Minggu, Maret 22, 2020

MEMBACA ALAM PIKIRAN NUREL JAVISSYARQI

Catatan Kesan atas buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
A. Syauqi Sumbawi *

Konstruksi kesusastraan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari hadirnya karya-karya dan tokoh-tokoh “yang dianggap penting” dalam proses historisnya. Kehadiran yang penting ini setidaknya dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu kualitas karya, peran kritikus, dan apresiasi masyarakat sastra. Selain itu, hal yang tidak bisa dinafikan, yakni kedekatan personal di kalangan “elit” kesusastraan itu sendiri. 

Di antara sastrawan Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu nama “yang dianggap penting” di atas. Karya-karya puisinya sebagaimana yang terkumpul dalam antologi O Amuk Kapak[1] dan lain-lain, juga konsepsinya tentang kredo puisi,[2] disebut-sebut memperlihatkan pembaruan dalam puisi Indonesia. Pada konteks ini, Ignas Kleden—kritikus sastra—memberikan ulasan tentang karya dan kepenyairan Sutardji CB dalam esainya, Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri,[3] yang sampai pada kesimpulan bahwa apa yang disebut Sutardji CB dengan “membebaskan kata” ternyata lebih menunjuk pada proses dekonstruksi, melalui penerobosan—(baca: menerobos) makna kata, jenis kata, bentuk kata, dan tata bahasa.  

Permasalahan terkait kredo puisi  dan esai Ignas Kleden di atas inilah yang digugat oleh Nurel Javissyarqi dalam buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia (MMKI).[4] Dalam pembacaannya, Nurel menilai bahwa Ignas Kleden kurang objektif—masih subjektif—dalam mengulas karya dan kepenyairan Sutardji CB. Apalagi, ulasan tersebut disampaikan pada acara penghormatan kepada sang penyair. Lantas, benarkah?!    

Tampaknya, subjektivitas menjadi “kecurigaan” terbesar dalam pikiran Nurel, sekaligus ”pemantik” daya kritis. Subjektivitas yang dikhawatirkan akan terus berulang-ulang hingga mencapai tarafnya yang akut, yakni kondisi yang disebutnya dengan “mitos”. Karena itu harus dibongkar. Bukan hanya kredo puisi Sutardji CB dan esai Ignas Kleden saja, tetapi juga seluruh subjektivitas yang terdapat dalam konstruksi dan sejarah kesusastraan Indonesia pada umumnya.

Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia; Kritik atas Subjektivitas

Sebagaimana judulnya, buku MMKI ini dimaksudkan sebagai kumpulan esai-kritik sastra. Akan tetapi, bukan esai mainstream seperti yang biasa kita temukan dalam koran atau majalah. Begitu juga konstruksi dan gaya penulisan yang digunakan oleh penulisnya. Maka, wajar jika di antara kita menganggap bahwa buku ini membingungkan. Bahkan meragukan buku ini sebagaimana keberadaannya di atas. Jika benar demikian, maka salam saya adalah, “selamat datang di dunia Nurel Javissyarqi!”

Yup, tidak lazim. Unik! Itulah asumsi saya tentang esai-esai yang terkumpul dalam buku ini. Beberapa hal yang mengisyaratkan keunikannya tersebut, yaitu [1] Nurel menulis 408 halaman hanya untuk mengupas enam paragrap pertama dari esai Ignas Kleden—yang menjadi fokus bahasan. [2] Sebagai kumpulan esai-kritik sastra, buku ini juga mengungkap pemikiran berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, tafsir, filsafat, sejarah, antropologi, arkeologi, geografi, dan sebagainya. Bahkan, dengan porsi yang lebih besar daripada ulasan terhadap fokus bahasan. [3] Keberadaan dialog imajiner—antara penulis dengan M. Yamin—, yang cukup intens pada bagian XXIV (hlm. 322-395). [4] Penggunaan gaya bahasa liris, bahasa jawa yang tidak umum, serta penambahan dan penggurangan awalan dan akhiran, sehingga menjadikannya tidak mudah untuk dicerna.   

Jika sebuah pertanyaan dilontarkan, apakah MMKI merupakan buku esai-kritik sastra?! Maka, jawabannya adalah ya, bisa dikatakan demikian. Karena di dalamnya terdapat ulasan mengenai sastra, terutama kredo puisi dan esai Ignas Kleden. Dalam pembacaannya terhadap permasalahan tersebut, subjektivitas menjadi kesan paling kuat yang ditangkap oleh Nurel. Subjektivitas yang dikhawatirkan akan semakin akut dan berubah menjadi “mitos”. Kritik terhadap subjektivitas inilah yang tampaknya menjadi pintu masuk atas hadirnya buku ini. Di antara subjektivitas dalam kesusastraan Indonesia yang digugat Nurel, yaitu subjektivitas atas karya dan subjektivitas terhadap tokoh—sastrawan dan kritikus—.

Dalam mengulas subjektivitas atas karya, Nurel melihat bahwa terkait kualitas karya sastra, masyarakat (pembaca sastra) cenderung lebih percaya pada “berita” sekaligus “iklan”, baik melalui resensi dan ulasan buku di media massa, esai para kritikus, maupun dari mulut ke mulut. Juga, penerbit effect. Tidak dipungkiri, hal tersebut dapat dipandang sebagai “seleksi awal” untuk memilih karya sastra dalam posisinya sebagai bacaan. Akan tetapi, jangan sampai “berita” itu menggerus nalar kritis. Menurut Nurel, kualitas sebuah karya sastra tidak berasal dari berita atau iklan, tetapi ada dalam buku itu sendiri, yang hanya bisa didapatkan melalui pengalaman diri. Di sini, tampak bahwa membaca adalah proses intelektualitas. 

Terkait subjektivitas terhadap tokoh, Nurel melihat adanya sekat dikotomi antara senior dan junior di kalangan sastrawan. Nurel tidak menafikan diferensiasi para sastrawan, baik yang telah lama maupun yang belum lama berproses sastra. Hal yang dikritik oleh Nurel adalah subjektivitas bahwa apa yang lahir dari para senior selalu diterima dan berkualitas. Karena itu, nalar kritis—dan juga nyali— para sastrawan tidak boleh tumpul hanya karena berhadapan dengan senioritas.

Lepas dari keberadaannya yang dimaksudkan sebagai buku esai-kritik sastra, saya melihat bahwa MMKI lebih merupakan gambaran dari lanskap alam pikiran Nurel Javissyarqi. Dalam pandangan imajiner saya, tampak Nurel sedang berselancar melintasi alam pikirannya. Bergumul dan berlompatan dengan berbagai pemikiran. Dan MMKI adalah hasilnya. Karena itu, tidak heran jika konstruksi buku ini didominasi oleh berbagai pemikiran lintas disiplin ilmu.

Lantas, apa hubungannya dengan kredo puisi Sutardji CB dan esai Ignas Kleden?! Atas pertanyaan ini, barangkali tulisan Nurel bisa menjadi jawabannya, bahwa, “esainya Ignas Kleden itu sekedar jalan, sketsa, jalur rel kereta api yang nantinya menjalar menerus…”.[5] Atau perspektif saya, bahwa kredo puisi dan esai Ignas Kleden merupakan pintu masuk sekaligus penanda, darimana Nurel berangkat dan akan kembali ketika berselancar di alam pikirannya.  

Kemudian, mengenai ketidaklaziman MMKI sebagaimana diuraikan di atas, maka saya menduga bahwa hanya pembaca “berdaya besar” saja yang mungkin akan bertahan untuk menikmati buku MMKI hingga akhir. Dan tampaknya, Nurel pun telah “mencurigai” bahwa pembaca sastra termasuk jenis pembaca tersebut. Barangkali, hal ini bisa menjadi salah satu alasan, kenapa buku ini diberi judul “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia.”  

Kredo Puisi dan Dekonstruksi; Tampilan Sudut Pandang

Beberapa hal yang menjadi fokus gugatan Nurel Javissyarqi yang bisa dimasukkan dalam sub pembahasan kredo puisi dan dekonstruksi ini, yaitu pertama, perbedaan pernyataan antara “membebaskan” dan “menerobos”. Kedua, pernyataan “Puisi adalah alibi kata-kata”. Ketiga, ungkapan, “Jadi maka Jadilah!, Jadi, lantas jadilah!, dan Kun Fayakun.

[1] Antara Membebaskan dan Menerobos

Kredo puisi Sutardji Calzoum Bachri menyebutkan bahwa tugas kepenyairan adalah “membebaskan kata-kata”. Sementara dalam esainya, Ignas Kleden menulis, “...menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa… Menurut Nurel, penggunaan kata “menerobos” oleh Ignas Kleden—yang berbeda dengan “membebaskan” versi Sutardji CB—, menyiratkan sikapnya yang ragu-ragu dan berada di wilayah abu-abu, antara mengkritik (objektif) atau memuja (subjektif). Lantas, benarkah?!

Untuk menjelaskan permasalahan ini, maka pemahaman atas perspektif menjadi penting. Kata “membebaskan” Sutardji CB menunjukkan posisinya sebagai penyair. Di sini, kredo puisi yang tidak lain adalah pemahaman dasar atas proses kepenyairan menjelaskan tugasnya, yaitu mengembalikan kata pada asalnya. Pada sisi lain, penggunaan kata “menerobos” menjelaskan posisi Ignas Kleden sebagai kritikus. Kata ini kemudian mendapatkan penjelasan secara lebih lanjut pada bagian tengah esainya, baik menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos makna kata, maupun menerobos tata bahasa.

Dalam perspektif antara penyair dan kritikus, tidak hanya kata “membebaskan” dan “menerobos” saja yang berbeda di antara keduanya. Ignas Kleden pun berbeda mengenai istilah kredo puisi. Menurutnya, istilah yang tepat bukan kredo puisi, melainkan kredo penyair, karena hal tersebut lebih merupakan sebuah bentuk dari licentia poetica.

[2] Puisi adalah Alibi Kata-kata

Dalam esainya, Sutardji Calzoum Bachri menulis, Puisi adalah alibi kata-kata.[6] Di sini, istilah “alibi” menjadi fokus dari gugatan Nurel, yang dipandangnya mengandung kesan negatif, terutama dikaitkan dengan kepenyairan. Menurut Nurel, istilah tersebut menggambarkan sikap penyair yang ingin ales atau menghindar dari pertanggungjawaban atas karya-karyanya. Sebagaimana kasus terkait ungkapan “Jadi maka jadilah!” dan “Jadi, lantas jadilah!”, yang dianggapnya sebagai bentuk kecerobohan Sutardji CB dalam menerjemahkan “Kun Fayakun”. Lantas, benarkah?!

Untuk menanggapi permasalahan ini, maka penting bagi kita melihat konteks di mana ungkapan tersebut muncul. Yakni, ketika kata-kata berhadapan dengan kekuatan-kekuatan di luar dirinya, yang memenjarakan dalam makna—yang spesifik—. Kekuatan yang penuh kepalsuan dan hipokrisi, baik kepentingan politik, ekonomi, dan sebagainya dalam kehidupan manusia. Sebagai ilustrasi, jika kehidupan manusia dipenuhi pragmatisme, maka puisi menjadi ruang bagi idealisme untuk terus hidup. Ruang bagi lahirnya kesadaran, dimana manusia kemudian memperjuangkan idealisme-idealisme kemanusiaannya.

Dari uraian di atas, tampak bahwa ungkapan “Puisi adalah alibi kata-kata,” perspektif Sutardji CB berada pada wilayah pemikiran. Sedangkan interpretasi dan gugatan Nurel masuk pada wilayah sikap dan tanggungjawab kepenyairan.            

[3] Antara “Jadi maka Jadilah!”, “Jadi, lantas jadilah!”, dan “Kun Fayakun”.

Kun Fayakun—dalam al-Qur’an—menjadi referensi Nurel ketika menggugat dua ungkapan Sutardji Calzoum Bachri di atas. “Jadi maka Jadilah!” yang termuat dalam “Bukan-Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000”, dan “Jadi, lantas jadilah!” pada “Sambutan Sutardji Calzoum Bachri pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra MASTERA”. Nurel menilai dua ungkapan—terjemahan— dari Kun Fayakun tersebut sebagai kecerobohan.

Di sini muncul sebuah pertanyaan, apakah Kun Fayakun menjadi referensi dari dua ungkapan Sutardji CB tersebut?! Jangan-jangan, dia tidak menjadikan Kun Fayakun sebagai referensi, kendati akrab.

Lepas dari pertanyaan di atas, saya melihat bahwa dua ungkapan tersebut mengandung interpretasi yang berbeda, sebab konteksnya tidak sama. Dalam ungkapan “Jadi maka Jadilah!”, konteks dan pemahaman menunjuk tataran hakikat. Sedangkan pada “Jadi, lantas jadilah!“ mengarah pada tataran proses.  

Menggugat “Politik” dalam Kesusastraan Indonesia; Antara Label dan Proses

Kesan mengenai adanya “politik” dalam kesusastraan Indonesia sangat kuat dalam pemikiran Nurel. Pemberian gelar Presiden Penyair Indonesia—oleh sebagian sastrawan—, yang kemudian diikuti dengan munculnya gelar Presiden Penyair Jawa Timur, misalnya, tampak mengganggu pikirannya. Menurutnya, “pelabelan” seperti ini merupakan bentuk subjektivitas, yang dikhawatirkan akan melahirkan kondisi yang kontraproduktif bagi perkembangan kesusastraan Indonesia itu sendiri. Sederhananya, bukan label yang menjadi ukuran kualitas, tetapi muncul dari proses yang terus-menerus. Karena itu, biar sejarah yang mengungkapkannya.

Kritik terhadap subjektivitas, yang sebenarnya menjadi concern Nurel. Demikian pula dengan gugatannya terhadap Deklarasi “Hari Puisi Indonesia” yang melibatkan “dukungan” para sastrawan. Pembacaan deklarasi yang diwakilkan kepada Presiden Penyair Indonesia serta penetapan tanggal 26 Juli sebagai “Hari Puisi Indonesia”, yang dinisbatkan dari tanggal lahir Chairil Anwar. Menanggapi persoalan ini, Nurel menggugat. Seperti bertanya, kenapa penetapan “Hari Puisi Indonesia” tidak menjadikan sejarah sebagai referensi?! Kenapa tanggal yang dipilih tidak merepresentasikan semua penyair, melainkan hanya Chairil Anwar dan mereka yang mendukung penetapannya saja?!

Nurel juga mengungkapkan “peta politik” kalangan sastrawan yang ada “di belakang meja” media massa, baik koran, majalah, maupun media online. Selain itu, kalangan sastrawan yang seperti “terkotak-kotak” dalam komunitas-komunitas dan identitas tertentu. Mengenai hal ini, Nurel kembali pada kritiknya terhadap subjektivitas, yakni jangan sampai “perkoncoan”  (penilaian subjektif) menggerus nalar kritis dan objektivitas.

Penutup

Tulisan ini merupakan catatan kesan penulis atas buku Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia” karya Nurel Javissyarqi. Buku ini merupakan buku pertama, yang diharapkan segera disusul buku kedua dan seterusnya. Dalam buku ini, saya merasakan energi besar, yang perlu dialirkan melalui saluran-saluran yang benar, secara tepat dan elegan, serta dengan dosis yang tertakar.

*) Sastrawan kelahiran Lamongan, Jawa Timur.



