Nurel Javissyarqi
“Tulisan sastra-filsafat tidak perlu dipertanggungjawabkan!”
Pendapat itu terlontar dari seorang pendidik di sebuah universitas daerahku, lulusan S3. Guru sewaktu aku dibangku sekolah menengah pertama. Insan cerdas yang mengagungkan profesi, sebab di atas rata-rata penduduk tempat tinggalnya. Tapi mahasiswanya tak banyak baca, aku kerap duduk-duduk bersantai di toko buku dekat kampusnya, hanya satu-dua datang melihat. Padahal buku di sana tersedia lumayan pun murah. Masyarakat belum suka baca, meski sudah bisa membaca, lantas buat apa sejak kecil sekolah sampai perguruan tinggi?
“Tulisan sastra-filsafat tidak perlu dipertanggungjawabkan!”
Pendapat itu terlontar dari seorang pendidik di sebuah universitas daerahku, lulusan S3. Guru sewaktu aku dibangku sekolah menengah pertama. Insan cerdas yang mengagungkan profesi, sebab di atas rata-rata penduduk tempat tinggalnya. Tapi mahasiswanya tak banyak baca, aku kerap duduk-duduk bersantai di toko buku dekat kampusnya, hanya satu-dua datang melihat. Padahal buku di sana tersedia lumayan pun murah. Masyarakat belum suka baca, meski sudah bisa membaca, lantas buat apa sejak kecil sekolah sampai perguruan tinggi?