Selasa, Oktober 21, 2008

MENGUAK TABIR PUJANGGA RABINDRANATH TAGORE KE TANAH JAWA*

Dipersembahkan kepada Rabindranath Tagore, buyut Kasipah dan tanah Jawa.
Nurel Javissyarqi*

Prolog:

Di usianya yang ke 69 bagus Burhan (nama kecil R. Ng. Ronggowarsito, 1802-1873), pujangga India Rabindranath Tagore dilahirkan dunia. Tepatnya di Joransko, jantung kota Kalkutta pada tanggal 6 Mei 1861. Sebagai putra keempat belas dari lima belas bersaudara, atas pasangan Maharishi Debendranath Tagore dan Sarada Devi. Atau 6 tahun setelah wafatnya Pangeran Diponegoro (1785-1855). Kakek buyut Rabindranath Tagore ialah penggerak Renaissans India, yang bernama Rommohan Roy.
Dengan sahabat karibnya Mahatma Gandhi (1869-1948), Tagore dianggap oleh masyarakat India sebagai perlambang insan setengah dewa. Tahun lahirnya bersamaan dengan seniman ambisius Frederic Remington (1861-1909) yang karyanya berupa lukisan, pahat dan tulis. Di tahun itu pula Abraham Lincoln (1809-1865) terpilih sebagai presiden Amerika Serikat.

Karya-karya Rabidranath Tagore (1861-1941) di antaranya berupa puisi, novel, cerpen, lukisan serta musik. Di dalam usianya yang ke 52, anak Bengali ini dianurahi Nobel Kesusastraan, tepatnya pada tahun 1913. Dan pada tahun 1915 mendapatkan gelar bangsawan dari pemerintahan Inggris. Namun beberapa tahun kemudian, dia mengembalikan gelar tersebut, sebagai protes kebijakan-kebijakan kerajaan Inggris di tanah tercintanya, India.

Di sini saya akan menguak tabir puisi beliau, yang berjudul Kepada Tanah Jawa, tertanda tahun 1927. Dia berlawatan ke tanah Jawa setelah perjalanan laut ke Eropa (1924-1925). Di usianya yang ke enam puluh enam, masa istirah sebenarnya. Namun seperti parikan yang pernah tersiar berkembang, bahwa bencah tanah Jawa ialah bencah kedua tlatah India.

Di Jawa, memang tidak ada sungai Gangga, tetapi bengawan Solo cukup menjadi legenda baginya. Kalau tembok Cina dapat terlihat dari bulan, kisah-kisah perdagangan tempo dulu yang melalui aliran bengawan Solo, sudah melekat di sanubari masyarakat Jawa hingga kini. Jika pesulap David Copervill sanggup menembus benteng Cina, pencipta lagu bernama Gesang (lahiran 1-10-1917) telah menuturkan alunan bengawan Solo, untuk diperdengarkan ke telinga dunia.

Di bawah ini puisi Rabindranath Tagore, yang saya peroleh dari K.R.T. Suryanto Sastroatmodjo (almarhum). Dan kisah yang tergambar itu, getaran rasa atas kalimat-kalimatnya, yang saya suguhkan sebagai bukti Rabindranath Tagore benar-benar berada ke tanah Jawa.

KEPADA TANAH JAWA
Rabindranath Tagore/1927

Dalam zaman yang kalem, yang jauh, yang tidak tertulis
kita bersua, engkau dan aku
dan dalam perkataanku terjalin dalam perkataanmu
dan jiwaku dalam jiwamu.

Rabindranath Tagore seperti menancapkan keyakinan dalam-dalam, bergumul dalam persetubuhan bathin antara dirinya dengan bencah Dwipa. Tangannya yang santun begitu lembut, menggenggam lemah lempung Jawa kuat-kuat. Di pandangnya dengan kesungguhan sangat, ia merasakan keharuan, dijilatnya lempung tersebut sebagai tradisi Jawa, mengampuh. Lalu diusapkan debu-debu tersebut ke keningnya, sebagai tanda hormat syukur dipertemukan raganya dengan siti Dwipa atau tanah Jawa.

Menurut para wisatawan asing, pada tahun 1803-1939, masih melihat ketujuh Candi Singosari (sebagai bukti kebenaran terbentuknya dinasti) peninggalan kerajaan Singosari (Kerajaan Singosari berdiri 1222 M, raja pertamanya Ken Angrok, merupakan cikal bakal kerajaan Majapahit). Tetapi sayang, peninggalan berupa Candi tersebut kini tinggal satu. Inilah bukti keserakan penjajah, juga keteledoran anak bangsa (Jawa) yang tidak mampu merawat peninggalan sejarah. Semua yang beraroma sejarah diganti dengan nuansa Plaza, semisal legenda Jembaran Merah Surabaya. Bajingankah kita?

Kala itu, gunung-gemunung masih segar bugar, memberi kesejukan mata memandang. Bathin menyaksikan mengalir bagaikan mata air nan elok berkumambang di bebatuan hitam, penuh kedalaman renungan. Burung-burung pun tidak enggan berkicau, suaranya nyaring bersiul-siulan di telinga pagi dan petang. Bunga-bunga bermekaran tanpa diusik sebutan yang mematikan, seperti gengsi ditaruh pada pot kemewahan. Andaipun ada, bunga-bunga pada rumah panggung itu masih menyapa bunga-bunga lainnya, yang tidak diperhatikan pemilik rumah.

Alam bersahaja memantul ke dalam jiwa, serupa nyanyian ketentraman, dan para gadis Jawa bersenandung ketika langkah kaki-kakinya yang lincah menuju sendang, membiarkan kulit halusnya dielus aliran tirta pegunungan yang penuh hangat kesejukan. Tagore menatap tanah pertiwi dalam-dalam, lekat hingga tulang sum-sumnya membeku diketidak-berdayaan, sewaktu melahirkan kata-kata. Begitu indah menerima tembang-tembang puja alam kepada Sang Pencipta. Sampai dirinya dapat merasakan limpahan berkah dari lemah Dwipa, seakan terlahir lagi ke dunia, segar seharum tubuh masih muda. Di sama itu, Sultan Hamengku Buwomo IX (1912-1988) baru menginjakkan usianya yang ke 15 tahun. Dengan baju berwarna putih layaknya sang resi, Tagore terus melanjutkan kisah kembaranya…

Angin timur membawa seruanmu yang merdu
melalui jalan angkasa yang tidak terlihat
jauh, ke tempat matahari menyinari pesisir
yang dipayungi daun-daun kelapa.

Tagore duduk di antara bebetuan, dan angin pantai menerpanya, ia teringat awal perjalanan ke bencah Dwipa. Sebelum pelayarannya ke tanah Jawa, dirinya mendapati titah pujangga dari Yang Maha Kuasa, menuruti kalbu untuk menumpangi kapal. Membelah gelombang, membelai cahaya, sambil bercanda dengan decak ombak samudra, di samping membaca alamat kembara, awan jiwa.

Kala siang, kulit mulai keriput itu tersengat mentari, tetapi seakan perjalanan awalkali, ia menikmati seperti pendakian gunung pertama, sungguh menghibur sehingga kulit punggungnya terkelupas tidak terasa. Ibarat sang bocah yang menemukan barang mainannya, yang lama disembunyikan kedua orang tuanya, karena menyebabkan lupa makan juga istirah.

Malamnya, senantiasa berdialog dengan bintang-gemintang, dan sesekali putri bulan datang menghibur kesendiriannya. Diri Rabindranath Tagore seakan tidak pernah lekang dari keramaian percakapan yang paling sunyi dan bening, menimbang merasai dan berfikir di segenap waktu yang disetia. Ia selalu diingatkan pengajaran para pujangga lama, yang membuat dirinya tetap teguh pendirian, melaksanakan perintah meski dikepayahan sangat dalam rasa kantuk memberat, serta menjaga dari kesambillaluan menggoda. Orang pilihan itu mampu memilih, dan melaksanakan pilihannya dengan teguh hati. Di tempat lain, pemuda Soekarno (1901-1970) baru menginjakkan kaki usianya yang ke 26 tahun.

Lalu Tagore beranjak di antara bebatuan. Membuyar ingatannya tentang perjalanan kemarin, terus melangkahkan kakinya di bencah pasir-pesisir, pantai pasir putih, batu-batu mungil. Sesekali melihat tari-tarian janur-janur kelapa yang serasi waktu membiru, dan angin mengibaskan rambut panjangnya yang ikal membentang itu, bagaikan anak-anakan ombak sungai Gangga.

Ia senantiasa tersenyum di setiap kesendiriannya, menyapa alam pertiwi, berharap berbagi teman sepermainan. Sekali waktu kaki-kaki tua itu tergores duri bunga-bunga kaktus yang liar-meliar, ia mengikhlaskan demi salam canda lebih akrabkan ke jiwa. Sementara bunga-bunga kelapa menjadi saksi kecantikan matanya, yang ranum merangkum pengetahuan alam oleh kembaranya. Kerling bola matanya berbinar atas tempaan mutiara hayat yang pernah dinikmati.

Dan kini, ia kembali menemukan mata air itu, sumber falsafah hidup sahaja, serupa alam tropis yang luhur penuh kemewahan wibawa. Keindahan bathin terjemah kelembutan, bola matanya memandang tiada kesudahan, mendapati pancuran bening kesantausaan. Kesungguhan cinta yang dijanjikan, bagi setiap insan yang sudih menebarkan hawa kasih-sayang sebagaimana hakekat kemanusiaan.

Seruan itu bersatu dengan bunyi sangkala
yang ditiup ketika sembahyang
dalam candi di tepi Gangga keramat.

Alunan gending-gending sebentar sayu lalu menggenta. Itulah debaran bathiniah memaknai seruan Sang Kuasa, tergurat kalimat sakti lewat jemari tangan beliau, kian bergetar ketika benar-benar cahaya kapujanggan menimpa diri kembara. Seakan diserang demam mendadak, sebelum ucapan kata-katanya membahana ke relung jiwa alam semesta. Menggoyang pucuk-pucuk cemara, meniup benih-benih kembang, menghadiahkan keindahan seterusnya. Inilah putik-putik bunga yang ditebarkan tangan beliau, di saat memasuki jalan ke perkampungan. Senja mulai menghampiri, Tagore menatap mentari sedemikian peluh-rindu, seakan tak rela berpisah atas perkawanan itu.

Rerumputan padi di pinggiran desa yang mulai menguning, runduk tubuh lengkungnya, sulur daun-daunnya matang mentari, menawarkan bau kedewasaan. Dan setiap penciuman adalah awal sebuah musim, yang diteruskan menjelma pengertian. Sedangkan saling memahami itu, bahasa yang tidak lekang oleh perubahan zaman. Mulanya mengangguk terdiam, sambil menebarkan senyum kegaiban. Senja mulai kemerah, anak-anak tidak lagi diperbolahkan bermain, istilah Jawa-nya sandiolo atau dekat keburukan. Warna mirah itu semakin lama mengungu, menggaris-garis langit senjakala, serupa ada tepian sungai di sana, ia teringat sungai Gangga yang keramat di negerinya.

Dewi Wisnu yang mulia raya bersabda kepadaku
dan Uma, dewi berlengan sepuluh, demikian pula;
“Sediakanlah kapak dan bawalah menyebrangi laut yang asing,
sekalian ucapkan menyembah kami”

Saat memandang gegaris senjakala, seakan lekukan tubuh sungai Gangga. Tagore merasakan dirinya sehawa dalam sebuah candi, denting klenengan kian seru bersusulan, ditabuh angin genderang, begitu pun genta di kalungan leher sapi putih kemerahan, bersahut-sahutan. Dirinya merasakan membumbung ke puncak mega-mega, bersatu dalam kehendak langit masa itu. Kembali, jiwanya digetarkan seruan kemarin silam, semasa di India. Panggilan kedua yang sama, sebagai pelaksanaan tugas setelah menginjakkan kakinya di bencah Dwipa. Sesudah menyebrangi lautan asing, di mana tempat mentari mengumpulkan energi, bintang-gemintang kuat memancarkan tubuhnya di tanah Jawi.

Senja terus merampungkan tugasnya, menenggelamkan surya, membangunkan kunang-kunang menghiasi malam ganjil, lalu jiwanya balik turun ke bumi, selepas mengawang, mengenang seruan sabda Mulia Raya. Kampung persinggahan kala itu, menerimanya sebagai ruang paling bersahabat. Seorang kembara ialah tamu para pemukim. Pengelana itu raja yang tidak punya istana mungil keduniawian, tetapi kastilnya berupa alam semesta, tiang-tiang berdiri ialah niatan, keteguhan hati. Dan perabotannya terdiri dari kepasrahaan, serta keikhlasan, di setingkap hawa goda pancaroba, sedangkan mahkotanya berrupa kesetiaan.

Malam semakin menanjak, ia meminum seteguk air putih demi pengganjal lapar, dan dihisapnya aroma dini hari, sekuat menyetubuhi kesungguhan titah. Seorang mulia, mempersembahkan hidupnya bagi Sang Wenang, seluruh peribadatannya di dalam menjalani kehidupan. Semua datang dan pergi kepadanya, menjelma tetembangan yang terus berkumandang. Jika kesedihan mendentang, disusul sukacita kemesraan, sampai menemukan kesempurnaan, keseimbangan bathin, keselarasan jiwa, kepaduan nada-nada kalbu kepada jantung hidupnya. Dan mengamalkan perintah bukanlah hal memberat, setelah bersatupadu pada tubuh kehendak.

Sungai Gangga mengulurkan tangannya ke lautan timur
dalam gelombang amat dahsyat
dari langit bersabdah dua suara yang kuasa kepadaku- yang satu
yang menyanyikan keindahan sengsara Rama,
yang lain menyanyikan kemenangan Arjun.
Mendesak daku membawa kakawinnya meyebrangi laut
ke pulau-pulau timur.

Fajar pun menyingsing, Tagore kembali diingatkan akan keindahan sungai Gangga atas lahirnya mentari timur. Dua suara datang bertubi-tubi kepadanya, sengsara dan kemenangan. Dirinya seakan diperintah menyeberangi di antara keduanya. Pagi itu ia bersemedi, menuwangkan segenap perhatian bathinnya untuk melangkah, menyusuri anak panah atas tarikan nafas-nafas lama. Dan melesatlah bagaikan kilat, tiada menghirau sakit gembira, tidak merasai sedih pun suka memberat, masuk ke alam hampa. Hilang rasa cinta selama ini, begitu pun kebencian. Jiwanya ampang seampas tebu yang habis dihisap anak-anak gembala. Seolah tidak bermakna dan terus.

Sampailah bathinnya ditarik oleh kedua arah itu semakin kuat. Ada daya grafitasi di antara sengsara Rama juga kemenangan Arjuna, namun ia berusaha teguh tidak bertepuk dalam pesta, juga tidak mengalirkan airmata kesedihan. Ini lawanan nafsu dan nurani. Rabindranath Tagore masih memejamkan mata sambil menghadap mentari. Dirinya telah berada di timur tanah Jawa, tetapi anak panah kalbunya itu tetap mengajaknya melesat, dan akhirnya menghujam kepada matahari. Ia pun merasakan terkena panah, ada titik-titik kebertemuan, jiwanya dengan sang surya, lalu purnalah firasat semedinya. Ia membukakan mata pelahan-lahan, kala mentari setinggi pohon jambu klutuk di samping rumah penduduk setempat, letak di mana semalam ia menginap.

Esoknya, ia melanjutkan perjalanan. Entah berapa bulan berada di tanah Dwipa, tetapi dirinya masih terngiang tanah kelahiran. Atau ia tengah memadukan energi, pulau Jawa dan India, sebab dalam benaknya, Jawa-India adalah satu tumpah darah. Langkah berayun meneruskan niatan, baju yang dikenakannya mulai coklat kekuningan, atas tempaan panas mentari, juga hempasan debu kaki-kaki pedati. Sampailah ia di lempengan kaki Candi Borobudur, dan serentak itu, tubuhnya bersembah sujud pada Yang Asih.

Di masa itu penjajah di tanah Jawa tidak begitu menghiraukan orang-orang asing, apalagi dari dataran tanah India. Kiranya sekadar wisata atau ngelukkru beribadah kalau beragama Hindu atau Budha. Dan agama Islam sudah menjadi momok ancaman penjajah, sebagai jalan tempuh kemerdekaan kedua, di tanah sumpah Palapa. Masa dimana pendiri organisasi Nahdhotul Ulama’ Hasyim Asyari (1875-1947) dalam usianya yang ke 52 tahun.

Kala itu di tempat berbeda, daerah Ponorogo di desa Tegalsari, Jetis. Pesantren Kyai Ageng Muhammad Besyari sudah kesohor atas mutiara santrinya yang bernama R. Ng. Ronggowarsito (yang dimakamkan 54 tahun lalu di desa Palar, Klaten, dari hitungan Rabindranath Tagore di tanah Jawa). Rabindranath Tagore terus menaiki tangga tingkatan candi Borobudur, dari tingkatan paling bawah, kamadhatu menuju ke tingkatan rupadhatu, sampai ke tiga tingkatan arupadhatu. Pada stupa paling akhir, atas ketinggian mega-mega juga burung-burung kelana, ia membalik terkenang perjalanannya. Kalaulah Goenawan Mohamad pernah menuliskan; “Di mana masa silam datang pada kita, dan kitalah yang menjadi tamu.”

Pagi hari datang; kapalku menari di gelombang biru tua
layarnya yang putih kembang gagah di tiup angin
ia mencium pesisirmu, langit gemetar dan selubung hijau dewi rimbamu
pun bergerak, kita bersua dalam bayang-bayang senjakala,
ketika malam sunyi-senyap, malam menjadi muram;
siang hari menebarkan emasnya di jalan —tempat kita bersua
jalan jiwa kita berdua menempuh jaman bersama-sama,
dari abad ke abad, antara impian yang gilang-gemilang yang tidak terbilang.

Pada sap candi Borobudur paling tinggi arupadhatu, ia menuliskan sajak bertitel Candi Borobudur, sambil bersandaran pada tubuh stupa terbesarnya. Letak itu, Tagore memandang lepas ke sekeliling candi, pohon-pohon kelapa berdiri tegak, sulur daun-daunnya senantiasa digoyang angin pegunungan. Rumput pepadian hijau perawan, menyiarkan berita kesuburan. Sesekali burung-burung hinggap di atas stupa, seperti mengucapkan salam kedatangannya.

Warna biru langit penuh, membicarakan pelayarannya masa lalu, saat disapa burung-burung pantai, camar-camar berkejaran di muka pesisir menebarkan cerecah. Gunung-gemunung hijau daunnya, pepohonan dikenangnya, selalu menyirap dirinya pada kedalaman bathin keunggulan. Sampai datang senjakala seakan tiba-tiba atas lamunan lembut melembutkan rasa, lentur melenturkan suara. Bayang-bayang senjakala mulai kelihatan, pada tubuh-tubuh stupa, pepohonan pisang tampak kecil di ketinggian jauh.

Waktu mulai temaram, seorang gadis belia penduduk setempat datang ke Candi, letak Tagore tua tengah menikmati pemandangan. Perempuan itu bertubuh semampai berbusana kebaya, senyumnya bagaikan gula-gula Jawa menebarkan pesona, menghaturkan sang pujangga untuk menikmati bebuahan yang ia bawa. Gadis itu memang setiap temaram ke sini, demi mendatangi kalau-kalau ada seorang kembara yang singgah di Candi.

Ritual tersebut dilakukannya sebagai hormat perintah orang tuanya, lalu darah kelelakian Bengali itu teringat wajah-wajah gadis di negerinya, yang juga malu-malu ketimuran. Dan tak berapa lama, gadis manis itu memohon pamit, meninggalkan buah-buahan bagi beliau. Tagore menggangguk tanda menerima syukur. Kembali, ia disergap keheningan malam, tiada kunang-kunang pada ketinggian Borobudur, kicauan burung pun telah sirna bersamaan senja memulangkan mentari.

Bengi senyap membungkus tubuh tersebut dengan angin dingin yang sangat, raga rentah itu seakan tidak kuasa oleh tiupan malam. Tetapi ia tidak mau turun dari ondakan-ondakan pada lereng Candi. Barulah ketika wajah rembulan muncul, kesenyapannya terhibur, sedikit demi sedikit mulai merasakan kehangatan. Lantas ia bersila di ketinggian candi sampai pagi menjemput mentari kembali.

Sinar pepagian keemasan mulai meniup hawa kehangatan, seperti jalan-jalan angkasa, dan fikiran berkendaraan imaji tetap melangkah, menebarkan kemungkinan bertemunya nilai-nilai, sambil membawa setumpuk kisah, untuk diselidik ulang-balik pada perhitungan ganjil penentu hati kepenuhan, yakni kesehatan bathin. Dan spiritualitas itu cahaya yang menempa tubuh berulang-ulang. Memasuki abad-abad lalu tenggelam, diteruskannya sampai kekinian, hingga jaman gilang-gemilang, puncak di mana dirinya sebagai kesatuan saksi pencerah tanah Dwipa.

Zaman pun silam, malam yang gelap menutupi kita
kita tidak kenal mengenal lagi
tempat kita duduk hilang lenyap, tertimbun abu roda kereta.

Tagore seakan melemparkan jala kemungkinan yang teramat mengganjal. Ia melengkingkan kegelisahannya akan masa yang tidak mengenak. Menujum kemungkinan suram tertandakan, dari alam mulai membosan, atas tingkah-pakolah anak-anaknya yang mengenyam berkah dengan penuh keserakahan. Melihat roda penjajah yang semakin mencengkeram lahan-lahan liat, peradaban timpang bertambah beringas, kalbu-nurani tersisikan ke tepian -kesunyian. Akal budhi menjadi asing, semua terhapus, diganti norma-norma kepentingan, jiwa-jiwa tercampak jauh dan terpencil, sulit diketemukan kembali.

Bencah tanah Jawa dan India terasing kembali dari adat istiadatnya, serempak berganti baju modernisasi yang tidak berwatak membumi, wacana-wacana asing menenggelamkan dunia perasaan, mengangkat logika setinggi-tingginya, sehingga tata krama hilang musnah, semua tergadai oleh perhitungan kebutuhan. Pengertai orang kaya terdahulu ialah kurangnya meminta kebutuhan pribadi, tetapi senantiasa memberi pengayoman sesama, atau sedikit sekali kebutuhan dirinya, namun yang memenuhi kebutuhan orang lain dengan ikhlas kasih-sayang. Wajah-wajah lugu diganti muka-muka molek rayuan, senyum rama pun berubah menjadi senyum sungging menginjak sesama.

Di mana para pendahulu telah meramalkan, pun juga beliau. Seorang pujangga itu mengambil jarak atas jamannya, ia tidak terhanyut pula tidak berkendaraan. Ia berada di sebrang kenyataan, tempat lain yang lebih hakiki dari sekadar realitas tampakan. Pujangga adalah seorang penarik dan penabur nilai-nilai luhur dengan kesungguhan bersahaja, demi dipersembahkan kepada tanah tumpah darahnya, ibunda pertiwi, agar tidak kebablasan melupakan sejarah. Tetapi bukan berarti mengambil akar-akaran yang tidak berfaedah, ia menarik akar-akar yang penting sebagai jamu, guna kesehatan sesama, kelangsungan hayat berbudaya, menjunjung tinggi hakikat fitroh bermasyarakat, kemanusiaan yang adil penuh wibawa, dalam istilah R.Ng. Ronggowarsito sebagai Sastra Jendra Ayuningrat.

Dan aku dihanyutkan pasang surut kelupaan
kembali ke pesisirku sendiri yang sunyi
senyap-tanganku hampa dan semangatku kosong
laut di rumahku jadi bisu,
tidak menceritakan pertemuan kita yang disaksikannya itu,
dan sungai Gangga yang gemar bicara itu
tidak memberitahukan kepadaku di mana jalan yang tersembunyi
dan yang jauh, ke tempatnya yang lain, yang keramat.

Kala itu Rabindranath Tagore di ambang keputusasaan kabut, diseret oleh alunan nujumnya kepada alam yang kelam, kosong ingatannya akan kebeningan tekat berbinar-binar kemarin silam, luntur satu persatu benang-benang harapannya, ketika menyaksikan alam menjerit meminta tolong, memohon ampun. Ia tidak kuasa mengembalikan rindu kepada tempat semula, yakni kepada kehendak suci lagi mulia. Semangatnya berangsur menuju hampa, ia bukan tengah istirah atau mengendorkan urat syaraf. Tetapi sedang merasakan tubuhnya tenggelam dalam kepiluan memberat. Andai pun ada dendam, itu pun tidak akan mampu mencuat.

Saat kepiluannya membumbung, tidak kuasa lagi menerima keadaan. Semua terlihat bisu dihadapannya, alam yang dulunya renyai selalu memberi kabar kepadanya, diganti kesenyapan. Bathinnya sunyi seolah tuhan meninggalkan kalbu mungil itu. Tanpa ada kesaksian ketika waktu-waktu pilu terus berlalu. Mendiamkan diri bersama kabut nan pedut, larut ke alam kenangan yang buram. Ia kehilangan jejak kemuliaan atau seperti masa-masa kebosanan, yang menutup seluruh pintu kemungkinan, sampai tidak ada lagi pengajaran yang masuk dan mengena. Segala asing menjadi hal biasa, dan yang biasa semakin lama hilang pengertiannya.

Warna senjakala tiada lagi membicarakan sungai Gangga pada garis-garis keningnya. Seumpama seekor burung lupa arah, mengapung lupa tujuan ke mana, berputar-putar tetapi bukan mencari mangsa, namun mencari alamatnya yang hilang dari peredaran kembara. Hanya kelelahan, kekosongan itu dipapanya ke pembaringan, menuju alam kegelapan. Tagore tertidur dalam kepayahan mencari, ruh alam memberkatinya, memenuhi jiwanya saat ia tidak sadarkan diri.

Saya datang kepadamu, memandang matamu
dan seperti melihat cerlang gaib yang kemilau
ketika kita bersua pertama kalinya dalam hutanmu, cerlang suka cita raya.
ketika kita saling mengikat pergelangan dengan benang merah persaudaraan.

Rabindranath Tagore terbangun dari tidurnya. Memulai kembali ingatan, dari yang mengantarnya lelap dalam kepulasan. Kehampaan nujumnya kepada peradaban, kalau-kalau nanti anak kehidupan, hanya sekadar menuntut kebutuhan bagi roda jamannya semata. Jikalau ditarik dari sejarah, Einsten (1879-1955) berusia 48 tahun di masa itu.

Ia memandangi langit siang terik seperti melihat harapan cemerlang melayang-layang di atas kepala. Awan putih menyebar ke tepian cakrawala. Ia menyaksikan langit biru lepas tanpa mega keraguan. Matahari memberi cahaya kepenuhan saat itu, menyentakkan sedari lamunan panjang kegagalan.

Bayu menyapa kembali, melewati sulur daun-daun pohon rindang raya yang mengantarkan kabar kegembiraan bagi kehampaan jiwa. Lalu kemanusiaannya menari-nari, serasa awalkali menginjakkan kaki di bumi. Dan senandung alam tropis tanpa bersolek pun jadi memikat hati. Ia terhanyut kebersamaan, kepaduan panorama sekitar dengan dirinya sebagai tamu di tanah Jawi. Sekarang Tagore telah menjadi tamu sekaligus tuan rumah. Sebab tanah tumpah darah itu keluhuran budi menterjemah alunan timur ke pelosok sejati rasa, dusun terpencil naluri manusia.

Tagore kembali segar-bugar untuk beberapa kalinya di tanah Jawa. Tetapi dalam benaknya masih bertanya; Apakah ini sekadar halusinasi, sudah merasakan persahabatan intim? Jiwanya diantar balik antara sungguh dan ragu. Diombang-ambingkan semangat dan sambillalu, yang setiap masanya sanggup menjerat langkah. Ia seolah balik dikemuraman batu, namun ada yang tertahan, masih sungguh mendengarkan perintah awal perjalanan, titah Sang Wenang, demi dirinya kembara melayari lautan, untuk menemui kepulauan timur Jawa.

Alam tua itu telah muram,
akan tetapi belum lepas dari tanganmu.

Ia kembali menegaskan dalam dirinya, akan kabar terang dari selipan mera-mega membuyar. Tagore menancapkan janji-janji bagi jiwa-jiwa kesungguhan, mereka yang teguh tekatnya, yang memiliki niat membaja. Ia bukan merayu, namun inilah teguran amat sungguh, bagi bangsa pertiwi, yang tidak ingin lepas dari takdir besarnya.

Tagore tua berseru kepada tanah Jawa juga India, demi anak-anaknya nanti, pewaris terhormat dari tradisi ketimuran mulia. Namun siapakah yang sanggup menterjemah petuahnya, ketika insan saling berlomba mencari kedudukan dunia (waktu itu, 12 tahun sebelum Perang Dunia II, 1939-1945). Bathin bukanlah perkara jasad, dan jasad yang berbusana gemerlap, tidak mampu duduk lama-lama di mana tepat di turunkan berkah mahabbah pujangga. Nafsu menemui nafsu, nurani berjumpa bangsanya, semuanya mengalir mengikuti jalan masing-masing, begitu juga niat bertirakat.

Di jalan yang kita tempuh dahulu
masih tersebar bekas perkataanku,
sehingga aku mendapat jalan lagi ke dalam jantung hatimu,
tempat sinar masih bercahaya, sinar kita nyalakan bersama-sama,
pada malam pertemuan dahulu kala.

Rabindranath Tagore seakan berkata-kata; “Jikalau rindu datanglah ke tempat semula, letak perjumpaan kita sedia kala, setia menjalani keseiramaan bathin atas saling membuka. Dan buanglah segala curiga juga was-was menghantui jiwa. Sebab bangunan yang tertata, berasal dari tumpukan kangen menggebu rasa.”

“Barangsiapa rindu tentunya bertemu, yang kayungyung berjumpa pula. Kebertemuan inilah cahaya terang-benderang, takdir kebersatuan menambah cerlang kilaunya, meski dalam kemalaman. Sebab malam kelam pun menambah memikat sukma. Merambah kepada keheningan penciptaan paling mulia, bathin menjembatani ke alam timur raya.”

“Sukurlah kebertemuan itu, sehingga cerlangnya awet sampai di pembaringan jaman. Persahabatan kita akan abadi, berikrar menyetiai janji sehidup-semati. Perkataanmu menjelma merkataanku, dan perkataanku juga perkataanmu, saat benar-benar diri kita dalam kuluman bibir samudra rindu. Yang jauh tidak lagi jauh, yang dekat semakin erat, dan semuanya berlangsung penuh kenikmatan sungguh.”

“Rasa cinta benderang, menghimpun perasaan, sehingga fajar menjelang. Kita menyatukan senja dan fajar kepada ingatan jaman, atas perjalanan terus terekam dalam bayang-bayang juga cerecah burung terbang.”

“Ruh kita bersama tubuh elang kelana, demi mencari pengalaman, rasa syukur beribadah di segenap tingkah laku hayat menerima takdir nyata, atas kaki-kaki disempurnakan doa moyang, dan ridho Sang Wenang. Dan saat diharuskan berpisah di perempatan jalan, kita masih sejiwa pada kembara ritual doa.”

Ingatlah aku sebagaimana aku mengingat wajahmu
dan lihatlah padaku sekalian yang telah silam
akan tetapi yang harus kita hidupkan kembali nan kita perbaru.

“Perpisahan bukanlah akhir persahabatan, sebab kita hakekatnya bersama. Kini sekadarlah beda tempat, kau di Jawa aku di India. Wajah keelokan pertiwimu senantiasa kuhirup bau kembangnya, dan tak akan kulepas. Bauh warna serta gelombang bathin kita saling menebarkan jala, olehnya tidak merasa hilang sampai akhir masa. Mata dunia pun merekam persahabatan langgeng kita, dalam pembaharuan alam tropis, yang terus berhembus kepada kaki-kaki gunung –kepulauan kita. Dan perkataan kita, adalah bukti kelangsungan persetubuhan jiwa-jiwa mandiri.”

“Sekali lagi, jarak waktu dan tempat bukanlah apa, setelah kesamaan ombak mencipta dayadinaya. Diriku memandangmu dalam, lekat tidak pernah sirna, meski bukan memejamkan mata, dan pada dirimu pun berlaku sama. Kesatuan saksi ini siarkanlah, agar mereka tahu bahwa aku benar-benar pernah melangkahkan kaki di tanahmu. Dan biarkan yang tidak percaya, sebab mereka akan mengerti bagaimana rasanya, kalau kita pergi meninggalkannya.”

“Marilah mengibarkan panji-panji kapujanggan di tanah pertiwi kita masing-masing, kesemangatan menjadi peleburan nilai-nilai atas titah pujangga Sang Asih. Kita mengalirkan sungai-sungai tersebut hingga mereka tersadarkan, di waktu yang tidak terekam selain debur ombak angin dan lautan, yang mengantarkan kebaharuan, bagi yang ikut serta dalam perjuangan.” “Kucium keningmu Tagore, dan salam damai dari Buyutku…”
—-

*) Pada halaman 357, tepatnya dalam sub judul; Hubungan Kita dengan Rabindranath Tagore. Ki Hadjar Dewantara dalam bukunya, bagian II A: Kebudayaan (diterbitkan oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, tahun 1967), mengatakan bahwa pada tahun 1927, Sang Pujangga Rabindranath Tagore berkunjung ke perguruan Mataram – Jogjakarta.

*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karenggeneng, Lamongan, JaTim (4-Desember 2005).

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Hana N.S A. Iwan Kapit A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aa Sudirman Abd. Basid Abdul Aziz Rasjid Abdul Ghofar Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Muid Badrun Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdullah Ubaid Matraji Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abonk El ka’bah Acep Zamzam Noor Ach. Nurcholis Majid Achmad Farid Tuasikal Achmad Maulani Adi Faridh Adi Marsiela Adi Sucipto Adian Husaini Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrian Ramdani AF. Tuasikal Afnan Malay Afrizal Malna AG Hadzarmawit Netti AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Majestika Aguk Irawan M.N. Agung Prihantoro Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R Sarjono Agus S Warman Agus Sri Danardana Agus Sulton Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Rafiq Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syafii Maarif Ahmad Taufik Ahmad Thohari Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Al-Fairish Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Ali Irwanto Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Alvi Puspita Amang Mawardi Ambarukminingsih Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Amirullah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andhi Setyo Wibowo Andik Nurcahyo AndongBuku #3 Andry Deblenk Anindita S. Thayf Aning Ayu Kusuma Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anwari WMK Aprillia Ika Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Arif Firmansyah Arifun Najib Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arys Hilman Asarpin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asri Bariqah Awalludin GD Mualif Azumardi Azra Azyumardi Azra Baca Puisi Badaruddin Amir Balada Bambang kempling Bambang Satriya Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benni Indo Benny Benke Benny D Koestanto Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Koran Bernada Rurit Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Palopo Budi Purnomo Buldanul Khuri Bunda Zakyzahra Tuga Bungaran Antonius Simanjuntak Candrakirana Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Che Guevara Coronavirus Cover Buku Kritik Sastra Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi II Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi IV Cover Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi V D. Zawawi Imron Dadan Maula Darmawan Dadang Ari Murtono Dahlan Kong Damanhuri Zuhri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Dedykalee Deni Ali Setiono Deni Jazuli Denny Ardiansyah Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan Dewi Indah Sari Dhanu Priyo Prabowo di Bluri di Karangasem Dian Sukarno Diana AV Sasa Diana Ifrina Ernawati Dinas Komunikasi dan Informatika Prov. Jatim Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dini Tri Dinoroy M. Aritonang Dion Maulana Prasetya Diskusi buku Djaka Susila Djenar Maesa Ayu Djesna Winada Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Budiono Herusatoto Drs H Choirul Anam Drum Band MI Miftahul Ulum (Kuluran) Dudi Rustandi Dunia Penerbitan Indonesia Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Nikmatika Roma Dwi Pranoto Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddy D. Iskandar Edeng Syamsul Ma’arif Edi Faisol Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elly Burhaini Faizal Elly Trisnawati Ellyn Novellin Emerson Yuntho Emha Ainun Nadjib Emil WE Endang Supriyadi Endi Haryono Endri Y Erdogan Esai Esha Tegar Putra Esme Fadliha Etik Widya Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fadjriah Nurdiarsih Fahmi Fahrudin Nasrulloh Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faris Al Faisal Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Felix K. Nesi Festival Mocosik Festival Seni Internasional 2010 Yogyakarta Festival Seni Internasional 2014 Yogyakarta Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan festivalsenisurabaya.com Fikri. MS Firdawsi Fortus Pake Forum Lingkar Pena Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Foto Franditya Utomo Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Magnis-Suseno Friski Riana Fuad Hasan Nasihin Fuji Pratiwi Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawa Gede Mugi Raharja Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gedung Sangbala Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gito Waluyo Goenawan Mohamad Golput Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma’ruf Amin Gus Dur H Ikhsan Effendi H. Usep Romli H.M H.B. Jassin H.O.S Cokroaminoto Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Hadi Napster Hadziq Jauhary Halim H.D. Halimatussa’diyah Hamberan Syahbana Hamluddin Hana Pertiwi Hanif Nashrullah Hardono Haris del Hakim Haris Firdaus Haris Priyatna Haris Saputra Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Basri Hasan Junus Hasanuddin WS Hasnan Bachtiar Helmi Y Haska Helmy Tasaufy Hera Khaerani Herdiyan Heri C Santoso Heri Latief Herman Herman Hasyim Herman RN Herry Lamongan Herry Mardianto Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Homaedi I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I Wayan Seriyoga Parta IBM. Dharma Palguna Ibnu PS Megananda Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Mustofa Imam Nawawi Imam Qodim Al-Haromain Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Imelda Imron Arlado Imron Rosidi Imron Rosyid Imron Tohari Indrian Koto Ingki Rinaldi Ipik Tanoyo Ire Irvan Sihombing Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismet NM Haris Ismi Wahid Isnanur Janah Iswadi Pratama Isyana Artharini Iwan Nurdaya-Djafar Iwank Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Janual Aidi Javed Paul Syatha Jazzi Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jembatan Kuno Yang Misterius Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Jodhi Yudono Jogjanews.com John Joseph Sinjal Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Paket Hemat Juara Ke 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jumartono Jurnalisme Sastra Jusuf A.N K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.Y. Karnanta Kadjie Mudzakir Kaheesa Kirania Putri Ayu Kang Daniel Kapal Nabi Nuh Karanggeneng Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kautsar Muhammad Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) KH Abdul Ghofur KH Bisri Syansuri KH. Abdul Aziz Masyhuri KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khoirul Abidin Khoirul Inayah Ki Ompong Sudarsono Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kika Dhersy Putri Kitab Arbain Nawawi KITLV Koh Young Hun Koko Sudarsono Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopi Sunan Drajat Kopuisi Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Krisman Kaban Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kulonprogo Kurnia Effendi Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswinarto L Ridwan Muljosudarmo Laboratorium Sinematografi dan Pertunjukan UNISDA Lamongan Lagu Lailiyatis Sa'adah Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Sarmili Literasi Liza Wahyuninto Lugiena De Lukas Adi Prasetyo Lukisan Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lusia Kus Anna Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Lutfi M. Mushthafa M. Romandhon M. Sunyoto M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M’Shoe Made Geria Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahrus eL-Mawa Majelis Ulama Indonesia Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcus Suprihadi Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Maruli Tobing Mashuri Masuki M. Astro Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Wulan Medco Media Lamongan Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Meka Nitrit Kawasari Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka MI Thoriqotul Hidayah Pilang 1 Mia Arista Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Miftahul A’la Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Ghufron Cholid Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Samsul Arifin Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Ali Athwa Mohammad Eri Irawan Mohammad Rafi Azzamy MTs Putra-Putri Simo Sungelebak Muh Kholid A.S Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Amin Muhammad Arif Muhammad Aris Muhammad Eko Nugroho Muhammad Hidayat Muhammad Muhibbuddin Muhammad Musa Muhammad N. Hassan Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mukafi Niam Mukhsin Amar Mulyani Hasan Mulyo Sunyoto Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Munawir Aziz Muntamah Cendani Musfarayani Musfi Efrizal N. Syamsuddin CH. Haesy Nadine Tri Duhita Naim Nanang Suryadi Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Nara Nazaruddin Azhar Neli Triana Ngatini Rasdi Nh. Anfalah Ni Luh Made Pertiwi F Ni Made Frischa Aswarini Ninuk Mardiana Pambudy Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noval Jubbek Noval Maliki Novel Novel Pekik Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Hayati Nur Kholiq Nur Kholis Huda Nurani Soliha Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Ochi Oil on Canvas Oky Sanjaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Paciran Pameran Seni Rupa Pangkah Kulon Ujungpangkah Gresik Panji Satrio Patung Sphinx PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan 2020 Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit Progresif Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Peringatan Hari Santri TPQ Al-Hidayah 22 Oktober 2017 Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren Sunan Drajat Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Pilang Tejoasri Lamongan Jawa Timur Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Pendopo Watu Bodo Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prosa Proses Kreatif Puisi Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka GU Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. N. Bayu Aji R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rafita Dewi Rahmah Maulidia Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rameli Agam Rana Akbari Raras Cahyafitri Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Revdi Iwan Syahputra Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Ridlwan Ridwan Munawwar Riki Utomi Rinny Srihartiny Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robert Adhi Kusumaputra Robin Al Kautsar Roby Karokaro Rodli TL Rof Maulana Rofiqi Hasan Rojiful Mamduh Rokhim Sarkadek Rosdiansyah Rosi Rosidi Rudi S. Kalianda Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rx King Motor S Jai S Yoga S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Sabrina Asril Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salim Alatas Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saratri Wilonoyudho Sari Oktafiana Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sejarah SelaSastra SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang Selvie Monica S Sendang Duwur Tahun 1920 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Shohebul Umam JR Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sifa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simon Saragih Sirikit Syah Siti Muti’ah Setiawati Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Slavoj Zizek Soelistijono Soetanto Soepiadhy Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Sohirin Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Mulyani Sri Wintala Achmad ST Indrajaya Stanley Adi Prasetyo Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sudirman Hasan Sugeng Ariyadi Sugeng Wiyadi Sugiarto Sugito Wira Yuda Suhartono Sujatmiko Sukardi Rinakit Sukitman Sumenep Sunarno Wibowo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susie Evidia Y Sutamat Arybowo Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Suyatmin Widodo Svet Zakharov Syaf Anton Wr Syaiful Bahri Syaiful Irba Tanpaka Syaiful Mustaqim Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syi'ir Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tanjung Kodok Tahun 1947 Tasman Banto Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Ganast MAN Lamongan Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Sakalintang Teater Sangbala Teater Sundra Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tewol Teater Tewol Lamongan Teguh LR Teguh Winarsho AS Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thamrin Dahlan Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute (IHI) Thohir Thompson Hs Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto To Take Delight Toni Munajat Tosa Poetra Tri Andhi S Tri Wahono Trisno S. Sutanto Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Unieq Awien Universitas Airlangga Surabaya Universitas Jember Untung Basuki Ustadz Charis Bangun Samudra Utami Diah Kusumawati Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Wahyu Aji Wahyudi Zuhro Wan Anwar Warjati Suharyono Wawan Eko Yulianto Wawan Hudiyanto Wawancara Wayan Sunarta Welly Suryandoko Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yanuar Jatnika Yanuar Yachya Yaumu Roikha Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yerusalem Ibu Kota Palestina Yesi Devisa YF La Kahija Yogyo Susaptoyono Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudi Latief Yuli Yuni Ikawati Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zahrotun Nafila Zaim Uchrowi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimras Zen Hae Zuhdi Swt