Sohirin
http://www.tempointeraktif.com/
TEMPO Interaktif, Jakarta: Tataplah lukisan cat minyak di atas kanvas berukuran 90 x 81 sentimeter itu. Dengan mudah kita akan menangkap citraan tokoh yang selama ini menjadi ikon ilmu pengetahuan, yakni ilmuwan fisika Albert Einstein.
Meski tidak persis dengan Einstein yang kita kenal melalui buku atau poster, apalagi sosok ini menjulurkan lidahnya, tapi garis-garis muka pada lukisan tersebut identik dengan muka fisikawan tersebut.
Bagi pelukisnya, Erik Pauhrizi, lukisan tersebut bukanlah citraan Einstein, keturunan Yahudi kelahiran Jerman. "Silakan kalau ada yang menangkap lukisan ini sebagai Einstein. Tapi bagi Saya, ini adalah Morimura," kata Pauhrizi. Oleh karena itu, lukisan hitam putih tersebut diberi titel "Rado Ras-Srape Morimura 2".
Pengunjung akan mengalami hal yang sama saat melihat 75 karya lukis dalam pameran bertajuk "The Pleasure of The Teks" di Rumah Seni Yaitu di Kampung Jambe, Semarang, 1-15 November. Pada lukisan "Rado Ras-Srape Morimura 1", perupa yang lulus cum laude dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung itu tak lagi mencitrakan sosok yang mirip Einstein, melainkan enam sosok wajah dengan aneka raut yang bergerombol.
Lihat pula lukisan "Scarred for Life". Ada citraan wajah yang garis mukanya mirip dengan sosok Che Guivara. Namun, tokoh legendaris itu tak mengenakan topi baret dengan lencana bintangnya. Sebagian wajah "Che" terlihat kabur. Kepalan tangan kanannya menempel di kening kanan, sedangkan kepalan tangan kiri menempel di pipi kirinya.
Lantas benarkah sosok berjambang itu adalah "Che"? Pauhrizi kembali memberi jawaban standar. "Silakan yang melihat menerjemahkannya sendiri-sendiri," tuturnya pada diskusi pembukaan pameran.
Dan benar, para pengunjung di Rumah Seni Yaitu bebas menerjemahkan 75 karya dua dimensi pada media kanvas dan kertas itu. Pada karya-karya tersebut, Pauhrizi sengaja mengutip citraan (teks) wajah.
Namun, seniman asal Bandung itu sengaja menyamarkan bagian wajah yang vital untuk diidentifikasi. Ada yang dikaburkan dengan wave, twirl, zigzag, dust dan scratches. Bahkan ada kutipan yang sosok aslinya sengaja dibuang jauh-jauh. Dari citraan yang telah dibuang sosok aslinya itulah Pauhrizi menghadirkan makna baru, yakni merdeka dari representasi citra yang dikutipnya.
Heru Hikayat, kurator pameran ini, dalam katalog pameran menulis bahwa karya Pauhrizi merupakan hasil keputusannya memposisikan diri sebagai pembaca aktif sebuah teks lalu memaknainya. Tidak berhenti di situ. Dia juga membongkar makna dari teks tersebut untuk dijadikan sebagai teks yang sama sekali baru. Sesuai dengan titel pameran ini, Pauhrizi sangat menikmati teks baru yang dia hadirkan.
http://www.tempointeraktif.com/
TEMPO Interaktif, Jakarta: Tataplah lukisan cat minyak di atas kanvas berukuran 90 x 81 sentimeter itu. Dengan mudah kita akan menangkap citraan tokoh yang selama ini menjadi ikon ilmu pengetahuan, yakni ilmuwan fisika Albert Einstein.
Meski tidak persis dengan Einstein yang kita kenal melalui buku atau poster, apalagi sosok ini menjulurkan lidahnya, tapi garis-garis muka pada lukisan tersebut identik dengan muka fisikawan tersebut.
Bagi pelukisnya, Erik Pauhrizi, lukisan tersebut bukanlah citraan Einstein, keturunan Yahudi kelahiran Jerman. "Silakan kalau ada yang menangkap lukisan ini sebagai Einstein. Tapi bagi Saya, ini adalah Morimura," kata Pauhrizi. Oleh karena itu, lukisan hitam putih tersebut diberi titel "Rado Ras-Srape Morimura 2".
Pengunjung akan mengalami hal yang sama saat melihat 75 karya lukis dalam pameran bertajuk "The Pleasure of The Teks" di Rumah Seni Yaitu di Kampung Jambe, Semarang, 1-15 November. Pada lukisan "Rado Ras-Srape Morimura 1", perupa yang lulus cum laude dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung itu tak lagi mencitrakan sosok yang mirip Einstein, melainkan enam sosok wajah dengan aneka raut yang bergerombol.
Lihat pula lukisan "Scarred for Life". Ada citraan wajah yang garis mukanya mirip dengan sosok Che Guivara. Namun, tokoh legendaris itu tak mengenakan topi baret dengan lencana bintangnya. Sebagian wajah "Che" terlihat kabur. Kepalan tangan kanannya menempel di kening kanan, sedangkan kepalan tangan kiri menempel di pipi kirinya.
Lantas benarkah sosok berjambang itu adalah "Che"? Pauhrizi kembali memberi jawaban standar. "Silakan yang melihat menerjemahkannya sendiri-sendiri," tuturnya pada diskusi pembukaan pameran.
Dan benar, para pengunjung di Rumah Seni Yaitu bebas menerjemahkan 75 karya dua dimensi pada media kanvas dan kertas itu. Pada karya-karya tersebut, Pauhrizi sengaja mengutip citraan (teks) wajah.
Namun, seniman asal Bandung itu sengaja menyamarkan bagian wajah yang vital untuk diidentifikasi. Ada yang dikaburkan dengan wave, twirl, zigzag, dust dan scratches. Bahkan ada kutipan yang sosok aslinya sengaja dibuang jauh-jauh. Dari citraan yang telah dibuang sosok aslinya itulah Pauhrizi menghadirkan makna baru, yakni merdeka dari representasi citra yang dikutipnya.
Heru Hikayat, kurator pameran ini, dalam katalog pameran menulis bahwa karya Pauhrizi merupakan hasil keputusannya memposisikan diri sebagai pembaca aktif sebuah teks lalu memaknainya. Tidak berhenti di situ. Dia juga membongkar makna dari teks tersebut untuk dijadikan sebagai teks yang sama sekali baru. Sesuai dengan titel pameran ini, Pauhrizi sangat menikmati teks baru yang dia hadirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar