Lina Kelana
http://media-sastra-nusantara.blogspot.com/
Ada pertanyaan yang sampai sekarang —bagi saya— belum menemukan jawaban yang benar-benar obyektif. Dan ternyata, memang keobyektifan tak selamanya obyektif; tanpa teori, prasangka, opini, dan sebagainya.
Menurut yang saya perhatikan, juga beberapa kutipan (share) ketika ngopi dengan beberapa senior di warung, kafe, dan semacamnya. Perbincangan tetap menemu jalan buntu -masih seperti itu sampai sekarang. Dan tak pernah ada yang membuktikan bahwa jawaban-jawaban yang dihasilkan benar-benar dari penelitian/kajian yang spesifik. Hal yang masih memenuhi benak adalah petanyaan tentang, pertama, apakah sebuah karya sastra bisa dibedah oleh selain genre tulisan (cerpen, novel, puisi, karya ilmiah, agama, dan lainnya) yang dibedah?
http://media-sastra-nusantara.blogspot.com/
Ada pertanyaan yang sampai sekarang —bagi saya— belum menemukan jawaban yang benar-benar obyektif. Dan ternyata, memang keobyektifan tak selamanya obyektif; tanpa teori, prasangka, opini, dan sebagainya.
Menurut yang saya perhatikan, juga beberapa kutipan (share) ketika ngopi dengan beberapa senior di warung, kafe, dan semacamnya. Perbincangan tetap menemu jalan buntu -masih seperti itu sampai sekarang. Dan tak pernah ada yang membuktikan bahwa jawaban-jawaban yang dihasilkan benar-benar dari penelitian/kajian yang spesifik. Hal yang masih memenuhi benak adalah petanyaan tentang, pertama, apakah sebuah karya sastra bisa dibedah oleh selain genre tulisan (cerpen, novel, puisi, karya ilmiah, agama, dan lainnya) yang dibedah?
Kedua, bagaimana jika penilai berasal dari selaian genre tulisan yang hendak dibedah —namun masih terkait-dipertemukan dalam satu meja, kemudian membahas karya tersebut dari segi (cara pandang) disiplin ilmu dan kajian dari masing-masing genre tersebut. Saya bayangkan, akan banyak muncul perdebatan dan perselisihan, dan harapan positifnya adalah akan muncul simpulan baru yang lebih inspiratif dan spektakuler (jika bisa), saya yakin, hal tersebut akan memperkaya khasanah “keilmuan” baik secara akademisi maupun praktek.
Pertama, semisal cerpen. Bisakah cerpen dibedah dan dianalisis oleh penyair? Atau, bisakah puisi didedah oleh novelis/cerpenis? Dari sebuah perbincangangn dengan sahabat, ia mengatakan bahwa baik puisi, cerpen, dan novel, itu muncul dari dan dengan beragam tema. Mulai dari filsafat, moral, sosial, dan sebagainya. Selain dari tata bahasa dan teori kebahasaan, tentu masing-masing tak bisa disamakan dan disejajarkan dalam satu garis lurus yang kaku. Bukan karena mana yang memiliki kedudukan tinggi dan rendah, tidak. Tetapi lebih kepada, memang dari awal, mereka berbeda—selain dari nama dan karakter (puisi, cerpen, novel, dan seterusnya).
Misal pada sebuah puisi; *seorang esais, dia akan menguliti dan membedah puisi dan menilainnya dari segi teori. Seorang cerpenis dan novelis akan menilainya dari pesan yang di dalamnya —selain alur— sebab bagi mereka, tema adalah hal yang paling krusial dan penting menjadi satu jejak rekam yang saling bertaut, sedang penyair menilainya dari “hati”(lebih umumnya dikenal “suci” dari apapun). Jadi, bagaimana jadinya jika puisi dibedah oleh cerpenis novelis? Atau cerpen/novel dibedah oleh penyair? Jelas hasil apresiasi yang didapatkan kurang akurat. Kecuali jika seseorang memiliki ketiga talenta tersebut. Dan, itupun belum bisa dipastikan akan memberikan sebuah penilaian yang mendekati tepat. Jika tidak, maka sang penilai akan berangkat dengan membawa beberapa kajian (berupa teori dan semacamnya) untuk “mengklaim” karya yang dianalisa dari sudut pandang disiplin ilmu yang dimilikinya. Dia akan berusaha dengan maksimal untuk bisa “membaca” dan “mengeja”nya dengan sempurna. Namun apa jadinya jika usaha kerasnya tersebut gagal? Hal yang muncul kemudian adalah, mengeluarkan banyak jurus untuk bisa membedah dengan perform yang sempurna—atau, mendekati sempurna. Tentu saja kurang cocok, bubur dimakan tanpa sendok. Disiplin keilmuan diciptakan untuk memperkaya pengetahuan dan bisa menjadi bahan efektif bagi sebuah pengkajian dan penelahaan terhadap pengetahuan yang lebih dalam atau baru. Lain ceritanya manakala, ketiga unsur dihadirkan dan berdiskusilah dari masing-masing pandangan, dan menghubungkan ketiganya sebagai cabang-cabang pemikiran yang akhirnya digunakan untuk menarik garis besar dari akar masalah yang ada. Jika harapan –terhadap hal—ini berhasil, maka dapatlah diciptakan sebuah teori baru yang orisinil dan komprehensif. Ini akan memperkaya khazanah keilmuan sastra di dunia sastra, bukan? Bukankah teori itu muncul setelah kejadian; praktek?
Seumpama kita salah menempatkan sesuatu menurut tempatnya, maka yang tercipta bukan hanya peta baru, tetapi juga medan baru untuk sebuah arena gladiator amatir. Masing-masing akan membawa asumsi-asumsi subyektif yang sebelumnya muncul sebelum pertemuan, prasangka-prasangka, keinginan-keinginan untuk menghakimi. Atau mungkin, ruang senioritas terancam? Bukankan kehadiran diadakan untuk berlaga secara ksatria?
Memang, dalam “melihat” sebuah karya, tak lepas dari “pantauan” siapa yang menciptakan karya sastra tersbut. Apakah sang pencipta seorang bocah ingusan yang biasanya tidur dan tinggal di jalanan, apakah sang pencipta adalah ketua sebuah suku terkenal dari suatu wilayah, atau, apakah sang pencipta karya adalah seorang remaja yang beranjak dewasa atau bahkan seorang dewasa yang tengah masturbasi, atau sedang puber kedua, ketiga? Kita bahkan tidak tahu dari latar apa pemikiran-pemikiran atas ragumentasi-argumentasi penilaian itu tumbuh.
Tentu saja, sang penilai berhak penuh memutus kasus dilanjut atau tidak, dengan tuduhan tersangka atau terdakwa untuk sang penulis karya, atau bebas. Tapi yang perlu digarisbesari adalah, sebuah karya tak pernah benar-benar bisa dihakimi A, B, C, dan seterusnya. Dia akan berbicara sendiri tentang dirinya dan eksistensinya. Ini menjelaskan, bahwa eksistensi memang tak sengaja dan tak bisa dicari, kecuali karya itu sendiri. Jika menurut sang penilai, sebuah karya tak memiliki makna, jelas tak benar. Sebab sebuah kalimat disusun atas dasar pikiran dan pesan-pesan tertentu, yang, walaupun absurd, tetap memiliki isi. Hanya mungkin, sang penilai tak mampu menembus ruang makna yang dituliskan oleh sang penulis. Kita meyakini, bahwa masing-masing kepala memiliki keterbatasan daya tembus memasuki ruang tersebut. Mungkin ruang kosong —karena muksa-, atau ruang samar yang gelap. Atau justru ruang tersebut penuh sesek hingga yang terlihat hanya keremangan, entahlah. Tapi saya yakin, suatu waktu, sang penilai akan mampu menembusnya –tergantung dari bagaiamana kegigihan dan ketelatenannya berusaha— dan tiap individu memiliki kemampuan yang berbeda.
Sebuah tulisan yang tanpa makna hanya ditulis oleh orang gila (orang gila pun di dalam benaknya pasti ada sesuatu yang menggerakkan), atau anak kecil yang sedang tertidur. Mengapa? Sebab saya yakin, anak kecil pun yang menulis, pasti dia memiliki dasar/pikiran mengapa dia menulis sesuatu tersebut.
Artinya, sebuah karya, ruang operasinya adalah jika beberapa ”genre” bertemu dalam ruang-waktu yang sama, di meja yang sama, dan memandang kertas yang sama. Sehingga tak muncul azas praduga tak bersalah untuk membedah seorang pencipta sebuah karya sastra.
Saya sempat berpikir, apakah “kejadian-kejadian” tersebut berlaku untuk semua penilai dan dalam penilaian terhadapa karya sastra? Apakah “ketidaktepatan” penempatan sang penilai tersebut kerap dianggap sebagai kewajaran mutlak dan diamini? Jika demikian, sangatlah ngeri keadaannya. Sebab, “kesalahpahaman” ini bisa menimbulkan beberapa hal yang sangat rawan terhadap timbulnya gap-gap dengan masing-masing menyetempel legitimasi sepihak(nya) yang masih disangsikan kebenarannya. Tentu saja, ini seperti infeksi (entah ringan atau berat) dari injeksi/suntikan untuk kekebalan tubuh, mungkin juga operasi bedah untuk mempercantik wajah dan bentuk tubuh. Bedah plastik yang menimbulkan banyak efek tak menyehatkan.
Pertama, semisal cerpen. Bisakah cerpen dibedah dan dianalisis oleh penyair? Atau, bisakah puisi didedah oleh novelis/cerpenis? Dari sebuah perbincangangn dengan sahabat, ia mengatakan bahwa baik puisi, cerpen, dan novel, itu muncul dari dan dengan beragam tema. Mulai dari filsafat, moral, sosial, dan sebagainya. Selain dari tata bahasa dan teori kebahasaan, tentu masing-masing tak bisa disamakan dan disejajarkan dalam satu garis lurus yang kaku. Bukan karena mana yang memiliki kedudukan tinggi dan rendah, tidak. Tetapi lebih kepada, memang dari awal, mereka berbeda—selain dari nama dan karakter (puisi, cerpen, novel, dan seterusnya).
Misal pada sebuah puisi; *seorang esais, dia akan menguliti dan membedah puisi dan menilainnya dari segi teori. Seorang cerpenis dan novelis akan menilainya dari pesan yang di dalamnya —selain alur— sebab bagi mereka, tema adalah hal yang paling krusial dan penting menjadi satu jejak rekam yang saling bertaut, sedang penyair menilainya dari “hati”(lebih umumnya dikenal “suci” dari apapun). Jadi, bagaimana jadinya jika puisi dibedah oleh cerpenis novelis? Atau cerpen/novel dibedah oleh penyair? Jelas hasil apresiasi yang didapatkan kurang akurat. Kecuali jika seseorang memiliki ketiga talenta tersebut. Dan, itupun belum bisa dipastikan akan memberikan sebuah penilaian yang mendekati tepat. Jika tidak, maka sang penilai akan berangkat dengan membawa beberapa kajian (berupa teori dan semacamnya) untuk “mengklaim” karya yang dianalisa dari sudut pandang disiplin ilmu yang dimilikinya. Dia akan berusaha dengan maksimal untuk bisa “membaca” dan “mengeja”nya dengan sempurna. Namun apa jadinya jika usaha kerasnya tersebut gagal? Hal yang muncul kemudian adalah, mengeluarkan banyak jurus untuk bisa membedah dengan perform yang sempurna—atau, mendekati sempurna. Tentu saja kurang cocok, bubur dimakan tanpa sendok. Disiplin keilmuan diciptakan untuk memperkaya pengetahuan dan bisa menjadi bahan efektif bagi sebuah pengkajian dan penelahaan terhadap pengetahuan yang lebih dalam atau baru. Lain ceritanya manakala, ketiga unsur dihadirkan dan berdiskusilah dari masing-masing pandangan, dan menghubungkan ketiganya sebagai cabang-cabang pemikiran yang akhirnya digunakan untuk menarik garis besar dari akar masalah yang ada. Jika harapan –terhadap hal—ini berhasil, maka dapatlah diciptakan sebuah teori baru yang orisinil dan komprehensif. Ini akan memperkaya khazanah keilmuan sastra di dunia sastra, bukan? Bukankah teori itu muncul setelah kejadian; praktek?
Seumpama kita salah menempatkan sesuatu menurut tempatnya, maka yang tercipta bukan hanya peta baru, tetapi juga medan baru untuk sebuah arena gladiator amatir. Masing-masing akan membawa asumsi-asumsi subyektif yang sebelumnya muncul sebelum pertemuan, prasangka-prasangka, keinginan-keinginan untuk menghakimi. Atau mungkin, ruang senioritas terancam? Bukankan kehadiran diadakan untuk berlaga secara ksatria?
Memang, dalam “melihat” sebuah karya, tak lepas dari “pantauan” siapa yang menciptakan karya sastra tersbut. Apakah sang pencipta seorang bocah ingusan yang biasanya tidur dan tinggal di jalanan, apakah sang pencipta adalah ketua sebuah suku terkenal dari suatu wilayah, atau, apakah sang pencipta karya adalah seorang remaja yang beranjak dewasa atau bahkan seorang dewasa yang tengah masturbasi, atau sedang puber kedua, ketiga? Kita bahkan tidak tahu dari latar apa pemikiran-pemikiran atas ragumentasi-argumentasi penilaian itu tumbuh.
Tentu saja, sang penilai berhak penuh memutus kasus dilanjut atau tidak, dengan tuduhan tersangka atau terdakwa untuk sang penulis karya, atau bebas. Tapi yang perlu digarisbesari adalah, sebuah karya tak pernah benar-benar bisa dihakimi A, B, C, dan seterusnya. Dia akan berbicara sendiri tentang dirinya dan eksistensinya. Ini menjelaskan, bahwa eksistensi memang tak sengaja dan tak bisa dicari, kecuali karya itu sendiri. Jika menurut sang penilai, sebuah karya tak memiliki makna, jelas tak benar. Sebab sebuah kalimat disusun atas dasar pikiran dan pesan-pesan tertentu, yang, walaupun absurd, tetap memiliki isi. Hanya mungkin, sang penilai tak mampu menembus ruang makna yang dituliskan oleh sang penulis. Kita meyakini, bahwa masing-masing kepala memiliki keterbatasan daya tembus memasuki ruang tersebut. Mungkin ruang kosong —karena muksa-, atau ruang samar yang gelap. Atau justru ruang tersebut penuh sesek hingga yang terlihat hanya keremangan, entahlah. Tapi saya yakin, suatu waktu, sang penilai akan mampu menembusnya –tergantung dari bagaiamana kegigihan dan ketelatenannya berusaha— dan tiap individu memiliki kemampuan yang berbeda.
Sebuah tulisan yang tanpa makna hanya ditulis oleh orang gila (orang gila pun di dalam benaknya pasti ada sesuatu yang menggerakkan), atau anak kecil yang sedang tertidur. Mengapa? Sebab saya yakin, anak kecil pun yang menulis, pasti dia memiliki dasar/pikiran mengapa dia menulis sesuatu tersebut.
Artinya, sebuah karya, ruang operasinya adalah jika beberapa ”genre” bertemu dalam ruang-waktu yang sama, di meja yang sama, dan memandang kertas yang sama. Sehingga tak muncul azas praduga tak bersalah untuk membedah seorang pencipta sebuah karya sastra.
Saya sempat berpikir, apakah “kejadian-kejadian” tersebut berlaku untuk semua penilai dan dalam penilaian terhadapa karya sastra? Apakah “ketidaktepatan” penempatan sang penilai tersebut kerap dianggap sebagai kewajaran mutlak dan diamini? Jika demikian, sangatlah ngeri keadaannya. Sebab, “kesalahpahaman” ini bisa menimbulkan beberapa hal yang sangat rawan terhadap timbulnya gap-gap dengan masing-masing menyetempel legitimasi sepihak(nya) yang masih disangsikan kebenarannya. Tentu saja, ini seperti infeksi (entah ringan atau berat) dari injeksi/suntikan untuk kekebalan tubuh, mungkin juga operasi bedah untuk mempercantik wajah dan bentuk tubuh. Bedah plastik yang menimbulkan banyak efek tak menyehatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar