Hasan Basri
Kecewa itu mubah dalam tradisi pesantren sebagai tanda
tidak matang dalam suluk. Jabatan sakral dalam jejaring kultural NU itu harus
ditinggalkan karena jabatan duniawiah. Rais aam itu jabatan yang tidak cocok
bagi tokoh yang kepekaan indrawiahnya masih di bantalan dunia. Jabatan sakral
ini di postur NU merupakan tarjamah (trasnalasi) “level tiga” untuk
mempertahankan dan merawat pokoknya otoritas keulamaan dalam tradisi Islam
kultural di Indonesia.
NU yang menolak semua asumsi kolonial yang berhasrat mempreteli
otoritas keulamaan yang kemudian mereka tularkan kepada subjek terjajah yang
menyebut diri sbg pembaharu, wahabi, kaum sinikal,dan ‘self-loathing’ kepada
Islam dipangkas oleh NU. Memahami konteks pendirian NU harus melalu telusur
sejarah mengenai ‘pembredelan’ dan pemeretelan otoritas keulamaan dalam konteks
ahlusnunnah wal jamaah dan Islam diterjemahkan sampai pada tingkat kultural di
Indonesia. Nama NU sendiri sudah menegaskan bahwa ini ormas yang hendak
menegakan dan memulihkan otoritas keulamaan yang diporakporandakan oleh kaum
kolonial dan para pendukung pribuminya.
Dalam tradisi lokal saya, mengungkapak kekecewaan itu
sesuatu yang mubah dan lumrah sepanjang dalam koridor tradisi kepesantrenan.
Kecewa karena menimbang kesakralan posisi Rais Aam dalam kultur NU mubah. Tapi
tidak mengizinkan diri menyebut nama tertentu dan mengumbar keburukan personal
adalah suatu ikhtiar menjaga marwah keulamaan sebagai nilai dan etika dalam
kultur pesantren,bukan marwah yang semata melekat dalam diri peorangan. Pesantren
tidak seperti persangkaan kaum kolonial dan para pendukung pribuminya. Masih
banyak orang pesantren yang lebih dari sekedar waras alias berakhlak, menjaga
fatsoen kulturalnya.
Ulamen apesantren itu pernah disebut sebagai dukun, orang
yang mengaku-ngaku jadi wali, sang juru selamat, mengajarkan
jampi-jimat-mujarobat-primbon, dan para kutu loncat, broker budaya, pimpinan
petani (sartono kartodirdjo) dan lainnya oleh para kolonial dan antek
pribuminya. Kenapa mereka begitu sengit terhadap ulama? karena Faktanya ulama
pada jaman kolonial tidak saja bersaing dalam wilayah keilmuwan dan kultural
dengan kaum penjajah,tetapi ‘yang risisten’ secara fisikal atau berjihad
melawan penjajah. Fakta ini membuat Belanda menghabiskan begitu banyak energi
untuk menemukan formula efesien untuk menundukkan para ulama. Mereka melakukan
pembatasan fisikal dan kultural terhadap para ulama dan terus mengontrol
pergerakan mereka. Salah satu yang paling efektif adalah dengan menyususn model
otoritas baru keilmuwan islam yang pro-kolonial.
Umat Islam, khsususnya NU dalam pembicaraan ini, adalah
elemen Islam yang tidak pernah benar-benar bisa ditaklukkan oleh kaum kolonial
dan para turunan pribuminya. Maka ketika beberapa pengamat yang notabenenya
dari tradisi Islam yang lahir dari bentukan kolonial dan rezim modal
menumpahkan kemarahan mereka kepada pribadi ulama yang dan NU, ini adalah suatu
bentuk gejala neurotik-megalamoniak yang mereka warisi dan rawat dari teks teks
orientalistik-kompradoristik yg mereka buntuti.
Pagi ini, di tengah mengikuti acara temu nasional Gus
Durian, saya membaca komentar seorang turunan ulama Masyumi yang
terangan-terangan mendaku sebagai pendakwah Islam Liberal yang membully sosok
kyai MA. Dia dalam hitungan jam ia menulis berulang kali serangan di “langit”
facebooknya terhadap kiai MA dan NU. Dan saya juga membaca ulasan kawan
juniornya yang belakangan populer sebagai pedagang survei dan “tukang obat”
politik yang menyebut “kekecualian” (exceptionalism) NU dengan mengutip
‘sampah’ seperti Greg Felay atau nama lainnya.
Kesimpulannya, NU susah diringkus dengan pengertian
defenitif. Selalu lepas dari setiap perumusan. Rumusan siapa dulu, pengertian
siapa dulu dan deinisi siapa dulu? Sebenarnya dengan silat bahasanya dia kurang
cakap dan kurang canggih mencari serapan intelektual untuk menulis fakta NU
yang selalu menolak dimasukkan dalam ‘harapan’ dan ukuran yang mereka rumuskan.
Artinya, setiap kali mereka mengintip NU mereka selalu mengembalikannya kepada
rujukan mereka yang sudah baku. Mereka memaksakan rumusan tertentu terhadap
sebuah jejaring kultural seperti NU yang pasti dinamis. Di titik inilah mereka
sama pekoknya dengan kaum fundemantalis agama yang mereka serang dan anggap
sebagai sebagai satu-satunya masalah hidup mereka dunia-akhirat. NU yang lepas
itu adalah NU yang tidak sesuai dengan rumusan dan anggapan mereka karena
mereka samasekali tidak mau membuka diri , apalagi mengakui (rekoginisi), bahwa
NU itu sebuah entitas seperti umat manusia umumnya yang terus berubah dengan
modal kulturalnya sendiri (dengan segala plus-minusnya). Paling parah, mereka
tidak mau mendengar “idiomacity” (meminjam spivak) yang diucap-rapalkan NU
sendiri, dan tidak hanya mendengarkan suara sendiri dengan mengabaikan suara
orang lain (ini kan ciri fundamentalisme yang mereka nistakan padahal mereka
dalam kubu yang sama). Di sinilah masalah etika-pembacaan itu hilang,kata
Spivak –saya yakin ini tafsir atas spivak yang bisa dipertanggungjawabkan.
Yaitu,hilangnya kepekaan kemanusiaan untuk mendengar dan membiarkan ‘subaltern’
(walaupun NU bukan subaltern ya) berbicara tentang dirinya. Merecoki saja tidak
etis,apalagi memaksakan hasrat (lebih dekat hasrat libidinal) kepada mereka.
Kata kunci di sini adalah kesedian memberi tempat yang sama bagi suara yang
selama ini mereka abaikan dan ingin tundukkan. Dan betapa sulitnya mendapatkan
orang indonesia modern,hatta yang muslim sekalipun, yang tidak memakai nalar
kolonial dalam ‘mengakui’ Islam dalam tarjamah Indonesia nya.
Di tengah melihat anak-anak muda NU yang bergairah meneladani
Gus Dur, saya pun berteladan kepada Gus Dur dalam hal mengubah kemarahan
terhadap para ‘kecebong’ intelektual yang inlander itu dalam kosakata
keterpelajaran. Dan pada tahun 1970-an akhir, 1980-an ketika Gus Dur rajin
merespons penilaian mereka terhadap pesantren,Gus Dur selalu membuka diri
dengan mereka dengan positioning yang sangat pasti. Dan ini sangat melelahkan.
Maka sayapun tidak mampu mengikuti keuletan Gus Dur dalam konteks ini.
Ketika beberapa teman dekat saya yang sesama NU
mengatakan bahwa ada hal-hal menarik dari apa yang disampaikan oleh para
“pengamat” seperti si bule ini atau itu (seperti Greg felay misalnya) tentang
NU mutakhir bermanfaat. Dalam hati saya berdoa, mudahan mereka menangkap
semangat Gus Dur dalam berhadapan dengan para orientalis-indinoesianis beserta
turunannya berupa para ‘cebong’ intelektual pribumi, yaitu tidak menganggap
mereka sebagai segalanya, dan jangan sampai kita terlibat mengagungkan otoritas
mereka. Hasil intelektual mereka tidak lebih dari penanda kekuasaan daripada
“kebenaran” ilmiah. Kita membaca mereka untuk memberi catatan kritis terhadap
mereka. Dan kita akan selalu lebih nyinyir dengan para turunan ‘otoritas asing’
di sini. Jangan samapi Gus Durian itu setali-tiga-uang dengan liberalisme
kecebong seperti mereka yang selalu sinikal dan benci dengan NU. Wallahu’alam
bis shawab.
Saya tidak lanjutkan karena kacamata baca saya hilang di
arena temu nasional Gus Durian dan harus cari, di samping harus segera pergi
nyari atm utk bayar utang buku....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar