Kira-kira
begitulah sarasehan pagi lalu di Taman Pungkruk, desa Salamrejo Kab. Kulon
Progo, ketika para penghayat se-Indonesia berkumpul dalam rangka FESTIVAL
KEARIFAN LOKAL yang berlangsung mulai tgl 25-31 Juli 2018.
Sarasehan
penuh keakraban dan persahabatan yang difasilitatori S. Abi Nugroho selaku
ketua LAKPESDAM PBNU berusaha menyorot peran negara dalam mengayomi warga
negaranya, khususnya sikap negara terhadap para penghayat kepercayaan. Satu
persatu para penghayat kepercayaan dari berbagai daerah menyampaikan keluh
kesahnya tentang diskriminasi yang mereka dapat selama ini. Mulai dari
kesulitan mengakses akta kelahiran, pendidikan, pekerjaan sebagai PNS, akta
nikah sampai susahnya mendapatkan tempat pembaringan terakhir dan seterusnya.
Hal itu dikarenakan mereka tak mau mencantumkan salah satu nama agama yang
diakui oleh negara pada kartu identitas dirinya. Yang menggelitik lagi adalah
para penghayat kepercayaan mengeluhkan peran akademisi dan "agamawan"
yang seringkali membuat mereka semakin terpojok.
Wetu
Telu yang berasal dari Lombok, misalnya, menyampaikan bahwa ada penilaian yang
salah terhadap mereka. Anggapan menjalankan sholat hanya dalam tiga waktu saja
menjadikan mereka kerap dicap sesat/kafir diluruskan oleh perwakilan Wetu Telu
yang menyatakan dirinya secara tegas beragama Islam dan melakukan ibadah wajib
sesuai tuntunan Islam. Lantas perwakilan dari Marapu dan Medan yang didesak
untuk menjadi Nasrani jika ingin mendapatkan hak-hak yang sama dengan warga
lainnya.
Sesungguhnya
mereka hanya menuntut kesamaan hak-haknya sebagai warga negara yang dilindungi
undang-undang. Namun sampai kini apa yang mereka perjuangkan belum menemukan
titik terang. Mereka kerap terbentur oleh kepentingan-kepentingan pragmatis
dari para penyelenggara negara. Tuntutan mereka adalah hal wajar. Sebab
bagaimanapun mereka adalah warga negara Indonesia.
Memang
tidak mudah mencari solusi atas persoalan tersebut. Karena masalah keyakinan
adalah masalah hidup-mati. Seseorang tidak bisa dipaksa untuk tidak meyakini
apa yang ia yakini. Pun sebaliknya. Walaupun dalam goresan sejarah kita
tertoreh narasi orang-orang yang berpura-pura meyakini sesuatu yang tidak dia
yakini karena tindakan represif yang dilakukan negara untuk menyelamatkan diri.
Kopi
Hitam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar