Panji Satrio
http://www.suaramerdeka.com/
Program studi Bahasa dan Sastra Jepang tidak sebanyak ''bebek'' (sepeda motor) yang berseliweran di jalan. Bahkan alasan belajar bahasa Jepang pun terkadang tak masuk akal, misalnya kecanduan komik doraemon. Bagaimana peluang kerja setelah lulus?
SEPERTI kedatangan tentara Nipon (1942), banjir komik dan animasi produk Jepang ke Indonesia disambut dengan tangan terbuka. Jepang telah kembali ke Indonesia. Come back-nya ''saudara tua'' itu terpahat di deretan rak buku komik, tayangan film kartun, serta kendaraan yang berseliweran di jalan raya.
Prospek ekonomi dan peluang kerja ternyata tidak menjadi magnet utama calon mahasiswa. Pengaruh budaya, terutama animasi dan komik, justru lebih memantik gairah. Lulu Nur Azizah, sis-wa SMA Negeri 16 Sema-rang, mengaku tertarik belajar bahasa Jepang gara-gara kecanduan kucing ajaib Doraemon dan Detektif Conan.
Makanya, ketika sekolahnya menyelenggarakan pelajaran bahasa Jepang, ia pun antusias. ''Aku ingin membaca komik-komik Jepang dalam bahasa aslinya,'' ujarnya.
Pengamat sastra Jepang, Iwan Setiabudi SS, menyatakan hanya sebagian kecil mahasiswa bahasa Jepang yang ingin bekerja di Negeri Sakura. Dosen Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang itu menyatakan, kebanyakan justru dilatarbelakangi ''alasan-alasan remeh'', seperti hobi membaca komik atau menonton animasi produk Jepang.
Karakter komik dan animasi Jepang yang sederhana, dengan ciri mata yang bulat dan besar, memang digandrungi remaja. Tren inilah sumbu yang menghidupkan program studi kejepangan. ''Memang tidak booming seperti bahasa Mandarin. Namun peminatnya lumayan,'' jelasnya.
Lima Prodi
Sampai saat ini terdapat lima program studi kejepangan di perguruan tinggi di Indonesia. Yaitu Kajian Wilayah Jepang, Pendidikan Bahasa dan Sastra Jepang, Pendidikan Bahasa Jepang, Bahasa Jepang, serta Sastra Jepang.
Populasi dua prodi yang disebut terakhir relatif besar. Bahasa Jepang sebanyak 42 prodi, sedangkan Sastra Jepang 23 prodi. Tetapi kalau dibandingkan dengan derasnya impor produk Jepang, terutama di bidang otomotif, jumlah prodi itu terlampau kecil.
Bahkan di Jawa Tengah hanya ada satu perguruan tinggi yang membuka program studi Sastra Jepang (S1), yaitu Udinus. Sedang-kan prodi Bahasa Jepang (D3), berdasarkan data Ditjen Dikti, hanya dimiliki tujuh perguruan tinggi. Itu pun hanya empat yang aktif, yakni Universitas Diponegoro, Universitas Negeri Semarang (Unnes), STIBA 17 Agustus 1945 Semarang, dan Akaba RA Kartini Surakarta.
Menurut Iwan Setiabudi, Pemerintah Jepang berkepentingan menyebarkan bahasanya, karena mereka enggan mempelajari bahasa asing. Dalam dunia film, problem itu kentara.
Ia merujuk terpilihnya Zhang Ziyi, aktris kelahiran Beijing untuk membintangi Memoirs of Geisha. Film ini sempat mengundang kontroversi, karena tidak menggunakan aktor/aktris Jepang. Ternyata penyebabnya ''sepele'': sedikit sekali bintang film Jepang yang fasih berbahasa Inggris. Pada film Ba-bel, aktris Jepang Rinko Ki-kuchi juga berperan sebagai gadis bisu tuli.
Wajar jika Pemerintah Jepang proaktif membantu perguruan tinggi Indonesia melalui Japan Foundation (JF) dan Japan International Cooperation Agency (JICA). ''Mereka juga menyediakan sumber belajar serta mensponsori dosen untuk studi ke Jepang,'' tambah Iwan yang pernah tinggal di Kota Saitama, Jepang.
http://www.suaramerdeka.com/
Program studi Bahasa dan Sastra Jepang tidak sebanyak ''bebek'' (sepeda motor) yang berseliweran di jalan. Bahkan alasan belajar bahasa Jepang pun terkadang tak masuk akal, misalnya kecanduan komik doraemon. Bagaimana peluang kerja setelah lulus?
SEPERTI kedatangan tentara Nipon (1942), banjir komik dan animasi produk Jepang ke Indonesia disambut dengan tangan terbuka. Jepang telah kembali ke Indonesia. Come back-nya ''saudara tua'' itu terpahat di deretan rak buku komik, tayangan film kartun, serta kendaraan yang berseliweran di jalan raya.
Prospek ekonomi dan peluang kerja ternyata tidak menjadi magnet utama calon mahasiswa. Pengaruh budaya, terutama animasi dan komik, justru lebih memantik gairah. Lulu Nur Azizah, sis-wa SMA Negeri 16 Sema-rang, mengaku tertarik belajar bahasa Jepang gara-gara kecanduan kucing ajaib Doraemon dan Detektif Conan.
Makanya, ketika sekolahnya menyelenggarakan pelajaran bahasa Jepang, ia pun antusias. ''Aku ingin membaca komik-komik Jepang dalam bahasa aslinya,'' ujarnya.
Pengamat sastra Jepang, Iwan Setiabudi SS, menyatakan hanya sebagian kecil mahasiswa bahasa Jepang yang ingin bekerja di Negeri Sakura. Dosen Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) Semarang itu menyatakan, kebanyakan justru dilatarbelakangi ''alasan-alasan remeh'', seperti hobi membaca komik atau menonton animasi produk Jepang.
Karakter komik dan animasi Jepang yang sederhana, dengan ciri mata yang bulat dan besar, memang digandrungi remaja. Tren inilah sumbu yang menghidupkan program studi kejepangan. ''Memang tidak booming seperti bahasa Mandarin. Namun peminatnya lumayan,'' jelasnya.
Lima Prodi
Sampai saat ini terdapat lima program studi kejepangan di perguruan tinggi di Indonesia. Yaitu Kajian Wilayah Jepang, Pendidikan Bahasa dan Sastra Jepang, Pendidikan Bahasa Jepang, Bahasa Jepang, serta Sastra Jepang.
Populasi dua prodi yang disebut terakhir relatif besar. Bahasa Jepang sebanyak 42 prodi, sedangkan Sastra Jepang 23 prodi. Tetapi kalau dibandingkan dengan derasnya impor produk Jepang, terutama di bidang otomotif, jumlah prodi itu terlampau kecil.
Bahkan di Jawa Tengah hanya ada satu perguruan tinggi yang membuka program studi Sastra Jepang (S1), yaitu Udinus. Sedang-kan prodi Bahasa Jepang (D3), berdasarkan data Ditjen Dikti, hanya dimiliki tujuh perguruan tinggi. Itu pun hanya empat yang aktif, yakni Universitas Diponegoro, Universitas Negeri Semarang (Unnes), STIBA 17 Agustus 1945 Semarang, dan Akaba RA Kartini Surakarta.
Menurut Iwan Setiabudi, Pemerintah Jepang berkepentingan menyebarkan bahasanya, karena mereka enggan mempelajari bahasa asing. Dalam dunia film, problem itu kentara.
Ia merujuk terpilihnya Zhang Ziyi, aktris kelahiran Beijing untuk membintangi Memoirs of Geisha. Film ini sempat mengundang kontroversi, karena tidak menggunakan aktor/aktris Jepang. Ternyata penyebabnya ''sepele'': sedikit sekali bintang film Jepang yang fasih berbahasa Inggris. Pada film Ba-bel, aktris Jepang Rinko Ki-kuchi juga berperan sebagai gadis bisu tuli.
Wajar jika Pemerintah Jepang proaktif membantu perguruan tinggi Indonesia melalui Japan Foundation (JF) dan Japan International Cooperation Agency (JICA). ''Mereka juga menyediakan sumber belajar serta mensponsori dosen untuk studi ke Jepang,'' tambah Iwan yang pernah tinggal di Kota Saitama, Jepang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar