Selasa, Oktober 21, 2014

Kwatrin Ringin Contong: Kehendak Menggenggam Dua Kosmologi

Tjahjono Widijanto

Dengan bisik isyarat alam mengucap amanat.
Makna riang atau dingin menanti arah angin.
Pundak penyair memanggul bahasa berabad.
Menera zalim serta benderang akal dan batin.

(“Sebelum Perjalanan”, Binhad Nurrohmat)
Di pintu buritan waktu ada yang tak ragu.
Di masa terang dan gulita menjadi lampu.
Seluruh riwayat terburai di hangat bahu.
Pelukan kekal akan menepis fana waktu.

(“Setelah Perjalanan”, Binhad Nurrohmat)

/1/
Nihil ex nihilo, tidak ada sesuatu lahir dari ketiadaan. Begitulah, sulit membayangkan seorang penyair atau puisi berangkat dan hadir dari sebuah kekosongan. Puisi lahir dari persentuhan inderawi-rohani, antara penyair dan semesta, seperti gesekan ranting pada musim kering yang menghasilkan api, karena itu puisi — dalam publik yang paling terbatas sekalipun — akan senantiasa mendiskusikan, mendialogkan, dan memperbincangkan “sesuatu”.

Puisi seperti halnya teks sastra yang lain telah lama dianggap sebagai fakta kemanusiaan, fakta sejarah dan kesadaran kolektif kebudayaan. Sebagai fakta kemanusiaan, fakta sejarah dan kesadaran kolektif budaya, puisi dapat disikapi dan difungsikan sebagai sejarah intelektual atau pemikiran yang di dalamnya dapat ditemukan cara penyikapan, pemahaman dan cara kreasi masyarakat atau individu terhadap perjalanan waktu (perubahan) beserta segala persoalannya.

Berkaitan dengan sejarah intelektual ini, puisi dapat menyuarakan, mengusung sekaligus mempersoalkan mitos-mitos tertentu. Bahkan Umar Yunus menegaskan bahwa teks satra baik sastra lama atau baru pada hakekatnya adalah mengusung suatu mitos. Sebuah puisi bisa jadi bertugas mengukuhkan suatu mitos tertentu (myth of concern) dan mungkin pula bertugas untuk merombak, membebaskan, menentang, memodifikasi serta menafsir ulang mitos tertentu (myth of freedom).

Di sisi lain, untuk mengawali tulisan ini kita bisa memulainya dengan kesepahaman yang sama bahwa sastra diperlakukan sebagai teks yang tak sekedar serangkaian kata yang mendedahkan makna yang tunggal. Seperti yang diucapkan oleh Roland Barthes (1977), puisi sebagai sebuah ruang multidimensi yang saling berbaur dan bertubrukan.

Penggalan paling menarik dari pernyataan Barthes “saling berbaur dan bertubrukan” ini dapat memantik berbagai tafsir. Seseorang dapat saja menafsirkan sebagai suatu hal yang kondisional dan musykil diramalkan. Boleh juga ditafsirkan sebagai bentuk adu-kuasa di antara berbagai wacana demi meraih dominasi, tetapi yang jelas pernyataan “saling berbaur dan bertubrukan” dapat memberikan bayangan kepada setiap orang bahwa puisi senantiasa dapat mrucut dari kontrol individu. Karena itu membaca dan menafsirkan puisi tak hanya dipahami sebagai sesuatu yang produktif dan informatif tetapi juga menafsirkan puisi sama halnya dengan upaya mempertautkan puisi dan penyair dengan dunianya. Berkaitan dengan upaya mempertautkan puisi dan penyair sebagai representasi dari dunianya ini memaksa puisi untuk bertaut-sengkarut dengan apa yang disebut identitas1.

Penyair Indonesia asal etnis Jawa adalah manusia perbatasan2 yang sedang bertransformasi diri dengan mencoba mengikutsertakan budaya etnis-tradisi Jawa dalam negara-bangsa Indonesia yang merupakan “kampung halaman baru” yang mau tak mau harus didukung dan dikembangkan. Hal ini bagi penyair Indonesia Jawa merupakan suatu proses panjang yang berat dan besar karena pada satu sisi mereka terikat pada kedudukan dan fungsi budaya dan sastra Jawa sebagai akar mereka, di sisi lain mereka terpaksa melakukan migrasi (perantauan) ke budaya baru bernama Indonesia. Dalam proses ini sastrawan Indonesia Jawa dalam dirinya dapat muncul berbagai persoalan, perasaan dan situasi yang bisa jadi menimbulkan rasa gamang, bimbang bahkan paradoksal3. Proses perantauan ini berarti mengolah, merekontruksi bahkan membongkar bahan-bahan budaya lama, mitos-mitos lama untuk menghasilkan mitos, pandangan dan pemikiran baru.

Binhad Nurrohmat adalah sastrawan Indonesia dalam generasi yang jauh lebih muda tinimbang Goenawan Mohamad, Linus Suryadi AG. maupun Darmanto Jatman, namun dalam kumpulan puisi paling gres-nya, Kwatrin Ringin Contong, tersirat kegelisahan sekaligus kerinduan arketipe. Kegelisahan untuk menggenggam dua jagad kosmologis sekaligus, jagad kosmologis Indonesia modern dengan segala serbuan anasir dari luar yang terasa begitu cair dan jagad kosmologis Jawa yang terlanjur makin samar-samar.

Tulisan pendek ini mencoba ‘mencurigai’ dan menelisik mengapa Binhad Nurrohmat dalam kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong begitu getol memperlihatkan kegairahan sekaligus kegelisahan untuk menengok dan membongkar kembali kosmologi Jawa yang bagi segenerasinya pasti relatif samar-samar.

/2/
Di Jawa siapa yang tak kenal pohon beringin? Pohon yang sering disebut dengan “ringin” atau ‘waringin’ ini sering dipertukarkan dan disederajatkan dengan pohon bodi dari India meski jenisnya berbeda. Beringin adalah pohon yang memulai hidupnya sebagai epifit ketika bijinya bersemai di celah atau retakan pohon induknya (atau struktur seperti bangunan dan jembatan). Biasanya beringin merupakan jenis umum yang berasal dari India bernama Ficus benghalensis, pohon nasional India, kemudian dipakai untuk semua pohon besar yang siklus hidupnya sama dan secara sistematis tergolong subgenus Urostigma. Biji beringin disebarkan oleh burung pemakan buah. Bijinya tumbuh dan menurunkan akarnya ke tanah dan dapat menyelubungi sebagian pohon inang atau struktur bangunan dengan akarnya, memberinya kesan sebagai pohon pencekik. Daun pohon beringin besar, berkulit, hijau polos dan bentuknya lonjong. Seperti semua pohon besar, pucuk daun ditutupi oleh dua sisik besar. Saat daun berkembang, sisik ini jatuh. Daun muda memiliki warna kemerahan yang menarik. Pohon beringin yang lebih tua dicirikan oleh akar gantung yang tumbuh menjadi tunggul kayu tebal yang seiring berjalannya waktu menjadi tidak terbedakan dengan pokok utama pohon. Pohon beringin dapat menyebar menggunakan akar gantung ini untuk menutupi daerahnya. Seperti spesies pohon besar (yang termasuk pohon Ficus carica), beringin memiliki struktur buah yang unik dan tergantung pada ngengat Ficus untuk reproduksinya. Beringin juga mahsyur sebagai tanaman yang memiliki umur sangat tua, tanaman tersebut dapat hidup dalam waktu lama hingga ratusan tahun.

Di kalangan masyarakat Jawa, pohon beringin dikenal mempunyai filosofi tersendiri, yakni sebagai pohon yang kokoh kuat dan mengayomi. Tak heran hampir setiap alun-alun – yang notabene merupakan bagian dari perangkat kekuasaan — di setiap kabupaten di Jawa selalu terdapat pohon beringin yang ditanam oleh penguasa. Bahkan dalam konteks kebudayaan Mentaraman, pohon beringin merupakan pintu gerbang pertama seorang kawula untuk dapat bertemu dengan gustinya4.

Bagi saya keunikan pertama dalam buku kumpulan puisi Binhad Nurrohmat ini adalah pilihan warna estetikanya. Semua sastrawan Indonesia etnis Jawa dalam mengolah mitologi dan kosmologi Jawa sebagai pilihan estetikanya cenderung berangkat dan menggali mitologi yang bersumber dari kebudayaan yang sudah kadung dianggap adiluhung yakni wayang yang bersumber dari Mahabharata dan Ramayana. Sebut saja misalnya Goenawan Mohamad banyak mengambil lakon-lakon wayang semisal Parikesit, Gandari, dll. Seno Gumira Ajidarma menggali dan menafsir ulang lakon Ramayana dalam novel Kitab Omong Kosong, Sindhunata yang juga menggali mitos Ramayana dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin, Mashuri dalam novelnya Hubbu mencoba menafsir ulang konsep mitos ajaran Sastra Jendra dalam Ramayana, namun Binhad Nurrohmat justru “tergila-gila” pada mitos dan konsep “ringin” sebagai pilihan untuk mengolah warna estetis puisinya.

Bagi Binhad Nurrohmat kegelisahan untuk menggenggam kembali kosmologi lama (dalam hal ini Jawa) merupakan sebuah kewajiban dan hutangnya sebagai penyair untuk lebih menghayati keberadaannya di tengah lingkungan semestanya tempat saat ini ia bermukim, ini dengan tegas disampaikannya dalam kwatrin pertama pembuka buku kumpulan puisinya ini: Dengan bisik isyarat alam mengucap amanat./ Makna riang atau dingin menanti arah angin./ Pundak penyair memanggul bahasa berabad./ Menera zalim serta benderang akal dan batin. (“Sebelum Perjalanan”).

Frasa pundak penyair memanggul bahasa berabad merupakan penegasan sebuah tekad untuk menunaikan “tanggung jawab” mengabarkan, mengungkit bahkan kemudian membongkar kembali kekayaan kosmologi lama. Puisi pertama ini dapat dilihat sebagai “kredo” Binhad Nurrohmat saat ini dalam menjatuhkan pilihan warna estetiknya. Kredo ini bagi saya sangat mengejutkan dan menohok apabila saya bandingkan dengan buku kumpulan puisi Binhad Nurrohmat yang lain sebelumnya, Kuda Ranjang (2004) atau Bau Betina (2007). Bagi saya kredo ini juga menjadi semacam “pengakuan dosa” sekaligus upaya meditatif untuk meletakkan kesadaran atas pemahaman jagad cilik sang penyair di tengah keberadaan jagad gedhe atau semesta yang melingkupinya. Upaya yang dilakukan Binhad Nurrohmat ini mengingatkan saya pada sebuah konsep laku Jawa dalam upaya mengenal kosmologinya: jagad ginelar jagad ginulung.

Setelah kredo diucapkan mulailah Binhad Nurrohmat melakukan pengembaraan kosmologinya, jagad ginelar jagad ginulung-nya dengan apa yang disebutnya “penempuhan pertama” dan langkah itu dimulainya dari pohon beringin seperti tergambar dalam sajak “Ringin Contong Pagi”. Dari sajak ini Binhad Nurrohmat — entah sadar atau tak sadar, sengaja atau tak sengaja — telah mulai mengungkit kembali konsep “ringin” di Jawa yang dianggap sebagai gerbang patron pertama untuk mengawali seorang apakah dia seorang ksatria, brahmana atau penyair untuk melakukan perjalanan mencapai apa yang ia inginkan, sekaligus tempat nanti ia harus mengakhiri perjalanannya.

Dari “ringin contong” ini penyair mencari, menggali berbagai mitologi dan sejarah kemudian mengolah bahkan membongkarnya sendiri sehingga tersirat penyair ingin menganyam mitologinya sendiri. Karena itu tak heran puisi-puisi Binhad Nurrohmat dalam kumpulan ini semuanya menghadirkan unsur cerita dan unsur tak-cerita, kisah sekaligus berita pikiran. Unsur cerita menyajikan kisah sedang unsur tak-cerita menyajikan berita pikiran. Unsur cerita bertugas menyajikan narasi tertentu, sedang unsur tak-bercerita berupaya menyampaikan pikiran, gagasan dan pandangan tentang konstruksi realitas budaya penyairnya. Hal ini misalnya dapat kita lihat dengan jelas dalam puisi-puisinya seperti “Sayyid di Mojoagung”, “Setelah Mongol Pergi” “Pelarian di Watugaluh” dan “Trah Kiai Shoicah”.

Unsur cerita-tak bercerita, unsur kisah-berita pikiran ini memiliki konsekuensi pada persoalan ekspresi. Persoalan ekspresi selalu membawa penyair pada dua kutub pilihan kontinum yang ekstrem: penyederhanaan (simplikasi) atau perumitan. Kedua kutub ini dapat diibaratkan dalam cerita persilatan sebagai dua pendekar dari perguruan berbeda yang turun gunung dengan semangat berbeda pula. Yang pertama menulis dengan sangat memperhatikan dan mempedulikan kepentingan akan pesan, “cerita” dan pembaca; dan yang kedua bertujuan untuk kepentingan ekspresi tumpahnya kesadaran bawah-sadar sehingga hajat-hajat puitiknya terpenuhi tumpah tanpa sisa. Dan konsekuensi atas kredo awalnya pada Kwatrin Ringin Contong ini maka puisi-puisi Binhad Nurrohmat kali ini tampil dengan ekspresi diksi yang sederhana dan komunikatif sangat berbeda dengan dua kumpulan puisinya terdahulu.

/3/
Dalam antologi puisi ini tampak gamblang bagaimana penyairnya mencoba bermain-main dengan sejarah. Penyair mencoba memanfaatkan aspek mitologi dan sejarah dan mencoba melakukan rekontruksi ulang terhadap sejarah dan mitologi tersebut. Tentu saja rekontruksi sejarah dan mitologi yang dilakukan penyair tidak seperti yang dilakukan oleh para ahli sejarah dari sudut akademis an sich, tetapi lebih cenderung seperti apa yang dikatakan sejarawan Taufik Abdullah sebagai ‘nothing but story’, sejarah yang menekankan pada gaya literer5. Dalam hal ini pusi dan sejarah saling mempengaruhi sebagai suatu narasi yang dapat dinikmati tapi tak terlepas sama sekali dari kenyataan empiris.

Sebagai penyair, Binhad Nurrohmat memberikan referensi imajinatif ke dalam sejarah sehingga puisi tetap memiliki sifat simbolik, karena itu ketika bersinggungan dengan sejarah menyebabkan sejarah dalam puisi menjadi sesuatu yang problematik. Karena sifat simbolis yang menyimpan “misteri” tertentu yang sarat dengan interpretasi bagaimanapun juga puisi pada akhirnya memang tidak dapat dijadikan sumber sejarah meskipun sebenarnya ia ‘mempertanyakan’ sejarah. Pertanyaan-pertanyaan elementer dalam disiplin ilmu sejarah tentang “apa, siapa, di mana dan apabila” memang tidak bisa dijawab dengan menggunakan puisi sebagai sumber. Tetapi dengan memanfaatkan sejarah dan mitologi dalam puisi-puisi Binhad Nurrohmat ini dapat memberikan “pantulan-pantulan” tentang perkembangan pikiran, perasaan dan orientasi masa silam yang bermanfaat untuk masa kini dan mungkin yang akan datang atau bisa jadi secara substansial dapat terulang dalam sejarah berikutnya. Selain itu rekonstruksi sejarah yang dilakukan penyair ini lebih pada upaya jagad ginelar jagad dinulung, lebih pada upaya menyosokkan kembali “identitas” yang melatarbelakanginya dan dalam skala yang lebih makro upaya mencari identitas sebagai “Jawa yang samar-samar”.

Kesadaran penyair untuk merekontruksi sejarah dan mitologi secara transparan terlihat dalam beberapa sajak Binhad Nurrohmat dalam bukunya, antara lain, “Monumen Angan”, “Sepasang Kuburan”, “Rel Terjulur ke Sumobito”, “Sayyid di Mojoagung”, “Setelah Mongol Pergi”, “Trah Brantas”, “Ranggalawe, 1295”, “Bercumbu di Kudu”, “Komunis Curahmalang”, “Hadiah Watu Gurit” “Mandi di Tretes”, dan “Petapa Goa Si Golo-Golo”.

Sejarah yang coba direkonstruksi penyair dalam upaya menyosokkan kembali identitas tersebut, penyair tidak memulai dan mencari dari disiplin sejarah akademis yang terdapat dalam buku-buku sejarah “resmi” tetapi justru memulainya dari mitologi-mitologi yang tersebar. Karena berangkat dari mitologi inilah sejarah yang coba direkonstruksi oleh penyair menjadi sarat dengan berbagai tafsir dan pengolahan berbagai sumber atau versi yang semuanya dianggap memiliki kebenaran. Dari berbagai versi ini penyair mencoba menghasilkan rekonstruksi sejarah “baru” yang menurut B. Lord6 upaya ini disebut sebagai stable skleton of narrative atau dalam susastra Jawa “balungan cerita”.

Dalam kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong ini penyair Binhad Nurrohmat ingin menunjukkan bahwa sejarah meski merupakan masa lampau yang terpisah dari masa kini namun bukan berati tidak berhubungan. Pada satu pihak memang ada keterpisahan antara keduanya pada mana masa lalu tidak mungkin dikembalikan atau digantikan, namun di pihak lain masa lampau sebenarnya tetap hidup dalam diri kita. Sesuatu yang terjadi pada masa lampau secara substansial bisa saja terjadi pada saat ini atau masa mendatang. Dengan demikian, masa lampau sebenarnya tidak pernah terpisah secara mutlak dari masa kini. Ada benang halus yang menghubungkannya, yang benang halus ini dapat menjadi tali besar sehingga masa lampau itu berubah menjadi sesuatu yang kembali kongkret pada masa kini. Tali besar dari benang halus ini akan menjadi semacam kompas yang bermanfaat untuk meniti masa kini dan menghadapi masa yang akan datang.

Dalam upaya merekonstruksi sejarah dan mitologi, penyair tidak mendekati sejarah sebagai pendekatan monumental tetapi lebih cenderung pada pendekatan antikuarian dan pendekatan kritis7. Melalui pendekatan antikuarian pengarang tidak melihat sejarah semata-mata sebagai laci penyimpan peristiwa-peristiwa besar kemanusiaan dari masa lampau supaya tidak ditelan oleh waktu, namun lebih terfokus memandang sejarah sebagai sebuah kesadaran identitas lampau yang berkesinambungan dan memberikan arah masa depan. Sedangkan dengan pendekatan kritis, penyair membuka kemungkinan untuk menguji, mengkaji ulang dan menafsirkan kembali peristiwa masa lampau untuk kepentingan masa depan. Sejarah diperlakukan sebagai organisme yang berkembang dan lahir kembali atau sebagai siklus alamiah peradaban manusia yang dapat menjadi persoalan abadi bagi manusia sebagai pembentuk peradaban.

Dengan demikian secara kreatif melalui antologi puisi ini Binhad Nurrohmat tidak membeberkan sejarah sebagai fakta telanjang yang memandang sejarah terbatas pada hubungan waktu dan kronologis semata. Tidak cuma memandang sejarah sebagai past significance (hanya penting untuk peristiwa lampau) tetapi secara kreatif mencoba memandang sejarah dalam hubungannya dengan masa kini (present meaning) bahkan masa yang akan datang (future meaning). Sejarah menjadi sebuah medan yang selain berpotensi membuka tafsir baru juga menyimpan potensi-potensi yang signifikan untuk lahirnya sejarah baru sekaligus berfungsi sebagai tengara untuk mengingatkan manusia atas berbagai kemungkinan baik atau buruk pada masa silam dan masa datang.

/4/
Akhirnya, kumpulan puisi Kwatrin Ringin Contong karya Binhad Nurrohmat ini merupakan upaya merefleksikan dan merepresentasikan kegelisahan kehendak untuk kembali menggenggam kosmologi lama dengan kosmologi masa kini dalam genggaman yang lain. Puisi-puisi dalam kumpulan antologi ini merupakan kegelisahan untuk meletakkan mitologi dan kosmologi yang kuat dan jelas di sebuah dunia yang sedang meleleh tanpa kosmologi dan mitologi yang jelas dan kuat.

Puisi-puisi Binhad Nurrohmat dalam kumpulan ini menyiratkan bagaimana seorang penyair harus menjadi seorang pejalan ulang-alik budaya yang terus bergerak dari satu kosmologi dan mitologi ke kosmologi dan mitologi lain seraya mengusung warna, obsesi puitik dan warna estetika pilihannya. Juga merupakan cerminan usaha sang penyair membangun kampung halaman baru bernama Indonesia dari berbagai bahan kosmologi dan mitologi Jawa (baca Jombang dan sekitarnya).

Bagaimanapun juga buku ini menunjukan bagaimana Binhad Nurrohmat, sang penyair, sudah turut membangun kampung halaman baru bagi penyair Indonesia segenerasinya.
***

Catatan Kaki:
1. Apa yang disebut identitas itu hadir ketika ada satu kesadaran bahwa penulis dan pembaca “mengetahui” dari dunia yang dihadirkan . Identitas menjadi sesuatu yang sangat rawan karena kebudayaan di suatu waktu telah berubah sehingga tak lagi sama seperti yang ada dalam bayangan. Identitas juga bersifat stereotipe, menggampangkan atau melebihkan suatu citra tertentu kepada teritori (geografis) kultural tertentu sehingga akhirnya disepakati sebagai identitas kultural tersebut.
2. Subagio Sastro Wardoyo. Pengarang Indonesia Sebagai manusia Perbatasan (Jakarta, Balai Pustaka, 1989) hal. 13-17
3. Hal ini misalnya tergambar dalam pengakuan Goenawan Mohamad (GM) dalam tulisanya “Potret Penyair Muda sebagai si Malin Kundang” (1973) dan “Kesusastraan Pasemon” (1993). GM merasa dalam situasi gamang dan bimbang ketika memasuki wilayah budaya dan sastra Indonesia sekaligus merasa durhaka kepada ibu budaya dan satranya yakni budaya dan satra Jawa. Penyair lain, Linus Suryadi AG yang berasal dari Kadisobo Wonosari Gunung Kidul dalam bukunya Transformasi dalam Puisi Indonesia (1984 hal: 372-383) mengaku merasa menjadi kaum urban yang melakukan migrasi budaya dengan gerak dan orientasi melingkar. Hal yang senada juga dialami oleh Darmanto Jatman (Semarang) , dijalaninya proses menjadi Indonesia dengan keyakinan “a kupu kupu was a kepompong was an ulat was an telur, semula saya Jawa kemudian Jawa-Indonesia, lalu Indonesia Jawa, kelak Indonesia total” (Sastra, Psikologi dan Masyarakat, 1985: 145).
4. Dalam sejarah dan kebudayaan Jawa mentaraman dikenal istilah mepe atau pepe. Seorang rakyat (kawula) untuk dapat menarik perhatian Raja (Gusti) seringkali ‘berdemonstrasi’ dengan cara menjemur diri, bersila di bawah pohon beringin yang terletak di alun-alun yang dapat terlihat dari kraton tempat raja berdiam. Dan sang raja yang mengamatinya dari kraton setelah beberapa lama akan memanggilnya untuk menghadap dalam istana. Simak Geraff, 1983.
5. Simak Taufik Abdullah, “Sastra dan Sejarah: Pantulan Historis dan Sastra. “, Horison no 11-12 th 1983
6. Simak Suripan sadihutomo, 2000. “Sastra Daerah dan Penulisan Sejarah Lokal”. Dalam buku Apa Kabar Sastra Indonesia? (Surabaya, DKJT, 200)
7. Simak St. Sunardi , 2003. Opera Tanpa Kata. Yogyakarta: Buku Baik.
***

Referensi:
Abdullah, Taufik. 1983. Sastra dan Sejarah: Pantulan Hstoris dan Novel. Majalah Sastra Horison No. 11-12
Alfian. 1984. Transformasi Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Awuy, Tommy F. 1996. 27 Juli. Masyarakat Rasional dan Retorika Ilmiah. Dalam Kompas, hlm. 5.
Berger, Peter L. dan Thomas Luckman (Terjemahan oleh Hasan Basari). 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahu­an. Jakarta: LP3ES.
Cassirer, Ernst (Terjemahan Alois A. Nugroho). 1987. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Damono, Sapardi Djoko. 1999.Politik Ideologi dan Sastra Hibrida.. Jakarta: Pustaka Firdaus..
Foucault, Michel. 1972. The Archeology of Knowledge and the Discourse on Language. New York: Pantheon.
Hutomo, Suripan Sadi.. 1993. Sastra Daerah dan Penulisan Sejarah Lokal dalam Apa Kabar Sastra? Surabaya: DKJT.
Kartodihardjo, Sartono, dkk. 1975. Sejarah Nasional Indonesia II. Depdikbud.
Kayam, Umar. 1989. Transformasi Budaya Kita. Horison, XXIV (08, 09, 10): 256 — 269;292 — 298;328 — 335.
Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta: LP3ES.
Mahayana, Maman S. 2001. Akar Melayu. Magelang: Indonesia Tera.
Mahayana, Maman. S. 2005. 9 Jawaban Sastra Indonesia. Jakarta: Bening Publishing.
Naim, Mochtar. 1999. Demokrasi dalam Dialektika Kebudayaan Nusantara, dalam Pembebasan Budaya-budaya Kita. Jakarta: Gramedia
Naim, Mochtar. 1999. Demokrasi dalam Dialektika Kebudayaan Nusantara, dalam Pembebasan Budaya-budaya Kita. Jakarta: Gramedia
Sunardi, ST. 2003. Opera Tanpa Kata. Yogyakarta: Buku baik.
Sugiharto, Bambang. 2003. Kebudayaan, Filsafat dan Seni. Bentara, Kompas, Rabu 3 Desember.

http://binhadnurrohmat.com/kwatrin-ringin-contong-kehendak-menggenggam-dua-kosmologi-222.php

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Hana N.S A. Iwan Kapit A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Purwantara A. Qorib Hidayatullah A. Rego S. Ilalang A. Syauqi Sumbawi A.C. Andre Tanama Aa Sudirman Abd. Basid Abdul Aziz Rasjid Abdul Ghofar Abdul Hadi W.M. Abdul Kirno Tanda Abdul Lathif Abdul Malik Abdul Muid Badrun Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdullah Ubaid Matraji Abdurrahman Wachid Abdurrahman Wahid Abonk El ka’bah Acep Zamzam Noor Ach. Nurcholis Majid Achmad Farid Tuasikal Achmad Maulani Adi Faridh Adi Marsiela Adi Sucipto Adian Husaini Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adrian Ramdani AF. Tuasikal Afnan Malay Afrizal Malna AG Hadzarmawit Netti AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Majestika Aguk Irawan M.N. Agung Prihantoro Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Bing Agus Buchori Agus M. Irkham Agus Noor Agus R Sarjono Agus S Warman Agus Sri Danardana Agus Sulton Aguslia Hidayah AH J Khuzaini Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Rafiq Ahmad Rifa’i Rif’an Ahmad Syafii Maarif Ahmad Taufik Ahmad Thohari Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Al-Fairish Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Ali Irwanto Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Alvi Puspita Amang Mawardi Ambarukminingsih Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Amir Hamzah Amirullah Ana Mustamin Anam Rahus Andari Karina Anom Andhi Setyo Wibowo Andik Nurcahyo AndongBuku #3 Andry Deblenk Anindita S. Thayf Aning Ayu Kusuma Anis Faridatur Rofiah Anjrah Lelono Broto Antologi Sastra Lamongan Anwari WMK Aprillia Ika Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif Bagus Prasetyo Arif Firmansyah Arifun Najib Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran Arys Hilman Asarpin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Asri Bariqah Awalludin GD Mualif Azumardi Azra Azyumardi Azra Baca Puisi Badaruddin Amir Balada Bambang kempling Bambang Satriya Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benni Indo Benny Benke Benny D Koestanto Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Koran Bernada Rurit Bernarda Rurit Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Palopo Budi Purnomo Buldanul Khuri Bunda Zakyzahra Tuga Bungaran Antonius Simanjuntak Candrakirana Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Che Guevara Coronavirus Cover Buku Kritik Sastra Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi II Cover Depan Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi IV Cover Majalah Progresif SMA Wahid Hasyim Model edisi V D. Zawawi Imron Dadan Maula Darmawan Dadang Ari Murtono Dahlan Kong Damanhuri Zuhri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Daniel Paranamesa Darju Prasetya Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Dedykalee Deni Ali Setiono Deni Jazuli Denny Ardiansyah Denny JA Denny Mizhar Desa Glogok Karanggeneng Lamongan Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan Dewi Indah Sari Dhanu Priyo Prabowo di Bluri di Karangasem Dian Sukarno Diana AV Sasa Diana Ifrina Ernawati Dinas Komunikasi dan Informatika Prov. Jatim Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Dini Tri Dinoroy M. Aritonang Dion Maulana Prasetya Diskusi buku Djaka Susila Djenar Maesa Ayu Djesna Winada Djoko Pitono Djoko Saryono Djulianto Susantio Dody Kristianto Dody Yan Masfa Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Budiono Herusatoto Drs H Choirul Anam Drum Band MI Miftahul Ulum (Kuluran) Dudi Rustandi Dunia Penerbitan Indonesia Dwi Arjanto Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Nikmatika Roma Dwi Pranoto Dwidjo Maksum Dyah Ayu Fitriana Eddy D. Iskandar Edeng Syamsul Ma’arif Edi Faisol Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eko Hendri Saiful El Sahra Mahendra Elly Burhaini Faizal Elly Trisnawati Ellyn Novellin Emerson Yuntho Emha Ainun Nadjib Emil WE Endang Supriyadi Endi Haryono Endri Y Erdogan Esai Esha Tegar Putra Esme Fadliha Etik Widya Evan Ys Evieta Fadjar F Rahardi Fadjriah Nurdiarsih Fahmi Fahrudin Nasrulloh Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faris Al Faisal Fariz al-Nizar Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Felix K. Nesi Festival Mocosik Festival Seni Internasional 2010 Yogyakarta Festival Seni Internasional 2014 Yogyakarta Festival Teater Religi Festival Teater Religi Pelajar SLTA Se-kabupaten Lamongan festivalsenisurabaya.com Fikri. MS Firdawsi Fortus Pake Forum Lingkar Pena Forum Lingkar Pena Lamongan Forum Penulis dan Penggiat Literasi Lamongan (FP2L) Forum Santri Nasional Foto Franditya Utomo Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Magnis-Suseno Friski Riana Fuad Hasan Nasihin Fuji Pratiwi Furqon Lapoa Galuh Tulus Utama Ganug Nugroho Adi Gde Artawa Gede Mugi Raharja Gedung Sabudga UNISDA Lamongan Gedung Sangbala Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gito Waluyo Goenawan Mohamad Golput Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunoto Saparie Gus Ahmad Syauqi Ma’ruf Amin Gus Dur H Ikhsan Effendi H. Usep Romli H.M H.B. Jassin H.O.S Cokroaminoto Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Hadi Napster Hadziq Jauhary Halim H.D. Halimatussa’diyah Hamberan Syahbana Hamluddin Hana Pertiwi Hanif Nashrullah Hardono Haris del Hakim Haris Firdaus Haris Priyatna Haris Saputra Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Basri Hasan Junus Hasanuddin WS Hasnan Bachtiar Helmi Y Haska Helmy Tasaufy Hera Khaerani Herdiyan Heri C Santoso Heri Latief Herman Herman Hasyim Herman RN Herry Lamongan Herry Mardianto Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Homaedi I Made Asdhiana I Nyoman Suaka I Wayan Seriyoga Parta IBM. Dharma Palguna Ibnu PS Megananda Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Ida Fitri Ignas Kleden Ilham Safutra Ilham Wancoko Imam Mustofa Imam Nawawi Imam Qodim Al-Haromain Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Imelda Imron Arlado Imron Rosidi Imron Rosyid Imron Tohari Indrian Koto Ingki Rinaldi Ipik Tanoyo Ire Irvan Sihombing Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismet NM Haris Ismi Wahid Isnanur Janah Iswadi Pratama Isyana Artharini Iwan Nurdaya-Djafar Iwank Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Janual Aidi Javed Paul Syatha Jazzi Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jembatan Kuno Yang Misterius Jiero Cafe Jihan Fauziah JJ. Kusni Jo Batara Surya Jodhi Yudono Jogjanews.com John Joseph Sinjal Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Jual Buku Paket Hemat Juara Ke 3 Lomba Lompat Jauh DISPORA LAMONGAN Jumartono Jurnalisme Sastra Jusuf A.N K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma’ruf Amin K.Y. Karnanta Kadjie Mudzakir Kaheesa Kirania Putri Ayu Kang Daniel Kapal Nabi Nuh Karanggeneng Karkono Kasnadi Katrin Bandel Kautsar Muhammad Kedai Kopi Sastra Kedung Darma Romansha Kemah Budaya Panturan (KBP) KH Abdul Ghofur KH Bisri Syansuri KH. Abdul Aziz Masyhuri KH. M. Najib Muhammad KH. Ma'ruf Amin Khairul Mufid Jr Khoirul Abidin Khoirul Inayah Ki Ompong Sudarsono Ki Supriyoko Kiagus Wahyudi Kika Dhersy Putri Kitab Arbain Nawawi KITLV Koh Young Hun Koko Sudarsono Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sastra Ilalang Indonesia (KSII) Komunitas Sastra Teater Lamongan (KOSTELA) Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Kopi Bubuk Mbok Djum Kopi Sunan Drajat Kopuisi Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Krisman Kaban Kritik Sastra Kukuh Yudha Karnanta Kulonprogo Kurnia Effendi Kurnia Sari Aziza Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kurniawan Muhammad Kuswinarto L Ridwan Muljosudarmo Laboratorium Sinematografi dan Pertunjukan UNISDA Lamongan Lagu Lailiyatis Sa'adah Laksmi Sitoresmi Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Larung Sastra Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU) Leo Tolstoy Lina Kelana Linda Sarmili Literasi Liza Wahyuninto Lugiena De Lukas Adi Prasetyo Lukisan Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Alm Lukman Santoso Az Luqman Almishr Lusia Kus Anna Lutfi S. Mendut Lynglieastrid Isabellita M Zainuddin M. Afif Hasbullah M. Faizi M. Lutfi M. Mushthafa M. Romandhon M. Sunyoto M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M’Shoe Made Geria Mahendra Cipta Mahfud Ikhwan Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahrus eL-Mawa Majelis Ulama Indonesia Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Maqhia Nisima Marcus Suprihadi Mardi Luhung Mardiansyah Triraharjo Marhalim Zaini Maria D. Andriana Maria Magdalena Bhoernomo Maroeli Simbolon S. Sn Martin Aleida Maruli Tobing Mashuri Masuki M. Astro Matroni El-Moezany Mawar Kusuma Wulan Medco Media Lamongan Mega Vristian Mei Anjar Wintolo Meka Nitrit Kawasari Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Memoar Purnama di Kampung Halaman Mentari Meida Mh Zaelani Tammaka MI Thoriqotul Hidayah Pilang 1 Mia Arista Michael Gunadi Widjaja Mien Uno (Ibunda Sandiaga Uno) Miftahul A’la Misbahus Surur Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Ghufron Cholid Moh. Jauhar al-Hakimi Moh. Samsul Arifin Mohamad Ali Hisyam Mohammad Afifi Mohammad Ali Athwa Mohammad Eri Irawan Mohammad Rafi Azzamy MTs Putra-Putri Simo Sungelebak Muh Kholid A.S Muhammad Al-Mubassyir Muhammad Alfatih Suryadilaga Muhammad Amin Muhammad Arif Muhammad Aris Muhammad Eko Nugroho Muhammad Hidayat Muhammad Muhibbuddin Muhammad Musa Muhammad N. Hassan Muhammad Rasyid Ridho Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M. Dahlan Mukafi Niam Mukhsin Amar Mulyani Hasan Mulyo Sunyoto Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Munawir Aziz Muntamah Cendani Musfarayani Musfi Efrizal N. Syamsuddin CH. Haesy Nadine Tri Duhita Naim Nanang Suryadi Naqib Najah Naskah Teater Nasrullah Nara Nazaruddin Azhar Neli Triana Ngatini Rasdi Nh. Anfalah Ni Luh Made Pertiwi F Ni Made Frischa Aswarini Ninuk Mardiana Pambudy Nono Anwar Makarim Noor H. Dee Noval Jubbek Noval Maliki Novel Novel Pekik Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Hayati Nur Kholiq Nur Kholis Huda Nurani Soliha Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi Obrolan Ochi Oil on Canvas Oky Sanjaya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Paciran Pameran Seni Rupa Pangkah Kulon Ujungpangkah Gresik Panji Satrio Patung Sphinx PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pekan Literasi Lamongan 2020 Pelukis Dahlan Kong Pelukis Harjiman Pelukis Jumartono Pelukis Saron Pelukis Senior Tarmuzie Pendidikan Penerbit Progresif Penerbit PUstaka puJAngga Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Peringatan Hari Santri TPQ Al-Hidayah 22 Oktober 2017 Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Pesantren Sunan Drajat Peserta TEMU SASTRA JAWA TIMUR 2011 Pilang Tejoasri Lamongan Jawa Timur Pilang Tejoasri Laren Lamongan Jawa Timur Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Pendopo Watu Bodo Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prosa Proses Kreatif Puisi Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Puspita Rose Pustaka GU Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Setia Putu Wijaya R. N. Bayu Aji R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rafita Dewi Rahmah Maulidia Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rameli Agam Rana Akbari Raras Cahyafitri Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Revdi Iwan Syahputra Riadi Ngasiran Rian Sindu Ribut Wijoto Ridlwan Ridwan Munawwar Riki Utomi Rinny Srihartiny Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Robert Adhi Kusumaputra Robin Al Kautsar Roby Karokaro Rodli TL Rof Maulana Rofiqi Hasan Rojiful Mamduh Rokhim Sarkadek Rosdiansyah Rosi Rosidi Rudi S. Kalianda Rukardi Rumah Budaya Pantura Rumah Budaya Pantura (RBP) Rumah Budaya Pantura Lamongan Rx King Motor S Jai S Yoga S.W. Teofani Sabiq Carebesth Sabrank Suparno Sabrina Asril Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salim Alatas Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sanggar Pasir Sanggar Pasir Art and Culture Sanggar Rumah Ilalang Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Saratri Wilonoyudho Sari Oktafiana Sasti Gotama Sastra Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sejarah SelaSastra SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang Selvie Monica S Sendang Duwur Tahun 1920 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Shiny.ane el’poesya Shohebul Umam JR Sidik Nugroho Wrekso Wikromo Sifa Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simon Saragih Sirikit Syah Siti Muti’ah Setiawati Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Slavoj Zizek Soelistijono Soetanto Soepiadhy Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Sohirin Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sreismitha Wungkul Sri Mulyani Sri Wintala Achmad ST Indrajaya Stanley Adi Prasetyo Stefanus P. Elu Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sudirman Hasan Sugeng Ariyadi Sugeng Wiyadi Sugiarto Sugito Wira Yuda Suhartono Sujatmiko Sukardi Rinakit Sukitman Sumenep Sunarno Wibowo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Suripto SH Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susie Evidia Y Sutamat Arybowo Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyadi San Suyatmin Widodo Svet Zakharov Syaf Anton Wr Syaiful Bahri Syaiful Irba Tanpaka Syaiful Mustaqim Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Syamsul Arifin Syi'ir Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tanjung Kodok Tahun 1947 Tasman Banto Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater Teater Air Teater Bias Teater Biru Teater Cepak Teater Dua Teater Ganast MAN Lamongan Teater Kanjeng Teater Lingkar Merah Putih Teater Mikro Teater nDrinDinG Teater Nusa Teater Padi Teater Sakalintang Teater Sangbala Teater Sundra Teater Tali Mama Teater Taman Teater Tewol Teater Tewol Lamongan Teguh LR Teguh Winarsho AS Temu Karya Teater Jawa Timur XXI Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Thamrin Dahlan Tharie Rietha The Ibrahim Hosen Institute (IHI) Thohir Thompson Hs Tito Sianipar Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto To Take Delight Toni Munajat Tosa Poetra Tri Andhi S Tri Wahono Trisno S. Sutanto Triyanto triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S Umar Fauzi Umbu Landu Paranggi Unieq Awien Universitas Airlangga Surabaya Universitas Jember Untung Basuki Ustadz Charis Bangun Samudra Utami Diah Kusumawati Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Veven Sp. Wardhana Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W. Haryanto W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Wahyu Aji Wahyudi Zuhro Wan Anwar Warjati Suharyono Wawan Eko Yulianto Wawan Hudiyanto Wawancara Wayan Sunarta Welly Suryandoko Willem B Berybe Winarta Adisubrata Wong Wing King Wuri Kartiasih Y. Wibowo Yanuar Jatnika Yanuar Yachya Yaumu Roikha Yayasan Thoriqotul Hidayah 1 Yerusalem Ibu Kota Palestina Yesi Devisa YF La Kahija Yogyo Susaptoyono Yohanes Sehandi Yok’s Slice Priyo Yoks Kalachakra Yona Primadesi Yonathan Rahardjo Yudi Latief Yuli Yuni Ikawati Yurnaldi Yushifull Ilmy Yusri Fajar Yusuf Suharto Zahrotun Nafila Zaim Uchrowi Zainal Arifin Thoha Zaki Zubaidi Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zehan Zareez Zelfeni Wimras Zen Hae Zuhdi Swt