlah pekerja di kantor presiden Kenya dari 18.213 pada 1971 menjadi 43.230 pada 1990. Kita bisa menduga, betapa banyak ''tuan K'' yang lahir akibat rancangan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar