Yohanes Sehandi *
Majalah Kabar NTT (terbitan Kupang), edisi: 30, April 207
Saya membaca dan memburu karya-karya sastrawan Indonesia kelahiran Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Gerson Poyk sejak tahun 1981, 36 tahun yang lalu. Pada waktu itu saya kuliah di IKIP Negeri Semarang (1981-1985) yang kini menjadi Universitas Negeri Semarang, Unes. Awalnya, di perpustakaan kampus saya membaca bolak-balik sebuah buku kumpulan karya para sastrawan Indonesia suntingan Ajib Rosidi. Buku tebal dengan kover menarik itu berjudul Laut Biru Langit Biru (1977). Salah satu karya yang terhimpun dalam buku itu adalah cerpen Gerson Poyk berjudul “Mutiara di Tengah Sawah.” Cerpen ini diambil Ajib Rosidi dari majalah Sastra edisi Nomor 6, Tahun I, Oktober 1961. Disebutkan, cerpen ini mendapat penghargaan sebagai cerpen terbaik majalah Sastra tahun 1961 itu.
Saya sungguh terharu membaca cerpen tersebut. Isinya bercerita tentang kehidupan seorang guru sekolah rakyat (SR) yang mengajar di desa terpencil. Pak Guru hidup serba kekurangan dengan gaji kecil. Tidak hanya kecil, gaji juga diterima sekali dalam satu tahun, bahkan sekali dalam dua atau tiga tahun. Untuk menuju ke sekolah, Pak Guru melewati sungai. Kalau sedang banjir, Pak Guru menyeberang sungai dengan menjunjung tas dan celana panjang di atas kepala. Sesampai di seberang kali celana panjang dipakai lagi, sedangkan pakaian dalam yang basah dijemur di atas batu, diambil sewaktu pulang sekolah.
Pak Guru menjalani kehidupannya bertahun-tahun seperti apa adanya. Meski hidup sengsara di desa terpencil, Pak Guru menjalaninya dengan penuh pengabdian dan tawakal. Suatu saat dia gembira meski sempat kaget, di dalam saku celananya ditemukan sejumlah uang. Uang itu dari mana? Karena tidak ditemukan asalnya, dia berpikir mungkin uang-uang itu miliknya sendiri yang terselip di saku celana dan lupa diambil. Dengan uang itu dia membayar banyak utang dan bon yang belum dibayar kepada warga masyarakat.
Kehidupan sehari-hari Pak Guru membuat iba seorang gadis desa yang setiap hari bekerja menyiangi sawah orang tuanya di seberang kali tempat Pak Guru lewat setiap hari ke sekolah. Sudah berbulan-bulan si gadis desa memperhatikan Pak Guru yang dengan setia ke sekolah memakai sandal kumal, dengan celana panjang yang itu-itu saja, yang juga sudah kumal. Kalau celananya basah sewaktu melewati sungai, Pak Guru menunggu celananya kering di atas batu, baru lanjutkan ke sekolah. Meskipun sang gadis anak orang miskin, ia berniat untuk membantu Pak Guru, tetapi malu dan tidak tahu caranya bagaimana.
Suatu pagi, sewaktu Pak Guru melewati sawah seberang kali, dia melihat si gadis desa tengah mencari-cari sesuatu di atas pematang sawah. Pak Guru bertanya, apa yang dicari. Dijawab, dia sedang mencari uangnya yang hilang dan diperkirakan jatuh di sekitar pematang sawah. Pak Guru ikut mencari uang itu, tetapi sia-sia. Pak Guru merasa kasihan kepada si gadis yang kehilangan uang. Tiba-tiba muncul idenya bahwa dialah yang mengambil uang si gadis, dan berencana besok dia minta maaf dan menyerahkan uang itu kepada sang gadis.
Keesokan paginya, sewaktu ke sekolah, dia mendapati sang gadis dan menyerahkan uangnya, bahwa dialah yang mengambil uang si gadis. Si gadis tidak mau menerima, karena bukan Pak Guru yang mengambil uangnya. Pak Guru bersikeras bahwa dialah yang mengambilnya. Si gadis juga bersikeras menolaknya. Karena gagal meyakinkannya, Pak Guru sepulang sekolah pergi menemui orang tua sang gadis untuk kembalikan uang itu dan minta maaf bahwa dialah yang mengambil uang yang hilang itu. Gadis desa yang lugu itu bersikeras menolak uang itu karena dia tidak pernah kehilangan uang. Pak Guru terenyuh, ternyata uang yang ditemukan dalam saku celananya adalah uang si gadis yang diam-diam dia selipkan dalam saku celana Pak Guru yang sedang dijemur di atas batu pinggir sungai.
Kira-kira seperti itulah isi singkat cerpen “Mutiara di Tengah Sawah” yang saya baca pada tahun 1981, 36 tahun lalu. Secara garis besar isi cerita masih membekas di hati. Saya membayangkan Pak Guru dalam cerpen itu seperti guru-guru SD di kampung saya di Manggarai pada tahun 1960-an. Di samping terharu, saya juga bangga karena sastrawan Gerson Poyk berasal dari Provinsi NTT, lahir di Namodale, Pulau Rote, pada 16 Juni 1931.
Sejak tahun 1981 itulah saya memburu karya-karya Gerson Poyk, baik yang tersebar di berbagai majalah dan surat kabar maupun dalam bentuk buku. Karya sastra Gerson tersebar di banyak majalah dan surat kabar, baik yang serius maupun populer, termasuk majalah wanita. Saya membaca dan mengklipingnya. Buku-buku Gerson, baik yang lama maupun yang baru saya beli dan koleksi. Saya merasa bangga, sampai dengan tahun 2017 ini, saya berhasil mendokumentasikan karya-karya Gerson sebanyak 29 judul buku. Adapun perinciannya, 13 judul buku novel, 14 judul buku kumpulan cerpen, satu judul buku kumpulan puisi Dari Rote ke Iowa (2015) dan satu judul karya jurnalistik bergaya sastra Keliling Indonesia: dari Era Bung Karno Sampai SBY (2010).
Membaca karya-karya Gerson, ingatan kita langsung ke wilayah Timur Indonesia, yakni ke Provinsi NTT. Kita sebagai pembaca dibawa menjelajahi wilayah dan masyarakat NTT. Betul sekali kesaksian Maria Matildis Banda, Marsel Robot, Anwar Pua Geno, Esthon Foenay, dan Jefri Riwu Kore dalam Pos Kupang (25/2/2017) bahwa “akar imajinasi” Gerson Poyk ada di Provinsi NTT. Cerita-cerita Gerson sederhana, unik, lucu, memikat, terkadang mengejutkan, namun tetap terselip nilai pendidikan dan moral kemanusiaan universal.
Konteks cerita Gerson Poyk dalam karya-karyanya bukan di kota, tetapi di daerah-daerah, bahkan daerah-daerah terpencil. Kalaupun latarnya kota, tetapi tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita mempunyai masa lalunya di daerah, yang muncul di kota karena terhanyut urbanisasi. Tema ceritanya tentang kampung, hutan, kebun, sawah, air pegunungan, padang ilalang, sabana, tentang orang desa, pengalaman iris tuak, pikul kayu, masak air nira, buat jerat babi hutan, buat gubuk pakai daun lontar, tentang kebun kopi, kerja sawah, dagang kerbau, main judi, pesta rakyat, buka kebun baru, dan berbagai cerita khas masyarakat desa, yang dengan gampang dihubungkan dengan kekhasan orang-orang NTT.
Membaca karya-karya Gerson seolah-olah menghadirkan kembali kenangan masa lalu kita di desa. Sebagian besar tokoh cerita Gerson orang-orang NTT. Kalau bukan orang NTT, tentu orang Maluku atau NTB, dua provinsi di mana Gerson pernah menjadi guru, yakni guru SMP Negeri dan SGA Negeri di Ternate (1956-1958) dan guru SMP Negeri dan SGA Negeri di Bima (1958-1963). Membaca Gerson Poyk adalah membaca NTT. Gerson adalah inspirasi untuk NTT. *
*) Pengamat Sastra NTT dari Universitas Flores, Ende.
http://yohanessehandi.blogspot.co.id/2017/04/gerson-poyk-inspirasi-untuk-ntt.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar