http://www.mediaindonesia.com/
TOKYO--MI: Pemerintah Indonesia dinilai tidak serius dalam membangun kebudayaan nasional yang kuat. Terbukti dari tiadanya strategi kebudayaan yang mampu membangun jati diri bangsa.
Hal itu diungkapkan sutradara Garin Nugroho di Tokyo, Kamis (23/10) berkaitan dengan perkembangan budaya Indonesia, termasuk lemahnya dalam menggali kebudayaan sendiri ketimbang bangsa asing. "Indonesia saat ini memang sedang mengalami dilema, karena negara lain yang justru banyak menghargai budaya Indonesia," kata Garin yang berada di Tokyo karena filmnya "Di bawah Pohon" masuk nominasi Tokyo International Flm Festival (TIFF) ke-21.
Dunia film, katanya, merupakan salah satu pilar yang penting dalam pembangunan budaya suatu bangsa. Lewat film karakter bangsa yang kuat bisa dilakukan, apalagi jika mengingat film juga merupakan cerminan dari ketahanan suatu masyarakatnya.
Ia lantas menuding betapa budaya massa, kian merasuki dunia perfilaman nasional, dan lebih memuja kuantitas atau selera pasar, sehingga cenderung menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memilih sesuatu yang lebih berkualitas. "Budaya massa pada akhirnya akan membentuk suatu mayoritas (masyarakat) yang dangkal. Dan itu sama artinya dengan membunuh segalanya. Publik jadi tidak terdidik untuk memikirkan hal-hal yang berkualitas," ujar Garin.
Menurut pria kelahiran Yogyakarta 6 Juni 1961 itu, strategi kebudayaan dalam film yang perlu dibangun adalah yang memiliki tiga sifat, yaitu secara ekonomi, mempertahankan cultural heritage, dan memberi tepat bagi budaya alternatif.
Bersifat ekonomis, dalam pandangan Garin perlunya tetap mempertahankan film-fim popular, sebagai bagian dari mesin ekonomi suatu bangsa. Sedangkan budaya heritage mampu memunculkan film-film bernuansa sejarah dalam sentuhan modern. Ia mencontohkan Jepang dan negara-negara maju di Asia lainnya yang memberikan porsi besar dalam pengembangan budayanya, termasuk dalam dunia perfilman. Jepang dan Korsel dikenal karena memiliki strategi yang jelas dalam membela film-film nasionalnya. Korsel bahkan mengharuskan bioskop menayangkan 20 persen dari total film yang diputarnya.
Keprihatinan Garin atas berbagai hal yang berbau massal tadi semakin menjadi-jadi tatkala dunia politik juga ikut-ikutan mengadopsi budaya massa yang menekankan dukungan massa tanpa melibatkan faktor etika, sehingga tidak bisa menghargai perbedaan, atau hal yang sifatnya alternatif. "Padahal sesuatu yang alternatif, termasuk karya film, tetap perlu eksis untuk bisa memberikan pilihan. Melalui pilihan, rakyat terdidik untuk mencari kualitas," kata Garin.
Lebih jauh, Garin mengemukakan betapa selera pasar cenderung merupakan bentuk dari kapitalisme yang menghilangkan etika. Sejumlah hasil industri budaya dalam negeri, pada hakekatnya berupa epigon (tiruan) belaka dari budaya bangsa lain. "Pada akhirnya akan menghasilkan budaya mayoritas yang dangkal tadi," ujar Garin. (Ant/OL-06)
TOKYO--MI: Pemerintah Indonesia dinilai tidak serius dalam membangun kebudayaan nasional yang kuat. Terbukti dari tiadanya strategi kebudayaan yang mampu membangun jati diri bangsa.
Hal itu diungkapkan sutradara Garin Nugroho di Tokyo, Kamis (23/10) berkaitan dengan perkembangan budaya Indonesia, termasuk lemahnya dalam menggali kebudayaan sendiri ketimbang bangsa asing. "Indonesia saat ini memang sedang mengalami dilema, karena negara lain yang justru banyak menghargai budaya Indonesia," kata Garin yang berada di Tokyo karena filmnya "Di bawah Pohon" masuk nominasi Tokyo International Flm Festival (TIFF) ke-21.
Dunia film, katanya, merupakan salah satu pilar yang penting dalam pembangunan budaya suatu bangsa. Lewat film karakter bangsa yang kuat bisa dilakukan, apalagi jika mengingat film juga merupakan cerminan dari ketahanan suatu masyarakatnya.
Ia lantas menuding betapa budaya massa, kian merasuki dunia perfilaman nasional, dan lebih memuja kuantitas atau selera pasar, sehingga cenderung menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memilih sesuatu yang lebih berkualitas. "Budaya massa pada akhirnya akan membentuk suatu mayoritas (masyarakat) yang dangkal. Dan itu sama artinya dengan membunuh segalanya. Publik jadi tidak terdidik untuk memikirkan hal-hal yang berkualitas," ujar Garin.
Menurut pria kelahiran Yogyakarta 6 Juni 1961 itu, strategi kebudayaan dalam film yang perlu dibangun adalah yang memiliki tiga sifat, yaitu secara ekonomi, mempertahankan cultural heritage, dan memberi tepat bagi budaya alternatif.
Bersifat ekonomis, dalam pandangan Garin perlunya tetap mempertahankan film-fim popular, sebagai bagian dari mesin ekonomi suatu bangsa. Sedangkan budaya heritage mampu memunculkan film-film bernuansa sejarah dalam sentuhan modern. Ia mencontohkan Jepang dan negara-negara maju di Asia lainnya yang memberikan porsi besar dalam pengembangan budayanya, termasuk dalam dunia perfilman. Jepang dan Korsel dikenal karena memiliki strategi yang jelas dalam membela film-film nasionalnya. Korsel bahkan mengharuskan bioskop menayangkan 20 persen dari total film yang diputarnya.
Keprihatinan Garin atas berbagai hal yang berbau massal tadi semakin menjadi-jadi tatkala dunia politik juga ikut-ikutan mengadopsi budaya massa yang menekankan dukungan massa tanpa melibatkan faktor etika, sehingga tidak bisa menghargai perbedaan, atau hal yang sifatnya alternatif. "Padahal sesuatu yang alternatif, termasuk karya film, tetap perlu eksis untuk bisa memberikan pilihan. Melalui pilihan, rakyat terdidik untuk mencari kualitas," kata Garin.
Lebih jauh, Garin mengemukakan betapa selera pasar cenderung merupakan bentuk dari kapitalisme yang menghilangkan etika. Sejumlah hasil industri budaya dalam negeri, pada hakekatnya berupa epigon (tiruan) belaka dari budaya bangsa lain. "Pada akhirnya akan menghasilkan budaya mayoritas yang dangkal tadi," ujar Garin. (Ant/OL-06)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar