Minggu, Januari 07, 2018

Dari Perjalanan Bedah Kidung Jaran Dawuk sampai Kitab Para Malaikat

Tosa Poetra *

(Sesungguhnya ini catatan yang lama, boleh dikata setengah kadaluarsa, sudah lewat setengah tahun, tapi baru kali ini aku dapat mengedit sedikit dan mencoba mempublikasikan, semoga akan ada manfaatnya).

Wal asri, demi masa aku memulai, sungguh pun harus merugi janganlah setelah mati. Dengan menyeru yang membirukan samudera, dengan segala keterbatasan aku bercerita. Semoga ada manfaatnya. Iqro, demikian dalam alquran dikatakan, entah surat apa ayat berapa aku tidak mengerti, tersebab sejak kecil jauh dari belajar mengaji. Bacalah, Tuhan memerintahkan pada umatnya untuk membaca, maka aku tak bosan membaca, meski kadang membaca membikin pusing kepala ketika yang kubaca tidak kumengerti. Aku pun ingat dari beberapa buku yang kubaca, juga pepatah yang ada “Membaca membuka jendela dunia”, dalam buku yang aku juga lupa judul dan pengarangnya disebutkan beberapa manfaat membaca; mengisi waktu luang, mencari hiburan, mendapatkan ilmu pengetahuan dan lain lagi, yang lagi-lagi aku lupa lagi. Dan syarat pembaca yang baik diantaranya; bersikap positif; tidak meremehkan bacaan yang sekiranya tampak kurang mutu, dan tidak lekas menyerah ketika bacaan terlalu susah dimengerti.

Demikian aku, di sela waktuku yang berdesakan, siang kerja sampai sore jam empat, malam kerja lagi sejak jam sembilan sampai jam dua, di waktu senggang antara jam empat sore sampai sembilan malam yang harusnya kunikmati dengan anak istri, dan antara jam dua pagi sampai jam delapan pagi yang mesthinya dapat kugunakan tidur, aku tidak mau menyiakannya, aku memilih membaca, sesekali menulis dengan segala keterbatasanku; keterbatasan pikiran, juga sarana, yang itu tidak harus kujadikan alasan untuk tidak menulis, sebab cuma orang malas saja yang tak ada waktu buat menulis/ membaca, atau menyerah dengan keterbatasan. Sekira dua tahun lalu, aku kedatangan kawanku dari lamongan dan jombang, kang nurel dan kang sabrank, kedatangannya adalah dalam rangka bedah buku nurel yang berjudul menggugat tanggungjawab kepenyairan Sutardji Calzoum Backhri, yang dilaksanakan oleh komunitas arisan sastra Trenggalek, komunitas yang kuikuti pada masa itu.

Waktu itu, kang nurel memberikan aku beberapa buku, beberapa karyanya; Trilogi Kesadaran, Menggugat Sutardji, Balada Takdir Terlalu Dini, Kitab Para Malaikat dan berapa lainnya. Buku-buku itu sudah semua kubaca, meski belum katam semua, buku trilogi, mengugat dan balada aku sedikit bisa mengeti, tetapi giliran Kitab Para Malaikat, membuat aku pusing ketika membacanya dengan cermat, sehingga kubaca cuma sambil lalu, maka apa isinya aku gak tahu. Sabtu, 9 Februari yang lalu aku ke kedai baca suket, di Jombang dalam rangka bedah bukuku Kidung Jaran Dawuk, di sana selain jumpa kawan penulis senior lain yang beri kritik masukan buatku, aku jumpa Nurel untuk ke dua kali.

Minggu 10 Februari, sekira jam 10 pagi, cak Ju, kawanku dari Kediri meneleponku, sempat kami membincangkan sedikit terkait Nurel dan Kitab Para Malaikat. Sore hari aku pulang kerja, istriku ngajak ke rumah mertua, kami pulang jam delapan malam. Kugunakan jeda waktu sampai jam 21.00 untuk membuka kembali Kitab Para Malaikat, kubaca pengantar dari Maman S Mahayana yang menyatakan: “Temukan Nurel di antara Socrates, Plato, Aris Toteles, Deridra, Amir Hamzah, Syeh Siti Djenar dan berapa nama orang besar lain”, yang itu juga tertampang di sampul depan, tepat di bawah gambar gadis bersayap.

Setelah prolog lorong gelap yang mengasyikan yang ditulis Maman S Mahayana kuselesaikan, itu cukup memberi bekal dasar bagiku mencoba memahami Kitab Para Malaikat, aku mulai menapaki lembaran Muqaddimah; waktu di sayap malaikat, tak banyak dapat kupahami, tetapi sedikit kumengerti. Lagi-lagi sedikit pusing, tapi tetap kuteruskan sampai pada IX; “Kenapa sebentar-sebentar kalian menarik nafasmu kembali? Pena ini menemani gamelan hening kalimah ke dasar misteri.” Seolah nurel hadir di dekatku, tahu aku mendesah berulang ketika membaca bukunya sebab aku tak mengerti, tatapi nurel menasihatiku untuk terus membacanya sebab penanya mengiringi gamelan hening kalimah ke dasar relung misteri. Ya, dan aku harus terus membaca sampai aku menemukan misteri, misteri kitab malaikat.

Aku kembali sendiri, menelusuri tiap bait yang ada, sampai pada XXXVI; menujulah ke diri kesucian, saat di jalan licin mendapati tongkat di tengah-tengah seberang titian . . ., seolah Nurel datang lagi, menyuruhku untuk belajar mensucikan hati saat aku hampir terpeleset dalam memahaminya dan aku mendapatkan tongkat untuk melanjutkan membaca. Dan tiba-tiba di XXXVII, Nurel mengatakan bahwa isyarat sudah cukup, ya kupikir memang sudah cukup Nurel mengantarkan aku menelusuri relung misteri Kitab para Malaikat sampai di situ, sebab aku mungkin bisa saja muntah jika terus diberi pangantar untuk mengetahui jika aku masih belum juga memahami. Terakhir dia mengatakan di XXXXIX; “Ragumu menghantui, tekatmu berjembatan, ia di sisimu di setiap enkau rebah.” Ya dia benar, jika aku masih terus ragu sebab kepusinganku selamanya aku tidak akan mampu menyibak misteri, tetapi jika tekatku kuat maka Nurel akan terus menemaniku membacanya di setiap aku ada waktu luang. Maka aku pun melanjutkan, Membuka Raga Padmi. Astaga betapa bodohnya dua tahun ini, mengapa baru kali ini aku dapat mengerti tentang Raga Padmi? Ah, nurel benar-benar menemaniku membaca.

Membuka Raga Padmi, harusnya dari awal aku sadar bahwa raga adalah tubuh, dan padmi adalah perempuan, dan tentunya membuka raga padmi adalah membuka segala hal tentang perempuan, ya dan memang itu yang kutangkap dari raga padmi yang ditulis Nurel, mengungkap banyak hal tentang perempuan, mulai keindahan fisik, psikis, kasih-sayang serta segala kenikmatan dan kenyamanan yang diisuguhkan sosok perempuan, yang menaruh surga di bawah telapak kaki bagi anak-anaknya, memberi kenikmatan bagi lelaki di selangkangannya, menyajikan segala keindahan yang memukau bagi pemujanya. Semua diungkap Nurel pada tiap larik kalimatnya yang tak perlu kusebut satu persatu, biar pembaca penasaran dan membacanya sendiri. Jika kemarin di masa skripsi aku mengkaji soal perempuan dalam puisi Rendra, maka jika sekarang ada mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang akan skripsi, aku menyarankan untuk mengkaji citra perempuan dalam puisi Membuka Raga Padmi karya Nurel.

Bedah buku Kidung Jaran Dawuk di Sanggar Suket, Sabtu 9 Februari yang lalu adalah bedah ke empat dari lima kali bedah yang terencanakan di bulan Januari-Februari, pertama di MAN Badas yang di selenggarakan Sanggar Seni Kreatifitas Arek Kediri dengan apresiator Nur Cholis dan cak Agus Haris, ke dua di Sanggar Pena Ananda Tulungagung dengan apresiator kang Siwi dan kang St Sri Emyani, ke tiga di Smart ILC Pare dengan apresiator kang Tulus Setyadi Madiun dan mbakyu Ary Nurdiana Ponorogo, sedang di Kedai Baca Suket dengan apresiator Zeus Anggara dan kang Sabrank Suparno. Sesungguhnya direncanakan pembedah tiga orang dengan kang Cucuk SP, saying beliau berhalangan hadir. Bedah di KBS itu adalah bedah terdahsyat dibanding tiga kali sebelumnya, yaitu dihadiri para dedengkot sastra di Jatim, selain Nurel dari Lamongan, dari Malang ada Deny Mishar, Ali Sarbini Gresik, Agus Rego Ilalang Nganjuk, Ahmas Fathoni Mojokerto, dan berapa nama lain dari Jombang seperti cak Fahrudin Nasruloh yang sekarang sudah almarhum, dan Rahmat Sularso RH. Juga berapa kawan dari Kediri; cak Supri, Cak Juwaeni, dari Madiun cak Tulus dan Tulungagung kang Siwi sekalian. Serta lainnya yang aku gak hafal.

Di sana aku banyak dapat masukan buat bahan referensi bagi karyaku ke depan. Dan dahsyatnya bedah hari itu, masih terasa sampai hari ini, sebelum kumulai nulis cerita ini, wakyu itu kulihat perdebatan di catatan kang Sabrank tentang makalahnya untuk bedah bukuku itu, sampai kulihat dancuk-dancukan antara kang Sabrank dan Almarhum fahrudin, dan kawan lain (sungguh kenangan yang tak terlupakan dengan almarhum cak Fahrudin, yang tak mungkin dapat terulang lagi). Wah wah, jan eram, tapi saya gak kaget, sudah biasa cak Sabrank cangkeme rusak, sama seperti cangkemku, cangkem orang liar, orang bengkel, ketemu kawan pertama kali meluncur dari mulut: cok pie kabarmu? Nang ndi wae su ratau katon? Persis seperti ketika aku membaca Raga Padmi, di tiap bait kalimatnya kalau kang Sabrank bilang mbokne hancok, aku bilang Jancok njaran. Kalau gak percaya, coba deh baca sendiri, jika ingin misuh gak karuan tiap habis baca per baitnya.

Setelah selesai membaca Raga Padmi, aku mulai menapaki lembaran hukum pecinta, yang lagi-lagi membikin pusing kepala, aku memaksa juga menyelesaikannya meski tak berapa banyak yang aku dapat, tetapi di sana aku mendapati cara menemukan diriku yang kucari di II;VI “Jadilah kekupu waktu menerima berkepompong terlebih dulu, lama memintal benang sutramu akan anggun begitu tampil.” Ya, itulah yang aku cari. Ketika dalam bedah bukuku kang Sabrank mengatakan aku tergesa menasional, sedang menasional itu berawal dari yang paling dekat, bagaimana bisa menjadi nasional jika yang paling dekat tidak kita kenal. Dalam karyaku aku menyuarakan suara orang Indonesia, menyatakan ketidak terimaanku pada pemerintahan, pada orang di Jakarta, sedang suara rakyat Jaran Dawuk sendiri sama sakali tidak kusuarakan, dan itu tentu akan membikin aku malu, ketika warga sekelilingku tahu aku menulis lantas mereka bertanya apakah aku juga menyuarakan suara mereka? Suara petani yang kebingungan air, kebingungan dengan harga pupuk yang mahal, kebingungan mau menanam jagung, kedelai atau kacang setelah mati-matian berjuang menanam padi. Lantas kembali aku bertanya, siapa aku sebenarnya? Orang Indonesia? Anak Jaran Dawuk yang hidup di kubangan oli? Atau siapa? Yang menurut bunda Zahro realitas itu tak dapat dikubur begitu saja, sebab nyata benar ketiganya.

Kemudian aku ingat kata Cak Ali Sarbini bahwa bukuku Jaran Dawuk gak ada nyawanya. Secara realitas memang buku bukan makhluk hidup, buku adalah benda mati yang tak bernyawa, yang bernyawa adalah penulisnya, tetapi hendaknya buku dapat berbicara pada pembacanya, mewakili diri pengarangnya. Dan aku melihat dalam Kitab Para Malaikat, nyata itu adalah Nurel, Nurel yang berbicara pada pembacanya. Diri Nurel ada di sana, dari sekian pengembaraannya, menelusuri buku-buku dan ilmu, pengelanaannya dari pondok pesantren ke pesantren. Ya Nurel yang besar dengan cerita kuda sembrani dari neneknya tiap jelang tidur di masa kanak-kanaknya.

Dalam Kitab Malaikat aku lihat banyak diksi menggunakan kata kuda sembrani, kuda sembrani yang bersayap, kuda itu dapat terbang, dan kuda itu adalah kuda malaikat, yang barangkali serupa buroq yang dikendarai Rosullulah waktu Isra-mikrat. Dari masjidil Harom ke masjidil Aqso hingga Sidrotul Muntaha berjumpa Tuhan dan mendapat perintah sholat. Tampilan/ penyusunannya pun disusun serupa kitab, membaca tiap judulnya seolah membaca nama surat dalam Alquran, dan tiap baris kalimatnya yang selau dikasih nomor selayaknya ayat-ayat. Melihat susunan itu juga alur bahasanya, Sekali lagi aku melihat Nurel yang akrap dengan Alquran dan kitab lainnya waktu di pondok pesantren.

Melihat keberhasilan nurel dalam kitab malaikat, aku semakin menyadari ketidak tahuanku pada diriku sendiri, siapa aku? Dimana aku? Seperti kebingunganku pada berapa hari yang lalu. Hari Sabtu, sebelum berangkat ke Jombang aku masuk kerja meski badanku sakit tak karuan, mau bolos tak berani sebab liburku dah berkali-kali, rekor bolos kerja di bengkelku aku nomor wahid, dalam satu bulan minimal aku bolos sepuluh kali, kadang pernah satu bulan aku masuk kerja cuma kurang sepuluh hari. Sabtu itu aku gak mau bolos lagi, soalnya Minggunya aku akan ada di Jombang. Sabtu malam bedah bukuku dan Minggu sore baru akan pulang. Di tempat kerja aku tidak bekerja, aku cuma tiduran di bangku bus, untuk mengusir jenuh aku buka FB, aku baca “Malam Bulan Pucat Pasi” yang ditulis kang Siwi, yang merupakan penggalan dari novel Trilogi The Legend of Bonorowo garapannya. Tiba-tiba aku tidak di dalam bus, aku ada di atas atap, aku lihat sekeliling, nampak bangunan puri-puri keraton seperti yang kulihat pada film di televisi, aku bingung, di mana aku? Bukankah tadi aku di dalam bus? Kenapa sekarang ada di atas wuwungan keraton? Apa aku terseret ke masa ribuan tahun lalu? Aku melihat diriku, aku kembali bingung, kulihat pakaian yang kukenakan bukan lagi baju kerjaku setelan kaos dan celana yang hitam oleh bercak setenpet dan oli, tapi yang kupakai adalah pakaian seorang prajurit, siapakah aku? Apakah aku telik sandi atau prajurit masa lalu?

Kudengar suara gemerit dari bawah, juga kudengar suara desah, jika aku ada di atas bus, harusnya suara desah dan gemerit itu muncul dari keriet pir waktu didongkrak, ketika sedang perbaikan mau menyetel rim, tetapi ketika aku di atas atap kutaraja, suara itu berasal darimana? Kuperhatikan dan coba mencari sumber suara itu, aku mengintip dari celah genting, asataga di bawahku tepat adalah kamar seorang puteri, nampak dia sedang tidur, anggun sekali, seketika aku tak sadar, kurasakan tiga panah menembus jantungku, entah itu panah cinta sang puteri atau panah dari pengawal kerajaan yang melihat aku ada di atas wuwungan kotaraja. Aku tak sadar diri entah berapa lama, sampai kubuka mataku, aku sudah ada di dalam bus kembali.

Aku tak tahu apakah kejadian itu mimpi ataukah halusinasi karena pengaruh baca tuisan kang Siwi, atau itu adalah pepiling dari gustiku agar aku sadar diri, agar aku kembali pada diriku sendiri. Ya, diriku sendiri, seorang anak Jaran Dawuk yang hidup di kubangan oli, bukan di alam puisi. Ya kehadiranku di dunia sastra kusadari seperti kehadiranku di suasana kota raja, aku terpesona paras sang putri, terjatuh cinta pada puisi, hingga aku terpanah, dan kembali di atas bus. Ya kupikir aku harus kembali jadi anak Jaran Dawuk yang hidup dikubangan oli, dan ketika aku jatuh cinta pada puisi, harusnya suara orang-orang Jaran Dawuk yang kuteriakkan, petani yang kebingungan air waktu tanam, gemerit pir, pertemuan baut dan mur, putaran roda-roda. Itu yang harus kuceritakan, kubahasakan. Kecuali aku mau bunuh diri. Bunuh diri dalam artian apa? Seperti yang diceritakan Maman S Mahayana dalam pengantar bukunya Nurel tentang Socrates yang memilih meminum racun ketimbang menghiyanati keyakinannya berekspresi? Lantas di mana letak keyakinanku dalam berekspresi jika aku harus bunuh diri? Atas nama kebebasankah? Bebas berekspresi? Dalam artian bebas di mana? Bebas berteriak sesukaku mengungkapkan apa saja? Bebas lepas tidak menyuarakan suara orang Jaran Dawuk? Bebas lepas dari oli? Kurasa tidak. Aku tak akan bisa lepas dari kenyataan hidupku jika aku mau menjadi aku, mau mengetahui diriku.

Lantas bagaimana dengan Kidung Jaran Dawuk yang tak menyuarakan suara petani di Jaran Dawuk, tak menyuarakan deru kenalpot, dengung mesin, dan gemerit pir? Apakah aku akan mempertahankan kebebasan berekspresi yang lepas dari semua tentang diriku sendiri seperti dalam buku Jaran Dawuk itu, yang nyata jika itu kulakukan adalah perbuatan bunuh diri. Dan aku pun telah melakukannya, telah bunuh diri dengan buku itu. Kemudian kuingat kata kang Deni Mishar dalam bedah bukuku itu juga, dia mengatakan, tentunya orang akan berfikir seribukali untuk bunuh diri, andaipun terpaksa bunuh diri, maka cukuplah sekali, jangan bunuh diri berkali-kali.

Jauh sebelum aku meluncurkan buku Jaran Dawuk, aku pun sadar tentang buku itu, yang sebagaimana kukatakan di pengantar yang kutulis, jika itu belum pantas dianggap puisi, maka anggaplah sebagai bagian dari proses bagi anak Jaran Dawuk untuk mencapai taraf yang disebut puisi. Aku teringat waktu bedah di Smart ILC, seorang dari yogya mengatakan bahwa komunitasnya di Yogya telah melanglang buana di berbagai media masa di Indonesia, tetapi belum berani menerbitkan buku, tetapi kenapa aku berani? Dengan mudah aku menjawab, apa yang aku takutkan? Bukuku tak laku dijual dan merugi? Apakah aku takut kritik? Aku tidak takut rugi, dan bukankah dengan kritik kita kan dapat belajar menjadi lebih baik lagi. Sudah sejak jaman dahulu proyek buku puisi adalah proyek merugi, tapi bagiku menulis adalah ibadah, dan tidak ada kata rugi dalam beribadah. Selain itu, buku jika tak terjual juga tidak akan basi seperti nasi, yang begitu basi dibuang, tapi sejelek apapun buku/ karya akan tetap ada yang menghargai, setidaknya diri kita sendiri, sebab sebagaimana dikatakan Nurel padaku ketika itu, “Bagaimana mungkin orang lain menghargai karya kita, kalau kita sendiri tak menghargainya.”

Yang pernyataan itu sempat kukatakan terbalik: “bagaimana kita menhargai karya orang lain jika tidak menghargai karya sendiri. Dan meskipun kukatakan terbalik seperti itu Nurel berkata: “Kau balik seperti itu juga tak apa, dengan menyebut pendapatku juga dengan kepahamanmu di atas, kayaknya asyik.”

Dalam bedah bukuku di Jombang kemarin aku mendapatkan banyak kritikan, yang semua aku terima dengan sangat terimakasih, betapa besarnya perhatian kawan-kawan padaku, pada dunia sastra, mereka meluangkan waktu, biaya dan tenaga dari kotanya datang ke Jombang, meluangkan fikiran untuk menilai karyaku dan memberikan masukan. Sungguh luar biasa, dan seperti kukatakan pada bunda Zahro aku serasa ingin menangis haru, ketika melihat foto bersama kami di acara itu. Terimakasih berulang kuucapkan pada kawanku semua, atas kehadirannya, masukan-masukannya yang telah menyadarkan aku siapa diriku yang sebenarnya dan mengantar aku kembali pada diriku yang sesungguhnya “Anak Jaran Dawuk yang hidup di kubangan oli”. Aku ingat cak Juwaeni, yang ketika melihat aku mendapatkan banyak kritikan, bahkan ketika dikatakan bukuku tidak bernyawa, beliau mengajak untuk melihat dari segi kedalaman makna dan proses kreatif yang ada, tidak cuma melihat dari tampilan luar saja. Yang itu dijawab Nurel dengan mengatakan, bagaimana tertarik melihat isinya, melihat baris pertama dan ke dua saja sudah tidak menarik. Ya benar kata cak Ju, ibarat melihat orang jangan cuma melihat luarnya, jangan cuma melihat tampilan rambut gondrong dan tatoan lantas menyimpulkan, tanpa melihat kebaikan dalam hatinya, tetapi memang yang berlaku di masyarakat umum kebanyakan demikian, melihat penampilan luar saja dahulu. Sebagaimana Benar juga kata Nurel, jika tampilan luar tak menarik, sudah memberikan kesan buruk, bagaimana mau melihat ke dalam.

Dan kesimpulanku adalah, bagaimana pun kebaikan jika tidak disampaikan dengan cara yang baik, akan sulit diterima orang lain. Sebagaimana yang kubaca berapa waktu lalu di sebuah buku di rumah kang Prio Pambudi, seorang sastrawan sekaligus pengusaha aquarium di Trenggalek, dalam puisi sebagaimana pun dalam yang makna disampaikan, tetapi jika tidak mengindahkan bahasanya maka akan sulit diterima demikian pula sebaliknya, sebagaimana pun indah bahasanya jika tidak menghiraukan makna, maka akan tidak berguna. Lain hal bukuku dengan buku Nurel, yang senyata tak dapat dibandingkan, layaknya prosesku dan proses Nurel yang memang belum dapat di setarakan, memang harus diakui bahwa Kitab Para Malaikat, tak cuma menyuguhkan keindahan bahasa tetapi juga kedalaman makna yang disampaikan khas cara Nurel. Meskipun belum semua yang ada dalam Kitab Malaikat dapat kumengerti sebab kedangkalan pengetahuanku.

Ketika itu aku mulai aku telah menyadari diriku sendiri, sebagaimana dikatakan mbak Ary dalam bedah di Smart ILC bahwa aku masih mencari jatidiri, dan ketika itu bak Ary mengatakan jika jati dirinya adalah seorang guru maka kukatakan jatidiriku adalah seorang mekanik. Yang jadi PR-ku kini, bagaimana aku dapat mengusung pesan yang bermakna dengan cara/ bahasa yang menarik sehingga dapat mudah diterima, dan menunjukkan kesejatianku sebagai anak Jaran Dawuk yang hidup di kubangan oli. Itulah yang ketika itu aku belum tahu dan hingga kini terus kucoba gali. Dan kebelum tahuanku ketika itu seolah menjadikan aku mati, tetapi Nurel menyadarkanku melalui Hukum-hukum Cinta II;VI: “Untuk sedia menjadi kepompong dahulu, merenung dan menyatu dengan alam Jaran Dawuk, merenungkan oli dan besi-besi di garasi.

Setelah bedah di jombang itu aku masih punya satu kesempatan lagi menjadi ulat bulu, yaitu bedah bukuku di Mojokerto tanggal 23 Februari, Acara yang diselenggarakan Komunitas Arek Japan (KAJ) yang diketuai Ahmad Fatoni, dengan pembedah Bpk Khamim Kohari. Ketika itu aku bertekat akan memakan setiap helai daun pelajaran di sana nanti yang akan kulanjutkan dengan menjadi ulat di Kitab Malaikat, mengerogoti tiap kalimat. Ya, aku akan terus membaca Kitab Malaikat sampai tamat, agar aku dapat segera berkepompong dan kelak mampu menjadi salah satu malaikat.

Sebagai penutup cerita, kukatakan pada saudaraku sekalian, inilah cerita dari bedah buku Kidung Jaran Dawuk sampai pada Kitab Para Malaikat. Cerita bunuh diriku, ceritaku menjadi ulat bulu, yang ketika itu kupikir dengan dengan hasil bedah di Jombang itu akan menyurutkan penjualan buku Jaran Dawuk atau mungkin semakin membunuh diriku, menjatuhkanku, tetapi ternyata tidak. Dari 500 eksemplar yang kucetak kini hanya tersisa beberapa puluh buku saja. Alhamdulilah kritik itu malah membuat semakin laris. Bahkan pada 13 Juni 2013 lalu aku diundang ke di aula kantor PKK Kab Nganjuk untuk bedah buku Jaran dawuk, ketika itu dengan pembedah Cak Juwaeni dan Kang Arim Kamandaka dari Ponorogo. Inilah pengalaman yang kuceritakan yang mungkin dapat berguna bagi orang lain sebagai bahan pelajaran. Terakhir kukatakan sebagai penutup cerita, jika puisi itu serupa ilham, bacalah Kitab Para Malaikat. Salam hormat , dan selamat berkarya.

19 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Hana N.S A. Iwan Kapit A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aa Sudirman Abd. Basid Abdul Aziz Rasjid Abdul Ghofar Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Muid Badrun Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdullah Ubaid Matraji Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abonk El ka’bah Acep Zamzam Noor Ach. Nurcholis Majid Achmad Farid Tuasikal Achmad Maulani Adi Faridh Adi Marsiela Adi Sucipto Adian Husaini Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrian Ramdani AF. Tuasikal Afnan Malay Afrizal Malna AG Hadzarmawit Netti AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Majestika Aguk Irawan M.N. Agung Prihantoro Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R Sarjono Agus S Warman Agus Sri Danardana Agus Sulton Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Rafiq Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syafii Maarif Ahmad Taufik Ahmad Thohari Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Al-Fairish Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Ali Irwanto Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Alvi Puspita Amang Mawardi Ambarukminingsih Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Amirullah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andhi Setyo Wibowo Andik Nurcahyo AndongBuku #3 Andry Deblenk Anindita S. Thayf Aning Ayu Kusuma Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anwari WMK Aprillia Ika Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Arif Firmansyah Arifun Najib Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arys Hilman Asarpin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asri Bariqah Awalludin GD Mualif Azumardi Azra Azyumardi Azra Baca Puisi Badaruddin Amir Balada Bambang kempling Bambang Satriya Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benni Indo Benny Benke Benny D Koestanto Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Koran Bernada Rurit Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Palopo Budi Purnomo Buldanul Khuri Bunda Zakyzahra Tuga Bungaran Antonius Simanjuntak Candrakirana Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Che Guevara Coronavirus Cover Buku Kritik Sastra Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi II Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi IV Cover Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi V D. Zawawi Imron Dadan Maula Darmawan Dadang Ari Murtono Dahlan Kong Damanhuri Zuhri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Dedykalee Deni Ali Setiono Deni Jazuli Denny Ardiansyah Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan Dewi Indah Sari Dhanu Priyo Prabowo di Bluri di Karangasem Dian Sukarno Diana AV Sasa Diana Ifrina Ernawati Dinas Komunikasi dan Informatika Prov. Jatim Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dini Tri Dinoroy M. Aritonang Dion Maulana Prasetya Diskusi buku Djaka Susila Djenar Maesa Ayu Djesna Winada Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Budiono Herusatoto Drs H Choirul Anam Drum Band MI Miftahul Ulum (Kuluran) Dudi Rustandi Dunia Penerbitan Indonesia Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Nikmatika Roma Dwi Pranoto Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddy D. Iskandar Edeng Syamsul Ma’arif Edi Faisol Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elly Burhaini Faizal Elly Trisnawati Ellyn Novellin Emerson Yuntho Emha Ainun Nadjib Emil WE Endang Supriyadi Endi Haryono Endri Y Erdogan Esai Esha Tegar Putra Esme Fadliha Etik Widya Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fadjriah Nurdiarsih Fahmi Fahrudin Nasrulloh Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faris Al Faisal Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Felix K. Nesi Festival Mocosik Festival Seni Internasional 2010 Yogyakarta Festival Seni Internasional 2014 Yogyakarta Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan festivalsenisurabaya.com Fikri. MS Firdawsi Fortus Pake Forum Lingkar Pena Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Foto Franditya Utomo Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Magnis-Suseno Friski Riana Fuad Hasan Nasihin Fuji Pratiwi Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawa Gede Mugi Raharja Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gedung Sangbala Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gito Waluyo Goenawan Mohamad Golput Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma’ruf Amin Gus Dur H Ikhsan Effendi H. Usep Romli H.M H.B. Jassin H.O.S Cokroaminoto Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Hadi Napster Hadziq Jauhary Halim H.D. Halimatussa’diyah Hamberan Syahbana Hamluddin Hana Pertiwi Hanif Nashrullah Hardono Haris del Hakim Haris Firdaus Haris Priyatna Haris Saputra Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Basri Hasan Junus Hasanuddin WS Hasnan Bachtiar Helmi Y Haska Helmy Tasaufy Hera Khaerani Herdiyan Heri C Santoso Heri Latief Herman Herman Hasyim Herman RN Herry Lamongan Herry Mardianto Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Homaedi I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I Wayan Seriyoga Parta IBM. Dharma Palguna Ibnu PS Megananda Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Mustofa Imam Nawawi Imam Qodim Al-Haromain Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Imelda Imron Arlado Imron Rosidi Imron Rosyid Imron Tohari Indrian Koto Ingki Rinaldi Ipik Tanoyo Ire Irvan Sihombing Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismet NM Haris Ismi Wahid Isnanur Janah Iswadi Pratama Isyana Artharini Iwan Nurdaya-Djafar Iwank Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Janual Aidi Javed Paul Syatha Jazzi Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jembatan Kuno Yang Misterius Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Jodhi Yudono Jogjanews.com John Joseph Sinjal Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Paket Hemat Juara Ke 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jumartono Jurnalisme Sastra Jusuf A.N K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.Y. Karnanta Kadjie Mudzakir Kaheesa Kirania Putri Ayu Kang Daniel Kapal Nabi Nuh Karanggeneng Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kautsar Muhammad Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) KH Abdul Ghofur KH Bisri Syansuri KH. Abdul Aziz Masyhuri KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khoirul Abidin Khoirul Inayah Ki Ompong Sudarsono Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kika Dhersy Putri Kitab Arbain Nawawi KITLV Koh Young Hun Koko Sudarsono Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopi Sunan Drajat Kopuisi Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Krisman Kaban Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kulonprogo Kurnia Effendi Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswinarto L Ridwan Muljosudarmo Laboratorium Sinematografi dan Pertunjukan UNISDA Lamongan Lagu Lailiyatis Sa'adah Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Sarmili Literasi Liza Wahyuninto Lugiena De Lukas Adi Prasetyo Lukisan Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lusia Kus Anna Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Lutfi M. Mushthafa M. Romandhon M. Sunyoto M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M’Shoe Made Geria Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahrus eL-Mawa Majelis Ulama Indonesia Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcus Suprihadi Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Maruli Tobing Mashuri Masuki M. Astro Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Wulan Medco Media Lamongan Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Meka Nitrit Kawasari Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka MI Thoriqotul Hidayah Pilang 1 Mia Arista Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Miftahul A’la Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Ghufron Cholid Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Samsul Arifin Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Ali Athwa Mohammad Eri Irawan Mohammad Rafi Azzamy MTs Putra-Putri Simo Sungelebak Muh Kholid A.S Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Amin Muhammad Arif Muhammad Aris Muhammad Eko Nugroho Muhammad Hidayat Muhammad Muhibbuddin Muhammad Musa Muhammad N. Hassan Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mukafi Niam Mukhsin Amar Mulyani Hasan Mulyo Sunyoto Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Munawir Aziz Muntamah Cendani Musfarayani Musfi Efrizal N. Syamsuddin CH. Haesy Nadine Tri Duhita Naim Nanang Suryadi Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Nara Nazaruddin Azhar Neli Triana Ngatini Rasdi Nh. Anfalah Ni Luh Made Pertiwi F Ni Made Frischa Aswarini Ninuk Mardiana Pambudy Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noval Jubbek Noval Maliki Novel Novel Pekik Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Hayati Nur Kholiq Nur Kholis Huda Nurani Soliha Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Ochi Oil on Canvas Oky Sanjaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Paciran Pameran Seni Rupa Pangkah Kulon Ujungpangkah Gresik Panji Satrio Patung Sphinx PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan 2020 Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit Progresif Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Peringatan Hari Santri TPQ Al-Hidayah 22 Oktober 2017 Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren Sunan Drajat Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Pilang Tejoasri Lamongan Jawa Timur Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Pendopo Watu Bodo Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prosa Proses Kreatif Puisi Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka GU Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. N. Bayu Aji R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rafita Dewi Rahmah Maulidia Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rameli Agam Rana Akbari Raras Cahyafitri Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Revdi Iwan Syahputra Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Ridlwan Ridwan Munawwar Riki Utomi Rinny Srihartiny Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robert Adhi Kusumaputra Robin Al Kautsar Roby Karokaro Rodli TL Rof Maulana Rofiqi Hasan Rojiful Mamduh Rokhim Sarkadek Rosdiansyah Rosi Rosidi Rudi S. Kalianda Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rx King Motor S Jai S Yoga S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Sabrina Asril Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salim Alatas Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saratri Wilonoyudho Sari Oktafiana Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sejarah SelaSastra SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang Selvie Monica S Sendang Duwur Tahun 1920 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Shohebul Umam JR Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sifa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simon Saragih Sirikit Syah Siti Muti’ah Setiawati Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Slavoj Zizek Soelistijono Soetanto Soepiadhy Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Sohirin Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Mulyani Sri Wintala Achmad ST Indrajaya Stanley Adi Prasetyo Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sudirman Hasan Sugeng Ariyadi Sugeng Wiyadi Sugiarto Sugito Wira Yuda Suhartono Sujatmiko Sukardi Rinakit Sukitman Sumenep Sunarno Wibowo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susie Evidia Y Sutamat Arybowo Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Suyatmin Widodo Svet Zakharov Syaf Anton Wr Syaiful Bahri Syaiful Irba Tanpaka Syaiful Mustaqim Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syi'ir Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tanjung Kodok Tahun 1947 Tasman Banto Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Ganast MAN Lamongan Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Sakalintang Teater Sangbala Teater Sundra Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tewol Teater Tewol Lamongan Teguh LR Teguh Winarsho AS Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thamrin Dahlan Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute (IHI) Thohir Thompson Hs Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto To Take Delight Toni Munajat Tosa Poetra Tri Andhi S Tri Wahono Trisno S. Sutanto Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Unieq Awien Universitas Airlangga Surabaya Universitas Jember Untung Basuki Ustadz Charis Bangun Samudra Utami Diah Kusumawati Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Wahyu Aji Wahyudi Zuhro Wan Anwar Warjati Suharyono Wawan Eko Yulianto Wawan Hudiyanto Wawancara Wayan Sunarta Welly Suryandoko Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yanuar Jatnika Yanuar Yachya Yaumu Roikha Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yerusalem Ibu Kota Palestina Yesi Devisa YF La Kahija Yogyo Susaptoyono Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudi Latief Yuli Yuni Ikawati Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zahrotun Nafila Zaim Uchrowi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimras Zen Hae Zuhdi Swt