[1] Sutardji Calzoum Bachri, O AMUK KAPAK; Tiga Kumpulan Sajak (Jakarta: Sinar Harapan, 1981)
[2] Menulis puisi bagi Sutardji Calzoum Bachri adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera.  Tanggal yang tertera pada penjelasan kredo puisi yaitu 30 Maret 1973. Lihat, Sutardji Calzoum Bacri, “Kredo Puisi” dalam Isyarat: Kumpulan Esai (Yogyakarta: Indonesia Tera, 2007) hlm. 3-4. Kredo puisi kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam tulisannya yang lain, seperti “Bukan-Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000-“, “Sambutan Sutardji Calzoum Bachri pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra MASTERA”, dan “Pidato Penyerahan Anugerah Sastra Chairil Anwar 1998” yang terkumpul dalam buku Isyarat: Kumpulan Esai.       
[3] Rubrik Bentara, “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri” dalam Kompas, Sabtu 04 Agustus 2007. Esai ini berasal dari Pidato Kebudayaan yang disampaikan pada Malam Puncak Pekan Presiden Penyair di Taman Ismail Marzuki, Jakarta 19 Juli 2007, untuk menghormati penyair Sutardji Calzoum Bachri 66 Tahun.
[4] Judul lengkap buku ini adalah Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia; Bagian Pertama: Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia (Lamongan: Pustaka Pujangga bekerjasama dengan Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2018).
[5] Nurel Javissyarqi, “Bayangan dan Kenyataan Lain Bedah Buku di PDS H.B. Jassin”, dalam lampiran Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia, hlm. 528
[6] “Pidato Penyerahan Anugerah Sastra Chairil Anwar 1998” dalam Isyarat: Kumpulan Esai.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Hana N.S A. Iwan Kapit A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aa Sudirman Abd. Basid Abdul Aziz Rasjid Abdul Ghofar Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Muid Badrun Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdullah Ubaid Matraji Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abonk El ka’bah Acep Zamzam Noor Ach. Nurcholis Majid Achmad Farid Tuasikal Achmad Maulani Adi Faridh Adi Marsiela Adi Sucipto Adian Husaini Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrian Ramdani AF. Tuasikal Afnan Malay Afrizal Malna AG Hadzarmawit Netti AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Majestika Aguk Irawan M.N. Agung Prihantoro Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R Sarjono Agus S Warman Agus Sri Danardana Agus Sulton Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Rafiq Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syafii Maarif Ahmad Taufik Ahmad Thohari Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Al-Fairish Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Ali Irwanto Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Alvi Puspita Amang Mawardi Ambarukminingsih Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Amirullah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andhi Setyo Wibowo Andik Nurcahyo AndongBuku #3 Andry Deblenk Anindita S. Thayf Aning Ayu Kusuma Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anwari WMK Aprillia Ika Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Arif Firmansyah Arifun Najib Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arys Hilman Asarpin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asri Bariqah Awalludin GD Mualif Azumardi Azra Azyumardi Azra Baca Puisi Badaruddin Amir Balada Bambang kempling Bambang Satriya Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benni Indo Benny Benke Benny D Koestanto Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Koran Bernada Rurit Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Palopo Budi Purnomo Buldanul Khuri Bunda Zakyzahra Tuga Bungaran Antonius Simanjuntak Candrakirana Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Che Guevara Coronavirus Cover Buku Kritik Sastra Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi II Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi IV Cover Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi V D. Zawawi Imron Dadan Maula Darmawan Dadang Ari Murtono Dahlan Kong Damanhuri Zuhri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Dedykalee Deni Ali Setiono Deni Jazuli Denny Ardiansyah Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan Dewi Indah Sari Dhanu Priyo Prabowo di Bluri di Karangasem Dian Sukarno Diana AV Sasa Diana Ifrina Ernawati Dinas Komunikasi dan Informatika Prov. Jatim Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dini Tri Dinoroy M. Aritonang Dion Maulana Prasetya Diskusi buku Djaka Susila Djenar Maesa Ayu Djesna Winada Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Budiono Herusatoto Drs H Choirul Anam Drum Band MI Miftahul Ulum (Kuluran) Dudi Rustandi Dunia Penerbitan Indonesia Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Nikmatika Roma Dwi Pranoto Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddy D. Iskandar Edeng Syamsul Ma’arif Edi Faisol Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elly Burhaini Faizal Elly Trisnawati Ellyn Novellin Emerson Yuntho Emha Ainun Nadjib Emil WE Endang Supriyadi Endi Haryono Endri Y Erdogan Esai Esha Tegar Putra Esme Fadliha Etik Widya Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fadjriah Nurdiarsih Fahmi Fahrudin Nasrulloh Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faris Al Faisal Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Felix K. Nesi Festival Mocosik Festival Seni Internasional 2010 Yogyakarta Festival Seni Internasional 2014 Yogyakarta Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan festivalsenisurabaya.com Fikri. MS Firdawsi Fortus Pake Forum Lingkar Pena Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Foto Franditya Utomo Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Magnis-Suseno Friski Riana Fuad Hasan Nasihin Fuji Pratiwi Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawa Gede Mugi Raharja Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gedung Sangbala Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gito Waluyo Goenawan Mohamad Golput Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma’ruf Amin Gus Dur H Ikhsan Effendi H. Usep Romli H.M H.B. Jassin H.O.S Cokroaminoto Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Hadi Napster Hadziq Jauhary Halim H.D. Halimatussa’diyah Hamberan Syahbana Hamluddin Hana Pertiwi Hanif Nashrullah Hardono Haris del Hakim Haris Firdaus Haris Priyatna Haris Saputra Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Basri Hasan Junus Hasanuddin WS Hasnan Bachtiar Helmi Y Haska Helmy Tasaufy Hera Khaerani Herdiyan Heri C Santoso Heri Latief Herman Herman Hasyim Herman RN Herry Lamongan Herry Mardianto Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Homaedi I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I Wayan Seriyoga Parta IBM. Dharma Palguna Ibnu PS Megananda Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Mustofa Imam Nawawi Imam Qodim Al-Haromain Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Imelda Imron Arlado Imron Rosidi Imron Rosyid Imron Tohari Indrian Koto Ingki Rinaldi Ipik Tanoyo Ire Irvan Sihombing Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismet NM Haris Ismi Wahid Isnanur Janah Iswadi Pratama Isyana Artharini Iwan Nurdaya-Djafar Iwank Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Janual Aidi Javed Paul Syatha Jazzi Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jembatan Kuno Yang Misterius Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Jodhi Yudono Jogjanews.com John Joseph Sinjal Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Paket Hemat Juara Ke 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jumartono Jurnalisme Sastra Jusuf A.N K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.Y. Karnanta Kadjie Mudzakir Kaheesa Kirania Putri Ayu Kang Daniel Kapal Nabi Nuh Karanggeneng Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kautsar Muhammad Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) KH Abdul Ghofur KH Bisri Syansuri KH. Abdul Aziz Masyhuri KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khoirul Abidin Khoirul Inayah Ki Ompong Sudarsono Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kika Dhersy Putri Kitab Arbain Nawawi KITLV Koh Young Hun Koko Sudarsono Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopi Sunan Drajat Kopuisi Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Krisman Kaban Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kulonprogo Kurnia Effendi Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswinarto L Ridwan Muljosudarmo Laboratorium Sinematografi dan Pertunjukan UNISDA Lamongan Lagu Lailiyatis Sa'adah Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Sarmili Literasi Liza Wahyuninto Lugiena De Lukas Adi Prasetyo Lukisan Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lusia Kus Anna Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Lutfi M. Mushthafa M. Romandhon M. Sunyoto M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M’Shoe Made Geria Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahrus eL-Mawa Majelis Ulama Indonesia Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcus Suprihadi Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Maruli Tobing Mashuri Masuki M. Astro Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Wulan Medco Media Lamongan Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Meka Nitrit Kawasari Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka MI Thoriqotul Hidayah Pilang 1 Mia Arista Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Miftahul A’la Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Ghufron Cholid Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Samsul Arifin Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Ali Athwa Mohammad Eri Irawan Mohammad Rafi Azzamy MTs Putra-Putri Simo Sungelebak Muh Kholid A.S Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Amin Muhammad Arif Muhammad Aris Muhammad Eko Nugroho Muhammad Hidayat Muhammad Muhibbuddin Muhammad Musa Muhammad N. Hassan Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mukafi Niam Mukhsin Amar Mulyani Hasan Mulyo Sunyoto Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Munawir Aziz Muntamah Cendani Musfarayani Musfi Efrizal N. Syamsuddin CH. Haesy Nadine Tri Duhita Naim Nanang Suryadi Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Nara Nazaruddin Azhar Neli Triana Ngatini Rasdi Nh. Anfalah Ni Luh Made Pertiwi F Ni Made Frischa Aswarini Ninuk Mardiana Pambudy Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noval Jubbek Noval Maliki Novel Novel Pekik Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Hayati Nur Kholiq Nur Kholis Huda Nurani Soliha Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Ochi Oil on Canvas Oky Sanjaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Paciran Pameran Seni Rupa Pangkah Kulon Ujungpangkah Gresik Panji Satrio Patung Sphinx PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan 2020 Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit Progresif Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Peringatan Hari Santri TPQ Al-Hidayah 22 Oktober 2017 Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren Sunan Drajat Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Pilang Tejoasri Lamongan Jawa Timur Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Pendopo Watu Bodo Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prosa Proses Kreatif Puisi Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka GU Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. N. Bayu Aji R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rafita Dewi Rahmah Maulidia Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rameli Agam Rana Akbari Raras Cahyafitri Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Revdi Iwan Syahputra Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Ridlwan Ridwan Munawwar Riki Utomi Rinny Srihartiny Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robert Adhi Kusumaputra Robin Al Kautsar Roby Karokaro Rodli TL Rof Maulana Rofiqi Hasan Rojiful Mamduh Rokhim Sarkadek Rosdiansyah Rosi Rosidi Rudi S. Kalianda Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rx King Motor S Jai S Yoga S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Sabrina Asril Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salim Alatas Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saratri Wilonoyudho Sari Oktafiana Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sejarah SelaSastra SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang Selvie Monica S Sendang Duwur Tahun 1920 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Shohebul Umam JR Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sifa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simon Saragih Sirikit Syah Siti Muti’ah Setiawati Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Slavoj Zizek Soelistijono Soetanto Soepiadhy Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Sohirin Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Mulyani Sri Wintala Achmad ST Indrajaya Stanley Adi Prasetyo Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sudirman Hasan Sugeng Ariyadi Sugeng Wiyadi Sugiarto Sugito Wira Yuda Suhartono Sujatmiko Sukardi Rinakit Sukitman Sumenep Sunarno Wibowo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susie Evidia Y Sutamat Arybowo Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Suyatmin Widodo Svet Zakharov Syaf Anton Wr Syaiful Bahri Syaiful Irba Tanpaka Syaiful Mustaqim Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syi'ir Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tanjung Kodok Tahun 1947 Tasman Banto Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Ganast MAN Lamongan Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Sakalintang Teater Sangbala Teater Sundra Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tewol Teater Tewol Lamongan Teguh LR Teguh Winarsho AS Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thamrin Dahlan Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute (IHI) Thohir Thompson Hs Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto To Take Delight Toni Munajat Tosa Poetra Tri Andhi S Tri Wahono Trisno S. Sutanto Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Unieq Awien Universitas Airlangga Surabaya Universitas Jember Untung Basuki Ustadz Charis Bangun Samudra Utami Diah Kusumawati Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Wahyu Aji Wahyudi Zuhro Wan Anwar Warjati Suharyono Wawan Eko Yulianto Wawan Hudiyanto Wawancara Wayan Sunarta Welly Suryandoko Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yanuar Jatnika Yanuar Yachya Yaumu Roikha Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yerusalem Ibu Kota Palestina Yesi Devisa YF La Kahija Yogyo Susaptoyono Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudi Latief Yuli Yuni Ikawati Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zahrotun Nafila Zaim Uchrowi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimras Zen Hae Zuhdi Swt