Editor : Ilham Safutra
Jawa Pos, 9 Juli 2020
Keuskupan Atambua memilih menyelesaikan persoalan dengan cara kekeluargaan. Felix Nesi masih dikenai wajib lapor.
Felix K. Nesi mengaku sudah pamitan ke orang tuanya. Bukan untuk pergi merantau, tapi untuk mendekam di penjara. ”Saya tidak masalah (jika harus masuk penjara, Red),” kata penulis novel Orang-Orang Oetimu itu ketika dihubungi Jawa Pos kemarin (8/7).
Di petisi online di change.org, hingga pukul 22.30 WIB tadi malam, sudah ada 584 orang yang mendukung pembebasannya. Tapi, Felix tak mau kasusnya hanya berakhir dengan kesepakatan damai. Dia tetap menuntut gereja berubah. Terutama terkait cara penanganan terhadap pastor yang bermasalah. Seperti Pastor A yang disebutnya di catatannya di Facebook yang ditulis saat dia diamankan Polsek Insana, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, pada Jumat (3/7) pekan lalu.
Felix diamankan setelah memecahkan kaca jendela dan merusak kursi Pastoran SMK Bitauni, tempat Pastor A bertugas. Itu setelah pihak pastoran tak kunjung memindahkan Pastor A dari sekolah yang muridnya semua perempuan tersebut. Dia tetap meminta keuskupan tidak seenaknya memindah-mindah pastor yang bermasalah. Khususnya bermasalah dengan perempuan. ”Mereka tidak belajar dari masa lalu,” ungkapnya.
Keuskupan Atambua yang menaungi SMK Bitauni butuh lima hari untuk buka suara tentang kasus tersebut. Kemarin Romo Paulus Nahak I membacakan surat resmi yang menjadi sikap keuskupan atas kasus yang menarik perhatian publik sejak Jumat pekan lalu itu. Tepatnya sejak Felix mengunggah peristiwa yang membuatnya menginap semalam di Mapolsek Insana tersebut lewat akun Facebook pribadinya.
Ada empat poin yang ditegaskan keuskupan dalam surat bertajuk Tanggapan Pihak Keuskupan Atambua itu. ”Bahwa proses hukum pidana yang baru dimulai terhadap Felix Nesi dan segala permasalahannya dapat diselesaikan secara kekeluargaan, dengan prinsip keterbukaan hati untuk mengungkap kebenaran demi mencapai keadilan dan perdamaian,” papar Paulus yang tercatat sebagai ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Atambua mengungkap salah satunya.
Felix mengaku lega gereja akhirnya memberikan tanggapan. Dia menegaskan bahwa dirinya dan keuskupan punya tujuan yang sama: menyelesaikan kasus tersebut secara damai.
Sebenarnya pihak pastoran pun terbuka untuk berdamai. Seperti kata Viktor Manbait, mediator kasus itu, proses mediasi terus berjalan. Pada Selasa sore (7/7), menurut Felix, Viktor yang ditemani Romo Agus dari pastoran mendatanginya. Mereka mengajak sastrawan 32 tahun itu ke keuskupan. ”Tapi, saya masih mau pikir dulu,” katanya.
Perwakilan SMK Bitauni Agustinus Natun menyatakan, proses penyelesaian kasus dugaan perusakan kaca jendela dan kursi milik Pastoran SMK Bitauni memang telah diambil alih pihak Keuskupan Atambua. Polsek Insana juga membenarkan hal tersebut. Felix juga masih dikenai wajib lapor.
”Ada permintaan dari kepala SMK Bitauni (yang berada di bawah naungan Keuskupan Atambua, Red) agar persoalan ini diselesaikan secara kekeluargaan. Namun, kami harus terus memantau agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan,” kata Kapolsek Insana Iptu Ketut Suta ketika dikonfirmasi Timor Express kemarin.
Apa yang membuat Felix tidak segera mengiyakan mediasi? Bukankah lebih cepat lebih baik? ”Saya mau. Tapi tidak di keuskupan. Di tempat yang netral saja,” harapnya.
Bagi lelaki yang akhir tahun lalu mendapatkan kesempatan dua bulan residensi di Belanda itu, mediasi di keuskupan tidak akan membuat protesnya didengar. Kendati kini telah menyandang status tersangka karena memecahkan delapan jendela Pastoran SMK Bitauni, kritik Felix memang tidak surut sedikit pun.
Dia kesal karena Romo A masih boleh memimpin misa. Seharusnya, jika sedang berkasus dan dalam penyelidikan gerejawi (kanonik), seperti juga disebut Keuskupan Atambua dalam keterangan kemarin, seorang rohaniwan pun rehat dari ekaristi. Artinya, tidak diperkenankan memimpin misa. ”Kanonik apanya? Masih memimpin misa di Bitauni sini,” cetusnya.
Namun, membuktikan hal tersebut memang tidak mudah. Sebab, biasanya, saat misa tidak ada umat yang boleh bermain handphone. Apalagi memotret romo yang memimpin misa. Sebelum Romo A, menurut Felix, ada juga romo yang lain. ”Tahun lalu ada juga. Dia bermasalah, tapi cuma dipindah-pindah,” ungkapnya.
Tiga kali pindah, tiga kali pula romo tersebut berulah dengan perempuan. Itulah yang membuat Felix sampai menghantamkan helm ke kaca-kaca jendela pastoran dan merusak kursi di sana pada Jumat malam lalu.
Sabtu (4/7), saat Felix dilepaskan dari Mapolsek Insana, upaya mediasi sudah dilakukan. ”Mereka datang ke rumah. Kami datang dengan misi mediasi,” katanya menirukan perwakilan pastoran.
Saat itu Felix menyambut baik niat tersebut. Tapi, Felix mengajukan sejumlah syarat untuk berdamai. Sebab, yang dia inginkan adalah perubahan. Dia ingin keuskupan tidak hanya memindah-mindahkan pastor yang bermasalah. Sebab, itu sama saja dengan memindah-mindahkan masalah juga. ”Diskusi menjadi panjang. Kami berbicara banyak hal, terutama tentang pembenahan dalam tubuh gereja,” katanya.
Sejauh ini belum ada kata sepakat di antara pihak-pihak yang berkonflik. Felix mengaku butuh waktu untuk berpikir. Meski siap dipenjara, dia tidak tega juga melihat ayah-ibunya. ”Mereka mikir, mereka sedih,” paparnya.
Jawa Pos, 9 Juli 2020
Keuskupan Atambua memilih menyelesaikan persoalan dengan cara kekeluargaan. Felix Nesi masih dikenai wajib lapor.
Felix K. Nesi mengaku sudah pamitan ke orang tuanya. Bukan untuk pergi merantau, tapi untuk mendekam di penjara. ”Saya tidak masalah (jika harus masuk penjara, Red),” kata penulis novel Orang-Orang Oetimu itu ketika dihubungi Jawa Pos kemarin (8/7).
Di petisi online di change.org, hingga pukul 22.30 WIB tadi malam, sudah ada 584 orang yang mendukung pembebasannya. Tapi, Felix tak mau kasusnya hanya berakhir dengan kesepakatan damai. Dia tetap menuntut gereja berubah. Terutama terkait cara penanganan terhadap pastor yang bermasalah. Seperti Pastor A yang disebutnya di catatannya di Facebook yang ditulis saat dia diamankan Polsek Insana, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, pada Jumat (3/7) pekan lalu.
Felix diamankan setelah memecahkan kaca jendela dan merusak kursi Pastoran SMK Bitauni, tempat Pastor A bertugas. Itu setelah pihak pastoran tak kunjung memindahkan Pastor A dari sekolah yang muridnya semua perempuan tersebut. Dia tetap meminta keuskupan tidak seenaknya memindah-mindah pastor yang bermasalah. Khususnya bermasalah dengan perempuan. ”Mereka tidak belajar dari masa lalu,” ungkapnya.
Keuskupan Atambua yang menaungi SMK Bitauni butuh lima hari untuk buka suara tentang kasus tersebut. Kemarin Romo Paulus Nahak I membacakan surat resmi yang menjadi sikap keuskupan atas kasus yang menarik perhatian publik sejak Jumat pekan lalu itu. Tepatnya sejak Felix mengunggah peristiwa yang membuatnya menginap semalam di Mapolsek Insana tersebut lewat akun Facebook pribadinya.
Ada empat poin yang ditegaskan keuskupan dalam surat bertajuk Tanggapan Pihak Keuskupan Atambua itu. ”Bahwa proses hukum pidana yang baru dimulai terhadap Felix Nesi dan segala permasalahannya dapat diselesaikan secara kekeluargaan, dengan prinsip keterbukaan hati untuk mengungkap kebenaran demi mencapai keadilan dan perdamaian,” papar Paulus yang tercatat sebagai ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Atambua mengungkap salah satunya.
Felix mengaku lega gereja akhirnya memberikan tanggapan. Dia menegaskan bahwa dirinya dan keuskupan punya tujuan yang sama: menyelesaikan kasus tersebut secara damai.
Sebenarnya pihak pastoran pun terbuka untuk berdamai. Seperti kata Viktor Manbait, mediator kasus itu, proses mediasi terus berjalan. Pada Selasa sore (7/7), menurut Felix, Viktor yang ditemani Romo Agus dari pastoran mendatanginya. Mereka mengajak sastrawan 32 tahun itu ke keuskupan. ”Tapi, saya masih mau pikir dulu,” katanya.
Perwakilan SMK Bitauni Agustinus Natun menyatakan, proses penyelesaian kasus dugaan perusakan kaca jendela dan kursi milik Pastoran SMK Bitauni memang telah diambil alih pihak Keuskupan Atambua. Polsek Insana juga membenarkan hal tersebut. Felix juga masih dikenai wajib lapor.
”Ada permintaan dari kepala SMK Bitauni (yang berada di bawah naungan Keuskupan Atambua, Red) agar persoalan ini diselesaikan secara kekeluargaan. Namun, kami harus terus memantau agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan,” kata Kapolsek Insana Iptu Ketut Suta ketika dikonfirmasi Timor Express kemarin.
Apa yang membuat Felix tidak segera mengiyakan mediasi? Bukankah lebih cepat lebih baik? ”Saya mau. Tapi tidak di keuskupan. Di tempat yang netral saja,” harapnya.
Bagi lelaki yang akhir tahun lalu mendapatkan kesempatan dua bulan residensi di Belanda itu, mediasi di keuskupan tidak akan membuat protesnya didengar. Kendati kini telah menyandang status tersangka karena memecahkan delapan jendela Pastoran SMK Bitauni, kritik Felix memang tidak surut sedikit pun.
Dia kesal karena Romo A masih boleh memimpin misa. Seharusnya, jika sedang berkasus dan dalam penyelidikan gerejawi (kanonik), seperti juga disebut Keuskupan Atambua dalam keterangan kemarin, seorang rohaniwan pun rehat dari ekaristi. Artinya, tidak diperkenankan memimpin misa. ”Kanonik apanya? Masih memimpin misa di Bitauni sini,” cetusnya.
Namun, membuktikan hal tersebut memang tidak mudah. Sebab, biasanya, saat misa tidak ada umat yang boleh bermain handphone. Apalagi memotret romo yang memimpin misa. Sebelum Romo A, menurut Felix, ada juga romo yang lain. ”Tahun lalu ada juga. Dia bermasalah, tapi cuma dipindah-pindah,” ungkapnya.
Tiga kali pindah, tiga kali pula romo tersebut berulah dengan perempuan. Itulah yang membuat Felix sampai menghantamkan helm ke kaca-kaca jendela pastoran dan merusak kursi di sana pada Jumat malam lalu.
Sabtu (4/7), saat Felix dilepaskan dari Mapolsek Insana, upaya mediasi sudah dilakukan. ”Mereka datang ke rumah. Kami datang dengan misi mediasi,” katanya menirukan perwakilan pastoran.
Saat itu Felix menyambut baik niat tersebut. Tapi, Felix mengajukan sejumlah syarat untuk berdamai. Sebab, yang dia inginkan adalah perubahan. Dia ingin keuskupan tidak hanya memindah-mindahkan pastor yang bermasalah. Sebab, itu sama saja dengan memindah-mindahkan masalah juga. ”Diskusi menjadi panjang. Kami berbicara banyak hal, terutama tentang pembenahan dalam tubuh gereja,” katanya.
Sejauh ini belum ada kata sepakat di antara pihak-pihak yang berkonflik. Felix mengaku butuh waktu untuk berpikir. Meski siap dipenjara, dia tidak tega juga melihat ayah-ibunya. ”Mereka mikir, mereka sedih,” paparnya.
Karena itu, Felix memilih beristirahat dulu di rumah sambil menenangkan diri. Juga sambil menguatkan hati orang tua dan keluarga. (*/c9/ttg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar